Mohon tunggu...
Pius Novrin
Pius Novrin Mohon Tunggu... -

Kuliah di Urbaniana Roma

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekilas Pandang Mgr. Willekens

23 Maret 2012   07:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:35 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13324881581064190814

Mgr. Willekens: Perintis Imam Pribumi

Petrus Joannes Willekens lahir pada tanggal 6 Desember 1881 di Reussel, Brabant Utara, Belanda. Dia adalah putra walikota setempat, Tuan Adrianus Willekens dan Nyonya Willekens-Borrenbergen. Sejak kanak-kanak, Willekens telah mempunyai keinginan untuk menjadi imam. Hal ini sangatlah wajar bagi orang-orang Brabant saat itu. Para pemuda Brabant pada umumnya bercita-cita untuk menjadi guru atau menjadi imam, dua profesi yang dianggap berpendidikan baik di kalangan mereka.[1]

Pada tanggal 26 September 1900, Willekens masuk novisiat Yesuit di Mariendaal, dekat Grave, Brabant Utara. Lalu tahun 1904, ia belajar filsafat-teologi di Oudenbosch. Di tengah masa studinya, Willekens mengalami gangguan kesehatan. Oleh karena itu, selama masa penyembuhan ia ditugaskan untuk menjadi surveillant di Kolese Kanisius, Nijmegen. Tanggal 24 Agustus 1915, di Maastricht, Willekens ditahbiskan menjadi seorang imam dalam ordo Serikat Jesus.

Perkenalannya dengan Hindia Belanda terjadi pada saat ia diangkat menjadi Visitator Regularis Yesuit untuk misi di Jawa di tahun 1928. Meski tidak begitu lama tinggal di Jawa, ia memperhatikan banyak hal sehingga mengenal wilayah misi dengan baik. Sewaktu berkeliling di Jawa, dia mengajukan pertanyaan: apakah tidak lebih baik kalau di daerah tropis, jubah yang berwarna hitam model Eropa digantikan dengan jubah berwarna putih yang lebih sesuai dengan iklim yang panas? Usul tersebut kemudian diterima sehingga sejak saat itu, para imam, bruder, dan suster mulai memakai jubah putih.[2]

Pada tahun 1933, Mgr. A.P.F van Velsen SJ, Vikaris Apostolik Batavia, mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Jabatan itu kemudian dilanjutkan oleh Willekens. Paus Pius XI, tanggal 23 Juli 1934, mengangkat pastor Willekens menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pertimbangannya adalah bahwa Willekens mengetahui dengan baik wilayah misi di Jawa tatkala ia menjadi seorang visitator misi.

Motto tahbisan uskup yang dipilih dalam jabatannya adalah “Scio Cui Credidi”.Kata-kata ini diambil dari surat Rasul Paulus kepada Timotius, “…karena aku tahu kepada siapa aku percaya..” (2 Tim 1:12). Permenungan atas motto itu adalah sebagai berikut. Yesus adalah sumber segala kepercayaan. Siapa yang percaya kepada-Nya dapat mengharapkan bahwa segala karya yang dilakukan bersama-Nya akan membawa buah-buah abadi.

Tugas Vikaris Apostolik Batavia saat itu adalah bertanggung jawab untuk menjalankan reksa pastoral atas wilayah yang sekarang menjadi wilayah Keuskupan Agung Jakarta dan Keuskupan Agung Semarang. Dengan tekun dan sabar, ia menjalankan tugas itu. Umat Katolik mengalami perkembangan jumlah yang teratur. Selain itu, panggilan untuk menjadi imam, bruder, dan suster pun semakin subur.

Perhatian besar Mgr. Willekens terhadap bibit-bibit panggilan rohanitampak dalam tiga langkah besar. Pertama, pendirian lembaga pendidikan imam diosesan yakni Seminari Tinggi Santo Paulus. Kedua, pendirian lembaga hidup bakti biarawati pribumi Tarekat Abdi Dalem Sang Kristus. Ketiga, pengesahan lembaga hidup bakti biarawan pribumi Kongregasi Bruder Apostolik (Bruder Rasul). Selain itu, beliau juga mulai membuka asrama Seminari di Jalan Lapangan Banteng pada tahun 1950. Penghuni asrama ini belajar di SMA Kolese Kanisius. Pada tahun 1952, Seminari ini dipindahkan ke Tangerang.[3]

Karya Mgr. Willekens tidak sebatas pada pembangunan lembaga pendidikan calon biarawan/wati. Beliau juga punya andil besar dalam mengusahakan pembangunan tempat ibadah bagi jemaat. Salah satunya adalah Gereja Kampung Sawah, Bekasi. Gereja ini direnovasi dengan sebagian uang sumbangan dari Mgr. Willekens dari penduduk wilayah Reussel. Di samping itu, beliau juga memperhatikan situasi umat dengan membangun sekolah-sekolah serta mendirikan rumah sakit-rumah sakit. Lalu, Mgr. Willekens juga menaruh perhatian khusus dalam bidang pers. Beliau adalah pencetus terbitnya majalah dwimingguan “Penabur” untuk masalah kemasyarakatan di tahun 1946 dan majalah mingguan “De Katholieke Week” (sekarang dikenal dengan nama Majalah HIDUP) untuk masalah kekatolikan pada tahun 1947.

Dalam masa kegembalaannya, jumlah umat di Vikariat Batavia terus merangkak naik. Pada tahun 1934, umat berjumlah 51.908 dan di tahun 1940 jumlah umat menjadi 64.399.[4] Bertambahnya jumlah umat secara pesat ini mengakibatkan adanya pemekaran wilayah. Pada tanggal 5 Agustus 1940, daerah Semarang menjadi Vikariat tersendiri yang dipimpin oleh Mgr. Albertus Soegijapranata.

Mgr. Willekens adalah seorang uskup yang cekatan dan gagah berani. Hal ini terlihat ketika pecahnya Perang Dunia II. Indonesia dikuasai oleh Jepang. Jepang mempunyai keinginan untuk menghilangkan pengaruh Eropa di Asia dan menjadikan kawasan Asia Selatan sebagai wilayah persemakmuran Jepang. Pada tahun 1943, semua imam berkebangsaan Eropa di Vikariat Batavia diinternir. Jepang mengirim beberapa biarawan dari negaranya untuk menggantikan peran para misionaris Eropa.

Namun, Mgr. Willekens tidak ikut diinternir. Beliau memiliki langkah yang ‘cerdas’ dengan mengangkat dirinya sebagai “wakil resmi” Takhta Suci Vatikan. Berkat “jabatan diplomatik” itu, beliau berhasil mendapatkan status kebal sehingga ia tetap depat berkeliling Jakarta untuk menguatkan iman umat. Bersama dengan Soegijapranata, Willekens berjuang terus untuk memeliharan kehidupan umat Katolik. Prioritasnya adalah pendidikan imam. Hindia Belanda harus memiliki sebanyak mungkin imam pribumi mengingat jumlah misionaris Eropa akan menjadi semakin kecil. Larangan berkotbah di Gereja dilanggarnya dengan amat berani. Mgr. Willekens menyadari bahwa umat pada saat pendudukan Jepang membutuhkan kehadiran seseorang yang dapat meneguhkan kehidupan iman mereka.

Pada tahun 1952, usia Mgr. Willekens semakin tua dan kesehatannya berangsur-angsur menurun. Atas dua alasan itu, ia mengajukan permohonan diri untuk mundur dari jabatan Vikaris Batavia. Selanjutnya jabatan itu diemban oleh Mgr. Djajaseputra. Memasuki masa tua, Mgr. Willekens menjadi pengasuh para novis Yesuit di Girisonta. Setelah itu ia berpindah ke Yogyakarta dan mnejadi pembimbing rohani bagi para frater teologan di Kolese Santo Ignasius. Lalu, pada tanggal 27 Januari 1971, Mgr. Willekens meninggal dunia di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Beliau meninggal pada usia 89 tahun.

[1] Widhiasta, P. Widyawan, Monsinyur Willekens SJ: Uskup Perintis Pribumisasi Pendidikan, Imam, dan Pelayan Rohani Umat Katolik Indonesia, Jakarta: Obor, 2009, hlm.47.

[2] Kurris, R., Sejarah Seputar Katedral Jakarta, Jakarta: Obor, hlm. 166.

[3] Op.cit., Monsinyur Willekens, hlm. 57.

[4] Ibid. hlm. 60.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun