Mohon tunggu...
Nida Khoiriah
Nida Khoiriah Mohon Tunggu... -

saya hanya mahasiswi FK UMJ yang bercita-cita menjadi dokter muslimah & penulis terkenal

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Optimalisasi Pencegahan Transmisi Vertikal HIV/AIDS dengan Ekstrak Banlec pada Pisang

20 Februari 2011   17:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:25 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

When a woman is able to give birth, that is a gift. But when an HIV-positive woman is able to give birth, and the baby turns out to be negative, that is a miracle

HIV/AIDS dan Transmisi Vertikal AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. HIV/AIDS adalah salah satu masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di dunia. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Krisis multidimensi khususnya krisis kemanusiaan tidak hanya mengancam orang dewasa tetapi saat ini HIV/AIDS juga mengancam jiwa anak-anak Indonesia. Hal ini terjadi karena krisis ekonomi yang makin mengancam negara Indonesia juga mengancam rencana pencegahan dan pengobatan konvensional yang seharusnya dapat menekan persentase morbiditas dan mortalitas anak penderita HIV/AIDS. Berdasarkan data Kemenkes tahun 2010, dalam empat tahun terakhir kasus HIV/AIDS pada anak-anak Indonesia meningkat 700%. Pada 15 Januari 2004 diketahui jumlah HIV pada anak sebanyak 158 anak, kemudian pada 1 Desember 2009, diketahui jumlahnya sudah meningkat menjadi 691 anak dan pada 2010 kembali meningkat menjadi 1.119 anak. Peningkatan penyebaran virus mematikan ini terjadi karena penularan dari ibu HIV+ ke bayi semakin tidak terkendali. Cairan yang dikeluarkan oleh ibu seperti plasenta, darah, dan ASI menjadi penyebab utama mudahnya terjadi penularan ke bayi. Bayi dapat menjadi terinfeksi di dalam kandungan (intrauterin), selama proses persalinan (intrapartum), atau melalui ASI. Pada waktu bayi dalam kandungan, bayi mendapat zat makanan dan O2 dari darah ibu yang dipompakan ke darah bayi, walaupun begitu umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi, HIV tidak dapat menular dari ibu ke anak melewati plasenta, dan plasenta malah melindungi fetus dari HIV. Tetapi perlindungan ini dapat rusak ketika imunitas ibu menjadi lemah. Penularan pada proses persalinan terjadi ketika kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi sehingga virus HIV dapat masuk kedalam tubuh bayi. Makin lama proses persalinan berlangsung, makin lama kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu, makin tinggi resiko tertular. Sedangkan, penularan melalui ASI terjadi pada minggu-minggu pertama menyusui. Semakin lama bayi menyusui semakin besar persentase penularan HIV ke bayi. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV berkisar sekitar 15-30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25-35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18-24 bulan maka risiko terinfeksi meningkat menjadi 30-45%. Penularan dari ibu ke bayi ini termasuk ke dalam transmisi vertikal penyebaran HIV/AIDS. Saat ini, laju transmisi vertikal dari ibu ke bayi (MTCT) bervariasi dari 13% hingga 40% pada perempuan yang tidak diobati. Persentase transmisi vertikal dari ibu ke bayi berkisar sekitar 5-10% selama kehamilan, 10-20% saat persalinan dan menyusui bila disusui sampai 2 tahun. Dengan demikian pencegahan penularan vertikal dari ibu ke bayi menjadi penting. Karena hal tersebutlah yang dapat menurunkan persentase morbiditas dan mortalitas HIV/AIDS pada anak, serta merupakan upaya pembangunan bangsa dalam hal memajukan generasi muda. Langkah pencegahan transmisi vertikal HIV/AIDS yang dilakukan pada ibu hamil terkait juga dengan Undang-Undang Dasar 1945, tentang Pembangunan Anak Indonesia sebagai bagian dari Pembangunan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas. Hal ini tertulis pada pasal 28 b (2) yang berbunyi, bahwa "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Jelaslah didalam undang-undang ini tersirat, bahwa suatu pencegahan transmisi vertikal dari ibu ke bayi (PMTCT) adalah suatu langkah yang sangat berperan penting untuk memajukan masa depan Bangsa. Saat ini, pencegahan yang sudah dicanangkan di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah pemberian obat antiretroviral (ARV) kepada ibu hamil. ARV bekerja langsung menghambat replikasi (penggandaan diri HIV). Tujuan dari pemberian obat ini adalah untuk meningkatkan kadar CD4 dan mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah) pada tubuh ibu. Hal ini dikarenakan, ketika terjadi peningkatan viral load maka akan memudahkan terjadinya peningkatan replikasi HIV dan kecepatan penghancuran sel CD4 dalam tubuh, sedangkan penurunan jumlah CD4 dapat memudahkan terjadinya peningkatan kerusakan pada sistem imunitas tubuh ibu. ART juga dapat menurunkan persentase transmisi vertikal dari ibu ke bayi saat kehamilan. Pemberian ART ini biasanya diberikan ketika sudah ada indikasi pemberian ART pada ibu hamil, tetapi beberapa dokter menyarankan agar pemberian ART tidak diberikan pada kehamilan triwulan pertama karena akan berdampak buruk pada janin yang dikandungnya. Selain pemberian ART pada triwulan pertama berdampak buruk terhadap kehidupan janin dalam kandungan, pemberian ART juga memiliki keterbatasan yaitu, tidak dapat menyembuhkan meskipun obat sudah diminum secara terus menerus dengan teratur, infeksi oprtunistik dapat tetap terjadi terutama jika terapi dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah, penularan dari ibu ke bayi masih tetap terjadi, dan biaya terus menerus dikeluarkan untuk obat dan pemantauan terapi, sedangkan tidak semua masyarakat Indonesia memiliki ekonomi diatas rata-rata. Oleh karena itu, saat ini pengoptimalisasian dalam pencegahan transmisi vertikal dari ibu ke bayi (PMTCT) sangat diperlukan. Optimalisasi Transmisi Vertikal HIV/AIDS dengan si Buah Kuning

12982226201362623741
12982226201362623741
Pisang selain terkenal sebagai buah utama pemberi energi yang mengandung banyak mineral, kalium, dan karbohidrat, serta sebagai buah yang sangat baik untuk ibu hamil karena kandungan asam folatnya. Ternyata pisang juga memiliki kandungan Banlec atau lektin yang dapat digunakan sebagai optimalisasi pencegah penularan HIV, khususnya HIV-1. Untung vs Rugi Berbeda halnya dengan terapi ARV, pisang adalah buah yang sangat mudah ditemukan oleh masyarakat Indonesia karena dapat ditemukan di semua pelosok negeri dan terjangkau pula harganya. Mudahnya resistensi yang terjadi pada ARV mendorong lektin pada pisang sebagai salah satu gagasan terbaru optimalisasi pencegahan transmisi vertikal, karena ketika terjadi resistensi terhadap ARV lektin yang dimiliki pisang dapat menggantikan kerja ARV secara optimal dan bekerja dengan jangka panjang yang tidak mudah resisten. Bagi ibu hamil yang terinfeksi HIV, dapat mengkonsumsi pisang satu kali sehari setelah makan sebagai pelengkap pola makan 4 sehat 5 sempurna atau dapat di jus yang berfungsi untuk mencegah transmisi vertikal pada masa kehamilan (intrauterin) dan masa menyusui, serta sebagai obat oles pada vagina untuk mencegah transmisi vertikal HIV/AIDS saat proses persalinan (intrapartum). Dengan mudahnya pemanfaatan buah pisang sebagai pencegah transmisi vertikal HIV/AIDS dari ibu ke bayi, dapat menjadikan buah pisang sebagai salah satu lahan mata pencaharian bagi masyarakat Indonesia yang mudah dibudidayakan dengan cara berkebun. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dengan buah pisang krisis multidimensi yang terjadi di negara Indonesia baik dari segi kemanusiaan ataupun ekonomi dapat menurun. Karena dengan adanya buah pisang dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas transmisi vertikal pada bayi sehingga tercapailah cita-cita bangsa untuk menjalani Undang-Undang Dasar 1945 dalam melindungi masa depan generasi penerus, serta meningkatkan ekonomi Indonesia dengan pembudidayaan pisang sebagai lahan berkebun. DAFTAR PUSTAKA
  1. Adelberg, Melnick, & Jawets. 2007. Mikrobiologi Kedokteran, edisi 23. Jakarta : EGC
  2. Baratawidaja, Garna, Karnean. 2009. IMUNOLOGI DASAR, edisi ke-8. Jakarta : EGC.
  3. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan.2003. PEDOMAN NASIONAL PERAWATAN, DUKUNGAN DAN PENGOBATAN BAGI ODHA. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
  4. Laporan Utama dari Majalah Keluarga Mandiri (Gemari), edisi 119/Tahun XI. Desember 2010. HIV/AIDS Mengancam Anak Bangsa dan Permasalahan Anak Masih Tinggi. Jakarta. Hlm. 12-13 dan 40
  5. Murey, K, Robert, dkk. 2009. BIOKIMIA HARPER, edisi 27. Jakarta : EGC.
  6. Swanson, D, Michael, dkk. 2010. A Lectin Isolated from Banana is a Potent Inhibitor of HIV Replication. Michigan : The American Society for Biochemistry and Moleclar Biology, The Journal of Biological Chemistry.
  7. Tsegaye, Solomon, Theodros, dan Pohlmann, Stefan. 2010. The Multiple Facets of HIV Attachment to Dendritic Cell Lectins. Oxford : Cellular Microbiology.
  8. Zubairi, Djoerban, dan Samsuridjal, Djauzi. 2006. Ilmu Penyakit Dalam (HIV/AIDS DI INDONESIA), edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun