Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bukti Indonesia Masih Ada dalam Film

29 Agustus 2017   11:02 Diperbarui: 14 November 2023   15:10 3792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Del Juzar, aktor pemeran wartawan Mochtar yang juga berprofesi sebagai pengacara/lawyer dalam kehidupan aslinya (Ilustrasi: https://en.wikipedia.org/wiki/Darah_dan_Doa)

Produksi film perjuangan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini memang cukup beragam dari segi kualitas dan kuantitasnya. Ada yang menceritakan tokoh, seperti "Soekarno", "Guru Bangsa: Tjokroaminoto", "Jenderal Soedirman", dan ada pula yang berbentuk animasi, yakni "Battle of Surabaya".

Sejarah produksi film bertema heroisme di Indonesia ternyata sudah lama sejarahnya, yaitu 67 tahun. Film 'Darah dan Do'a' adalah film perjuangan dan sekaligus film nasional pertama yang sepenuhnya diproduksi rakyat Indonesia dan disutradarai oleh Usmar Ismail pada tahun 1950.

Setahun kemudian, di tahun 1951, Usmar Ismail kembali menyutradarai film nasional kedua yang masih bertema perjuangan yaitu "Enam Djam di Djogja". Film yang masih berwarna hitam-putih ini berlatarbelakang peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

"Enam Djam di Djogja" disebut film yang mewakili kondisi paling realistis tentang SU. Penonton disuguhi dengan kalimat pembuka yaitu tujuan film untuk menggambarkan kerja sama yang erat antara rakyat, tentara, dan pemerintah RI dalam mempertahankan kemerdekaan.

Jadi, tidak ada satu pun tokoh yang menonjol dalam film "Enam Djam di Djogja". Film ini memang lebih mengisahkan tentang kondisi nyata rakyat Indonesia --diwakili masyarakat Yogya-- ketika Belanda kembali gencar untuk menguasai Indonesia setelah Proklamasi tahun 1945.

Menurut saya, sekalipun masih hitam-putih, kualitas skenario dan akting para pemain film "Enam Djam di Djogja" tak kalah berkualitasnya dengan sineas modern saat ini. Patut dicatat dan diingat, film ini diproduksi hanya berjarak 6 (enam) tahun sejak kemerdekaan RI tahun 1945.

Namun, segala keterbatasan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, ditambah dengan Agresi Militer Belanda tahun 1948, tak lantas menyurutkan semangat nasionalisme sineas Indonesia. Berjuang jelas dapat dilakukan dengan banyak cara, termasuk melalui film.

Selama ini, SU 1 Maret 1949 di Yogyakarta --waktu itu menjadi Ibu Kota RI setelah sejumlah pemimpin nasional di Jakarta diasingkan oleh Belanda --identik dengan pengkultusan terhadap peran Presiden RI ke-2, Soeharto. Sejatinya, kesuksesan SU 1 Maret 1949 tersebut juga sangat didukung oleh Sultan Hamengkubowono (HB) IX yang dalam film itu dipanggil Mataram XIII.

Belanda pun terus mengabarkan ke seluruh dunia bahwa seolah Indonesia tinggal nama setelah berhasil menduduki Yogyakarta dalam Agresi Militer II pada Desember 1948. Adanya SU 1 Maret 1949 menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih dan tetap ada.

Film "Enam Djam di Djogja" mengisahkan tentang rakyat biasa yang berjuang dalam bertahan hidup di Yogya selama pendudukan Belanda. Mereka adalah Mochtar (wartawan), Hadi (tentara), Endang (laskar wanita), dan Wiwiek (adik Hadi). Keempatnya terus mengobarkan semangat orang-orang di sekitarnya untuk tetap berjiwa nasionalisme saat ekonomi sedang sulit.

Poster promosi film hitam putih legendaris karya sutradara Usmar Ismail (Ilustrasi: https://en.wikipedia.org/wiki/Enam_Djam_di_Jogja)
Poster promosi film hitam putih legendaris karya sutradara Usmar Ismail (Ilustrasi: https://en.wikipedia.org/wiki/Enam_Djam_di_Jogja)
Ternyata, di saat perjuangan fisik dulu, tak sedikit rakyat Indonesia yang tergerus rasa patriotismenya karena tekanan ekonomi. Misalnya tokoh Sutedjo (biasa dipanggil 'Ted') yang menjadi tentara Belanda (NICA) dan mengajak orang lain untuk mendukung Belanda juga. Ted menjadi tokoh antagonis (atau malah oportunis?) yang mengaku masih berjiwa Indonesia namun secara logika, lebih memilih Belanda. Menurutnya, perang hanya menguntungkan pimpinan. Tapi, ujungnya selalu menyusahkan rakyat biasa, termasuk dirinya.

Keluarga Hadi pun tak luput dari tuntutan ekonomi. Ayahnya ingin bekerja di lagi perusahaan Belanda agar dapur keluarga tetap menyala. Tetapi, ide itu ditentang keras oleh ibunya Hadi dan Wiwiek. "Apa kata Hadi kalau Bapak bekerja untuk Belanda?!" protes Sang Istri.

Di sinilah konflik mulai mengalir. Endang dan Wiwiek yang bekerja sebagai pelayan restoran sambil diam-diam menjadi kurir pesan rahasia di antara tentara Indonesia mendapati diri mereka masing-masing terlibat dalam kisah cinta yang rumit di kala perang berkecamuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun