Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mereka-reka Pandangan Mereka Soal Pindah Ibu Kota, Bagaimana Nasib Jakarta?

29 Agustus 2019   22:24 Diperbarui: 30 Agustus 2019   11:03 2196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang masih belum sepenuhnya mengerti dan memahami alasan realistis dan logis terkait pemindahan ibu kota dari Jakarta ke sebagian daerah di Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur.

Sebab sampai sejauh ini, dari kajian yang sudah dilakukan selama tiga tahun menurut pemerintah dan sudah digodok berlapis-lapis, tak ada yang benar-benar mengetahuinya. Lamat-lamat terdengar, sebentar kemudian, tahu-tahu sudah jadi itu barang! 

Didahului oleh permohonan izin tak resmi Presiden kepada hadirin pada sidang istimewa, tak lama kemudian diumumkanlah daerah yang akan dijadikan ibu kota baru pengganti Jakarta. Tapi permohonan izin di "markas besar" DPR inilah yang kemudian ikut meramaikan suasana.

Sebab seperti kita ketahui bersama, segala "barang" yang masuk ke DPR akan berpotensi mengalami gorengan dan politisasi, apalagi dari pihak oposisi.

Namun secara umum, pro-kontra pemindahan ibu kota belum usai, masih berlanjut hingga sekarang. Sebagiannya, sebagaimana disampaikan oleh Presiden, bahwa kebijakan pemindahan ibu kota dianggap urgen ketika Jakarta dianggap memiliki beban yang sudah terlampau berat.

Beban sebagai ibu kota, pusat pemerintahan, pusat bisnis dan keuangan, pusat barang dan jasa. Bahkan jika dipindah di pulau Jawa-pun, menurut Presiden, juga akan menambah berat pulau Jawa.

Solusinya, harus dipindah ke luar Jawa, dan Kalimantan adalah jawabannya. Selain sebagai cara untuk melerai segala keruwetan di Jakarta dan Jawa itu, pemindahan ibu kota adalah cara untuk meratakan pembangunan, terlebih letak Kalimantan yang berada di tengah. Sudah pas dan tepat, katanya!

Sementara itu, berbagai pertanyaan di benak masyarakat belum juga terselesaikan. Dimulai dari perlukah untuk mengganti nama ibu kota dengan nama yang baru. Ini masuk akal sebab daerah yang dipastikan akan menjadi ibu kota adalah dua daerah di kalimantan Timur.

Nama Kutai Kertanegara mungkin terdengar lebih "berwibara" karena ada sejarah yang tersemat disana dan terdengar "lebih nusantara", tapi jangan lupa, ada Penajam Paser Utara; sebuah nama yang mungkin hanya baru-baru ini dikenal banyak orang.

Mungkinkah akan ada nama baru? Ataukah gabungan dari keduanya? Ataukah yang satu mengalah untuk yang lainnya? Tentu saja ini soal teknis semata tapi sebuah nama bukanlah hal yang lucu untuk dibuat mainan, apalagi untuk dilekatkan pada ibu kota!

Kemudian dilanjutkan oleh statement Ketua DPP PAN, Yandri Susanto, yang mengatakan, bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah itu cacat prosedur. Belum legal karena belum ada undang-undang yang dibahas bersama DPR.

Selama itu tak ada, maka sejatinya, perpindahan itu hanyalah sebatas wacana. Kita tak mungkin punya dua ibu kota negara. Cabut dulu undang-undangnya, lalu buatlah yang baru!

Pandangan yang lebih keras dan selalu khas, disampaikan oleh Fahri hamzah. Menurutnya Presiden abai terhadap prinsip dan proses ketatanegaraan yang resmi dan lazim. Harus ada undang-undang, ada kajian, naskah akademik, dan lain-lain.

Lebih lanjut menurutnya, pemindahan ibu kota ini terkesan hanya keinginan segelintir orang, asal bapak senang, dan ada banyak penjilat di balik keputusan itu. (Baca disini)

Kemudian berkembang beberapa fakta yang mengejutkan, soal penolakan dan proses yang sebenarnya berjalan. Menteri LHK, Siri Nurbaya, sebelumnya menyebutkan, bahwa pihaknya menggandeng Walhi untuk melakukan kajian dan studi lingkungan di kawasan Kalimantan Timur yang kemudian dibantah oleh Walhi melalui pernyataan tertulis, bahwa belum pernah ada pembicaraan apapun dengan Walhi terkait kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). (Baca disini) 

Kenyataan mengejutkan juga didapatkan ketika 94,7% pegawas negeri sipil (PNS) dari total 1.225 ribu responden penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Development Monitoring (IDM), menolak untuk pindah ke Kalimantan Timur.

Alasannya beragam, mulai dari mutu kesehatan dan pendidikan, biaya hidup, serta adaptasi yang tidak akan mudah sama sekali. Mereka sudah menyatu di Jakarta, terpautkan hati di sana, dan tak semudah itu main pindah saja. (Baca disini) 

Polemik yang muncul kemudian adalah pembiayaan untuk menyulap menjadi ibu kota itu tidaklah murah. Diperlukan dana sebesar 466 triliun; sebuah jumlah yang fantastis dalam pandangan masyarakat Indonesia dan mungkin "biasa" berdasarkan asumsi pemerintah yang kemudian memberikan klarifikasi, bahwa hanya 19% dana itu berasal dari APBN dan selebihnya bisa didapatkan melalui KPBU dan investasi swasta. (Baca disini).

Selain soal biaya yang tidak murah, masyarakat juga mengkhawatirkan soal adanya kemungkinan permainan para spekulan tanah.

Hal ini juga dijawab dengan tegas, bahwa 90% lahan yang akan digunakan adalah milik pemerintah. Masalahnya, yang ada di sekitar lahan calon ibu kota itu akan juga mendapatkan tetesan "berkah".

Tetesan itu yang kemudian akan dimanfaatkan oleh para spekulan sebab sepenuhnya mereka sadar, bahwa di tahun-tahun selanjutnya, kota yang sudah jadi itu pasti akan berkembang, melebar dan meluas sesuai "kehendak alam". Kita tentu akrab dengan istilah daerah "penyangga" ibu kota. (Baca disini)

Desain ibu kota pun dianggap tak terlalu cocok jika ditilik dari kacamata arsitek dan dari sisi pembangunan. Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat yang sekaligus dosen Ilmu Perkotaan dan seorang arsitek yang telah menghasilkan karya-karya menakjubkan, memberikan masukan bahwa desain ibu kota perlu dikaji ulang.

Menurutnya, desain ibu kota yang beredar menunjukkan pemborosan lahan, pemborosan infrastruktur karena terlalu luas dan pada akhirnya berorientasi pada mobil dan bangunan, sementara nilai humanistiknya tidak maksimal. Artinya, jangan sampai ibu kota baru nantinya jatuh pada lubang yang sama. (Baca disini)

Bagaimana Nasib Jakarta?
Jakarta akan tetap menjadi kota yang memiliki nilai sejarah panjang dan sumbangsih besar bagi bangsa ini. Baru kali ini, saat dimana Jakarta selalu dikritik dan dinyinyiri karena pembangunannya dianggap lambat, Jakarta seperti dibela habis-habisan.

Rupanya, banyak orang yang tidak benar-benar benci dengan Jakarta sebab banyak yang tak sudi untuk meninggalkannya. Bukan hanya soal kerja, hidup, dan gula perekonomian yang melimpah tapi Jakarta mempunyai narasi dan cerita. Paradoks memang.

Tentu akan ada yang berubah, setidaknya status "Daerah Khusus Ibukota" (DKI) tidak akan lagi disandang, dan akan berpengaruh terhadap posisi Jakarta. Mungkin saja Jakarta berpeluang untuk menjadi daerah dengan otonomi khusus, tapi yang jelas, sebagaimana pernyataan Presiden, Jakarta akan menjadi pusat perekonomian dan perdagangan.

Jakarta akan tetap menjadi prioritas pembangunan yang akan terus dikembangkan untuk menjadi kota bisnis, kota keuangan, pusat jasa berskala regional dan global. Bahkan anggaran sebesar Rp 571 triliun untuk Pemprov DKI Jakarta melakukan urban regeneration tetap terus berjalan. (Baca disini).

Apa yang disampaikan oleh Presiden terkait Jakarta ini pun harus diatur dan diantisipasi dengan baik sebab tidak menutup kemungkinan, bahwa perekonomian dan perdagangan juga akan "terangkut" ke daerah ibu kota yang baru. Apalagi tipikal masyarakat kita lebih suka mendekati wilayah (di sekitar) pusat pemerintahan.

Tentu saja Jakarta akan berubah, dan itu bukan salah Jakarta. Banyak kita tangkap suara-suara kekhawatiran warga Jakarta ketika ibu kota dipindah. Mulai dari nasib pekerjaannya, bisnisnya, komunitasnya, serta kehidupan sosialnya.

Lalu Apa Urgensinya dan Haruskah Secepat Ini?
Setidaknya, sedikit banyak kita sudah mengetahui pandangan mereka yang pro dan kontra terhadap kebijakan ini. Tapi apakah benar pemindahan ibu kota se-urgent itu? Segenting itu? Secepat itu? Kalau pun Jakarta sudah terlalu berat menanggung beban, tidak bisakah beban itu diselesaikan? Atau memang tidak untuk diselesaikan dan satu-satunya upaya mengurangi beban adalah dengan pindah ibu kota?

Jakarta memang kerap dicaci, tapi bagaimanapun Jakarta juga dicintai. Bagi yang sedang mencintai Jakarta dengan segala tetek-bengeknya tentu merupakan sebuah pukulan telak ketika dipaksa harus berpisah justru saat sedang cinta-cintanya. Apa yang dilakukan, bagi sebagian orang lebih cenderung pada "pemaksaan"; seperti ingin lepas tangan dari ruwetnya Jakarta yang dulu dijadikan gula pancingan untuk mendongkrak keterpilihan.

Maka, munculnya bermacam-macam asumsi, narasi, persepsi yang sifatnya "meragukan" dan "mencurigai" adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah harus menerima ini sebagai sebuah kewajaran.

Polarisasi pandangan yang terjadi di ILC tvOne, mungkin menjadi gambaran tepat bagaimana urusan pemindahan ibu kota ini bukanlah hal yang sederhana, sebab tidak hanya kota yang berpindah tapi juga manusianya. Tentu kita paham betul bagaimana rumitnya ketika berkaitan dengan pembangunan, sosial, dan kemanusiaan.

Banyak orang yang tidak setuju dengan pemindahan ibu kota, termasuk sebagian masyarakat di Kalimantan Timur, sebagaimana banyak orang yang juga mendukungnya karena dianggap sebagai akselerasi pembangunan, pemerataan, dan keberanian.

Tapi apapun, keputusan sudah dibacakan. Kita berharap, semoga kebijakan yang telah diputuskan mengandung sebenar-benarnya kebijakan dan kebijaksanaan, bukan karena akomodasi atas kepentingan-kepentingan yang disamarkan dalam narasi kebutuhan nasional dan demi kemajuan.

Salam,

Mustafa Afif
Kuli Besi Tua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun