Mohon tunggu...
Noor Afeefa
Noor Afeefa Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Kebijakan Pendidikan

"Ketahuilah, sesungguhnya pintu terbesar manusia yang dimasuki oleh iblis adalah kebodohan” (al-Hafidz Imam Ibnul Jauzi al-Hanbali)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pungutan Sekolah, Bukti Batilnya Konsep MBS dan Kezaliman Rezim

14 Maret 2019   09:12 Diperbarui: 14 Maret 2019   09:19 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisruh pungutan di SMAN 19 Bandung membuka kedok yang selama ini ditutupi sistem pendidikan kapitalis.  Pihak sekolah berkelit karena pungutan tersebut resmi dan dikeluarkan (sepersetujuan) Komite Sekolah.  Semua siswa (termasuk yang ber-SKTM) dipungut Rp 50.000,00 untuk pembayaran Edubox yakni sebuah aplikasi pembelajaran daring untuk siswa dan guru.

Hal yang sama terjadi Di SMAN 5 Kendari.  Tim Ombudsman Sultra bahkan sudah turun tangan untuk menghentikan pungutan oleh Komite Sekolah ini.  Di sekolah ini siswa dipungut Rp 850.000,00 untuk biaya pembebasan lahan untuk pembangunan gedung baru, biaya guru honorer dan petugas keamanan.

Beberapa kasus tersebut hanyalah sebagian yang diberitakan media.  Yang tidak diberitakan tentu lebih banyak lagi. Pungutan sekolah menjadi 'kejahatan' lumrah di tengah aturan yang ditegakkan sistem pendidikan kapitalis.

Sayangnya, justru pemerintahlah yang menjadi biang kejahatan ini.  Pemerintah juga memberikan perlindungan kepada sekolah yang melakukan pungutan (resmi).  

Sebagaimana yang dikatakan Mendikbud Muhadjir Effendy menanggapi kasus di Bandung. Ia menyatakan kementerian yang dipimpinnya akan memberikan bantuan hukum kepada sekolah yang dituding melakukan pungutan.  Sebab, tidak semua pungutan disebut pungli, ada yang resmi.  (https://m.merdeka.com/peristiwa/mendikbud-tidak-semua-pungutan-sekolah-disebut-pungli-ada-yang-resmi.html).

Secara peraturan, pungutan sekolah terjadi karena Komite Sekolah diberi hak meminta sumbangan kepada siswa berdasarkan Permendikbud No. 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.  Komite Sekolah sendiri merupakan lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

Komite Sekolah dapat melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.  

Adapun dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.   Untuk itu Komite Sekolah harus membuat proposal yang diketahui oleh Sekolah sebelum melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat.

Meski berbentuk sumbangan, namun pada faktanya banyak sekolah yang nyata-nyata melakukan pungutan. Sebab, nominalnya telah disebutkan,bahkan tak sedikit yang disertai embel-embel sanksi.

Konsep Batil MBS
Keterlibatan orang tua (Komite Sekolah) untuk mengelola pendidikan merupakan turunan dari konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah dan guru, dibantu oleh Komite Sekolah dalam mengelola kegiatan pendidikan (Penjelasan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Melalui konsep MBS, sekolah -yang seharusnya menjadi representasi Negara- dapat mengalihkan fungsi dan wewenangnya kepada Komite Sekolah, yang di antaranya mengelola pembiayaan pendidikan. 

Sebab, dengan alasan untuk menunjang pendidikan, Komite Sekolah dapat menggalang dana masyarakat -yaitu siswa atau orang tua siswa.  Dan yang kerap terjadi, bentuk penggalangan dana tersebut berbentuk pungutan, bukan sumbangan.  Diberikannya hak kepada Komite Sekolah untuk mengumpulkan dana masyarakat terbukti membebani rakyat.  

Sejatinya, membiayai segala keperluan pendidikan adalah tugas Negara.  Sebab, Negaralah -yaitu penyelenggara Negara- yang telah mendapatkan amanah rakyat untuk melaksanakan tugas mengatur urusan rakyat. 

Melalui politik pemerintahan dan politik ekonominya, seharusnya Negara berupaya mencukupi kebutuhan rakyat, termasuk dalam pendidikan.

Konsep otonomi sekolah melalui MBS dengan melibatkan Komite Sekolah menjadi jalan bagi Negara untuk berlepas tanggung jawab, dalam hal ini membiayai pendidikan.  

Hal ini sangat berbahaya, sebab rakyat tidak diperkenankan mengambil alih tugas negara.  Rakyat hanya bisa membantu tapi tidak boleh mengambil alih.  Negara pun tidak boleh memaksa rakyat, apalagi melimpahkan tugas dan tanggung jawabnya.  Inilah fungsi negara sesungguhnya di hadapan rakyat.

Namun, dalam sistem politik demokrasi neoliberal, Indonesia menganut Reinventing Government.  Negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan penanggung jawab dan penyelenggara langsung urusan publik (steering rather than rowing).  Konsep ini mengharuskan adanya distribusi fungsi, wewenang dan tanggung jawab Negara pada masyarakat dan swasta (dalam hal ini Komite Sekolah).

Dampaknya, masyarakat akan terbebani dengan serangkaian tugas yang sebenarnya menjadi tanggung jawab Negara.  Sementara Negara berlepas tangan.  Inilah salah satu dampak buruk konsep MBS. 

 Dengan demikian MBS merupakan paradigma batil.  Dan rezim yang menerapkannya telah bertindak zalim. Kezaliman rezim ini sekaligus menunjukkan kegagalannya dalam menyelenggarakan pendidikan yang baik bagi rakyat.

Tanggung Jawab Negara dalam Islam
Islam tidak mengenal konsep MBS.  Negara dalam sistem Islam (yaitu Khilafah) bertanggung jawab penuh melayani kepentingan rakyat, termasuk pendidikan.  Tugasnya tidak boleh diambil alih oleh siapa pun, termasuk orang tua (Komite Sekolah).
ain). Sistem pendidikan Islam tidak membebani rakyat bahkan mengantarkan masyarakat menuju peradaban agung dalam sejarahnya.

Tentu saja, semua itu hanya terwujud dalam Negara Khilafah yang menerapkan sistem pendidikan Islam.  Sistem sahih ini tak akan terwujud dalam negara demokrasi neoliberal saat ini. Karenanya, sudah saatnya masyarakat membuang sistem demokrasi neoliberal yang terbukti menyengsarakan dan berjuang menegakkan sistem sahih, Khilafah Islam. []

Noor Afeefa (Pemerhati Kebijakan Pendidikan Dasar Menengah, Islamic Public Policy Institute)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun