Mohon tunggu...
Philipus Dellian Agus Raharjo
Philipus Dellian Agus Raharjo Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang yang ingin menjadi kawan seperjalanan anda.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Belajar Aksara Jawa (1)

1 Mei 2012   11:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52 10838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lungo tak anti-anti kapan nggonmu bali Mecahe endah ing wengi Kutho Nganjuk iki Sumilir angin wates nggugah kangene ati Opo kowe ora ngerteni kowe tak kangeni Neng alon-alon tak goleki Terminal stasiun tak ubengi Senajan setahun tak enteni Tresnamu sing tak gondeli Lali tenan toh dek nggonmu janji-janji Di sekseni lampu alun-alun iki Lali tenan toh dek karo aku iki Ning terminal stasiun nggonku goleki dst. Demikian syair lagu campursari yang saya baca di youtube. Lagu yang dinyanyikan oleh Ratna Antika dan Wawan BEST berjudul "Alun-alun Nganjuk". Penulisan kata "alun-alun" pada judul sudah tepat. Akan tetapi ketika saya mengikuti teks lagu yang terdapat pada video, kata tersebut ditulis "alon-alon". Kata "alun-alun" dan "alon-alon" di dalam bahasa Jawa memiliki arti yang jauh berbeda. Alun-alun berarti lapangan luas yang pada zaman dulu biasanya terdapat di depan dan/atau di belakang keraton dan kabupaten. Alon-alon berarti pelan-pelan. Kekeliruan penulisan kata di dalam teks lagu tersebut bukan hanya pada kata "alon-alon", melainkan juga kata "lungo", "kutho", "opo", "gondeli", "dek", dan "di sekseni". Saya percaya, bahwa ada kompasioner yang mengerti alasan mengapa penulisan kata-kata tersebut keliru. Saya berpendapat, bahwa kekeliruan penulisan terjadi karena kata-kata yang diucapkan oleh penyanyi ditulis berdasarkan apa yang didengar oleh telinga dan oleh orang yang tidak memahami aksara Jawa. Untuk dapat menuliskan kata-kata berbahasa Jawa dengan tepat, mau tidak mau seseorang harus memahami aksara Jawa. Bunyi dalam bahasa Jawa yang sering ditulis keliru adalah /å/ yang ditulis sebagai "o". Contohnya adalah kata "sakit" dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dan ditulis sebagai "loro" dalam bahasa Jawa. Padahal seharusnya ditulis "lårå", /å/diucapkan seperti /o/ pada kata "top". Kata "loro" berarti "dua" dalam bahasa Indonesia. Lantas bunyi /u/ ditulis sebagai "o" seperti pada kata "alon-alon" untuk "alun-alun" di atas. Bunyi lainnya adalah /é/ yang ditulis sebagai "e", padahal seharusnya ditulis "i". Misalnya kata "ayam" dalam bahasa Indonesia ditulis sebagai "pitek" dalam bahasa Jawa. Seharusnya kata "pitek" ditulis "pitik". Kata "pitek" tidak mempunyai arti dalam bahasa Jawa. Berikutnya adalah bunyi /dh/ yang ditulis sebagai "d", contohnya kata "mengubur" dalam bahasa Indonesia ditulis sebagai "mendem" dalam bahasa Jawa. "Mendem" berarti "mabuk" atau bisa juga berarti "tergila-gila". Akan terasa aneh bila ada kalimat seperti: Ana wong mendem bathang kirik (=Ada orang mabuk bangkai anak anjing). Seharusnya: Ana wong mendhem bathang kirik (Ada orang mengubur bangkai anak anjing). Bunyi lainnya yang sering keliru adalah /th/ yang ditulis sebagai "t", misalnya kata "sari" atau bisa juga "tepung" dalam bahasa Indonesia ditulis sebagai "pati" dalam bahasa Jawa. Padahal seharusnya ditulis "pathi". Kata "pati" berarti "mati, meninggal" dalam bahasa Indonesia.

Pelatinan aksara Jawa pada buku-buku teks pelajaran bahasa Jawa pada masa ayah saya bersekolah (sekitar tahun 50-an) sangat berbeda dengan pelatinan aksara Jawa pada buku-buku teks pelajaran sekarang. Pada masa itu buku-buku teks berbahasa Jawa "mengenal" huruf å, é, è, ê, dan ó. Dengan demikian murid pada masa itu dapat membedakan huruf latin mana  yang berbunyi /e/ pepet dan /e/ benar, lalu huruf latin mana yang berbunyi /a/ benar dan /a/ yang diucapkan seperti /o/ pada kata "top".

Baiklah, sekarang mari Anda saya ajak mengenali ke-20 aksara Jawa atau disebut aksårå Carakan. Bagi para kompasioner yang telah mumpuni dalam aksårå Jawa, apa yang saya sampaikan barangkali hanya sekadar pengingat. Inilah bentuk dari ke-20 aksara dasar aksara Jawa:

[caption id="attachment_174738" align="aligncenter" width="300" caption="Aksara Jawa/Aksara Carakan"][/caption]

Bentuk aksara Jawa yang dikenal sekarang ini berasal dari aksara Dewanagari dan aksara Pallawa yang mengalami beberapa kali pengubahan dan penyederhanaan bentuk. Aksara yang dikenal sekarang ini mulai dipakai sekitar tahun 1500, misalnya pada Kitab Bonang. Bagi kompasioner yang mendalami paleogeografi Indonesia mungkin bisa menjelaskan secara lebih lengkap.

Aksara Jawa adalah aksara yang unik karena bukan sekadar lambang bunyi. Aksara Jawa tidak hanya berfungsi literer, melainkan juga berfungsi estetik dan kultural. Yang dimaksud fungsi estetik di sini adalah penggunaan aksara Jawa untuk menciptakan karya seni baik audio (mis. rima), maupun visual (mis. kaligrafi). Sedangkan yang dimaksud fungsi kultural adalah penggunaan aksara Jawa berkaitan dengan astrologi dan astronomi Jawa (mis. pétungan ramalan dan pétungan mångså), mantra dan rajah.

Ditinjau dari maknanya, paling tidak terdapat 3 makna tentang aksara Jawa. Ke-3 makna itu adalah makna fiktif, makna simbolik, dan makna filosofis. Makna fiktif berkaitan dengan kisah tentang asal-usul aksara Jawa yang biasanya dikaitkan dengan kisah Ajisaka. Makna simbolik berkaitan dengan milleniarism, yaitu gerakan yang mengharapkan kedatangan Ratu Adil. Sedangkan makna filosofis berkaitan dengan filsafat hanacaraka. Setidak-tidaknya terdapat 20 filsafat mengenai hanacaraka, mulai dari filsafat hanacaraka Serat Sastra Gendhing hingga filsafat hanacaraka dalam lakon Semar Mbabar Jati Dhiri. Tulisan saya tidak akan membahas fungsi maupun makna aksara Jawa. Semoga ada kompasioner yang bersedia menguraikannya. Saya hanya akan mengajak para kompasioner yang berminat terhadap aksara Jawa untuk mengenali dan menulis aksara Jawa dengan aturan yang benar, sehingga mampu mentransliterasikannya dalam huruf latin dengan benar.

Pada gambar di atas, saya sengaja menulis bentuk latinnya dengan 2 cara, misalnya ha/hå, na/nå, ca/cå, dst. Hal ini disebabkan bunyi aksara dasar tersebut dapat terdengar sebagai /a/ atau a benar dan /å/ atau a yang diucapkan seperti /o/ pada kata "top". Misalnya kata "badan" dalam bahasa Indonesia diucapkan sebagai "rågå", tetapi kata "badanku" diucapkan dengan benar sebagai "ragaku", bukan "rågåku".

Posisi aksara Jawa yang benar bila ditulis dengan tangan adalah "menggantung" pada garis, bukan "menumpang" pada garis. Perhatikan gambar berikut:

[caption id="attachment_174743" align="aligncenter" width="300" caption="Posisi penulisan Aksara Jawa"]

1335871562769691123
1335871562769691123
[/caption] Sangat disayangkan sekarang ini beberapa guru bahasa Jawa tidak terlalu mempedulikan aturan ini, atau mungkin juga tidak mengetahuinya. Terbukti banyak siswa yang menulis aksara Jawa dalam posisi "menumpang" pada garis dan dibiarkan saja oleh guru-guru mereka. Arah goresan dalam menulis aksara Jawa pun memiliki aturan sendiri. Pada umumnya untuk memulai goresan adalah dari bawah ke atas dan berakhir kembali di bawah, seperti pada contoh gambar berikut ini:

[caption id="attachment_174744" align="aligncenter" width="300" caption="Arah Goresan Aksara Jawa"]

1335872167182670366
1335872167182670366
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun