Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Eggy Sujana, Kivlan Zen, dan Kelucuannya

10 Mei 2019   09:00 Diperbarui: 10 Mei 2019   09:05 3006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Eggy Sujana, Kivlan Zen, dan Kelucuannya

Tentu bahwa lebih heboh soal tersangka makar yang disandang Eggy Sujana, namun ada kelucuan di sana-sini berkaitan dengan hal itu. Apalagi jika menyangkut  soal politis dan sikap tidak mau bertanggung jawab, namun berdalih macam-macam. Lucu, ketika apa yang diteriakan dan dilakukan, di hadapan massa dan polisi itu berbeda.

Kivlan menunjuk Eggy sebagai pengacaranya, padahal Eggy adalah tersangka dalam sangkaan makar. Si Eggy tidak terima ditersangkakan karena sebagai pengacara tidak boleh menjadi tersangka. Lucu apa maaf bloon sih ini?

Aksi 9 Mei, Eggy oleh wartawan ditanya soal massa yang ada di Lapangan Banteng tidak tahu menahu, karena itu adalah  aksi dari Kivlan, dia hanya seorang pengacara. Lha dalah, coba kalau dipersidangan  apa ya mungkin jawaban begitu?

BPN pun mengatakan tidak tahu menahu jika ada aksi atau demo dari Kivlan dan Eggy. Coba bagaimana ini, ketika koalisi bisa model pecah kongsi dan main tidak tahu-tidak tahuan? Atau karena potensial ribet dan ribut dengan aparat penegak hukum.

Cukup menohok juga, dari rekan koalisi setengah hati, Demokrat yang diwakili oleh Ferdinan Hutahaen yang mengatakan kalau orasi Eggy bulan lalu memang makar. Jadi apa yang disampaikan polisi dan status tersangka itu ada unsur kebenarannya.

Biasa kalau si tersangka ya mengatakan itu hanya pendapat, yang dilindungi hukum dan UU, kriminalisasi atas ini dan itu, atau pengalihan isu atas kecurangan. Itu hak dia juga, dan hak serta kewajiban polisi jika menyematkan status tersangka, sebagaimana kata Mahfud MD, polisi tidak bodoh apalagi gegabah, tentu ada dua alat bukti yang cukup.

Dari beberapa hal di atas menarik untuk dilihat,

Kondisi 02 makin rapuh. Aksi dan reaksi antaraelit saja sudah tidak sinkron satu sama lain. Ini bukan settingan, namun kondisi nyata di mana mereka memang sedang kacau dan kehilangan akal mau apalagi. Seluruh daya upaya sudah dilakukan dan keadaan tidak mendukung untuk itu.

Blunder demi blunder dari mau people power, yang terkini konon tidak lagi, dan jalur konstitusi menjadi pilihan. Diperparah ada dugaan form C1 palsu yang tertangkap, padahal maunya menangkap teroris malah mendapatkan berkas penting seperti ini.

Penolakan dan pernyataan tidak tahu dari elit atas aksi 9 Mei memberikan indikasi bahwa memang sudah lepas koordinasi, tidak ada lagi kesatuan suara, di antara mereka sendiri. Mau apa lagi dengan fakta-fakta yang ada seperti itu.

Sikap lempar tanggung jawab. Cukup aneh dan lucu, ketika pakaian, ungkapan, istilah selalu mengaitkan dengan agama, namun selalu lempar tanggung jawab. Bagaimana tanggung jawab sebenarnya adalah salah satu ciri orang beragama yang baik. 

Melihat ungkapan Eggy yang merasa tidak tahu massa yang dalam koordinasi Kivlan, padahal ia adalah pengacaranya jelas lucu.

Pengacara tidak bisa dijadikan tersangka. Ini juga lucu dan maaf bodoh. Bagaimana tidak, yang tidak bisa dijadikan tersangka jika iytu menyangkut kasus hukum berkaitan dengan kliennya. 

Contoh saja, pengacara pembunuhan si A, di jalan ia menabrak orang dan meninggal karena ia mengantuk. Apa iya ia lolos dari hukum karena lalai, karena ia mendampingi si tersangka pembunuhan? Jelas tidak.

Toh kasus pengacara yang diusut dan menjadi terpidana juga tidak hal yang baru. Sama halnya dengan anggota dewan yang berkoar kebal hukum, padahal kekebalannya hanya ketika ada di dalam ruang sidang, kalau ia memerkosa ya tetap dipidana. Jangan membodohi orang, kalau memang bodoh ya akui saja.

Saling sikut dan saling sikat. Kondisi memprihatinkan sebenarnya, bagaimana mereka selama ini bukan bekerja sama namun bekerja bersama-sama. Tujuannya berbeda-beda. Kelihatan bagaimana sikap parpol dan para elit secara individu. 

Ada tudingan setan gundul, haram 2019 ganti presiden, klaim kemenangan berjilid-jilid, penghentian penghitungan dengan dalih adanya petugas yang meninggal. Ini hanya upaya untuk mencari keuntungan sendiri.

Prabowo dibiarkan kalut sendiria, Sandi mulai cari jalan aman, elit lain mendapatkan kursi parlemen cukup nyaman. Hanya lingkaran utama, maaf malah banyak cenderung terkena skandal dan jerat hukum yang masih getol bersama Prabowo. Padahal koalisi secara resmi malah sudah bubar dengan jalan dan cara masing-masing.

Apakah ini juga salah Jokowi, intelijen, atau upaya mengcaukan soliditas 02? Sejak awal soliditas itu tidak ada. Memang lemas sejak awal pada dirinya. Pemilihan individu untuk jadi apa, berdasarkan sikap memang kalah, bukan memang-menang. Wajar semua minta selamat sendiri-sendiri dan cari aman.

Perilaku politikus tidak siap kalah. Konsep harus menang jelas malah memperlemah seluruh tim, karena ketegangan harus menang, apa daya, modalnya sangat lemah. Mengandalkan  pola-pola berulang yang mencapai puncak kebosanan. Salah satu indikasinya adalah angka partisipasi pemilih yang cukup tinggi.

Politik identitas dan sektarian makin tidak laku, itu pengulangan karena sukses di Jakarta. Pelaku-pelaku inilah yang masih ngotot mengaku menang dan melakukan aneka aksi yang tidak jelas. Kondisi tahu namun tidak mau tahu, hanya modal pokoke. 

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun