Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pak Anies, Berhentilah!

1 Mei 2019   23:39 Diperbarui: 2 Mei 2019   08:27 21251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno diabadikan saat mendaftar di KPU DKI Jakarta, Jumat (23/9/2016). Anies dan Sandiaga resmi mendaftarkan diri sebagai pasangan bakal cagub dan cawagub Pilkada DKI Jakarta, setelah diusung oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera.(KOMPAs.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI)

"Jakarta Baru" yang dijanjikan Anies Baswedan tak juga kunjung tampak. Padahal sudah hampir 19 bulan Anies Baswedan menduduki kursi Gubernur Jakarta. Terhitung sejak 16 Oktober 2017, hari ketika dia dilantik dan menyerukan "Saatnya pribumi menjadi tuan di rumah sendiri!"

"Jakarta Baru" yang dijanjikan Anies adalah Jakarta yang "Maju Kotanya Bahagia Warganya". Implisit di situ logika "jika kota maju maka warganya bahagia". Artinya, "kemajuan kota" adalah syarat "kebahagian warga". Walau bukan satu-satunya syarat, tentu saja.

Intinya, indikator "Jakarta Baru" ala Anies itu adalah "kemajuan kota" dan "kebahagiaan warga". Atas dasar itu baiklah kita periksa sejauh mana capaian kemajuan kota dan kebahagiaan warga Jakarta selama hampir 19 bulan terakhir.

***
Pertama, indikator "kemajuan kota". Anies memilahnya menjadi dua: fisik dan non-fisik.

Agar obyektif, saya merujuk saja pada daftar 31 capaian Pemprov Jakarta setahun terakhir di bawah Anies yang diumumkan lewat akun Twitter Pemprov DKI Jakarta @DKIJakarta.

Pada daftar itu dicantumkan kemajuan fisik berikut: Taman Benyamin Sueb Kemayoran, Skybridge Tanahabang, Perluasan Trotoar; Pelican Cross Thamrin; dan Hunian Rusun DP Rp 0 Pondok Kelapa. Ada yang luput disebut yaitu Instalasi Bambu "Getah-Getih" Bundaran HI, Tanggul Baswedan Jatipadang, Tembok dan Pilar Jalan Layang Warna-Warni, dan "Instalasi" Waring Kali Item Kemayoran.


Manakah dari daftar kemajuan fisik itu yang mencerminkan "kebaruan"? Tidak ada, karena semua sudah ada dan telah dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya. Anies hanya melanjutkan saja, mungkin dengan tambahan "bumbu penyedap" semacam "DP Rp 0". Kecuali instalasi bambu "Getah-Getih" Bundaran HI dan Waring Kali Item.

Atau mungkin ada yang bilang Skybridge Tanahabang itu hal baru? Tidak juga karena sebelumnya di Mangga Dua, Glodog, dan Pondok Indah sudah ada skybridge.

Secara khusus tentang instalasi "Getah-Getih" itu, dengan segala maaf kepada seniman Joko Avianto yang menyematkan makna persatuan dan kekuatan padanya, saya justru melihatnya sebagai simbol keruwetan cara pikir dan tindakan Pemprov Jakarta di bawah Anies. Sedemikian ruwetnya sehingga untuk solusi bau dan jorok Kali Item saja hanya ada "inovasi" waringisasi.

Lalu pada daftar kemajuan non-fisik dicantumkan OK Otrip (Jak Lingko), KJP Plus, OK-OCE, SI DUKUN (Integrasi Layanan Dukcapil-Rumkit-BPJS), Aplikasi OYES (Pesan Barang On-Line untuk Pedagang PD Pasar Jaya), Kartu Lansia Jakarta, dan Jukir Online.

Kecuali OK-OCE dan OK-Otrip serta OYES sebagai kembangannya, maka capaian non-fisik lainnya bukan sesuatu yang baru. Hanya modifikasi , pengembangan, dan perluasan cakupan dari aplikasi atau sistem yang sudah ada sebelumnya.

Akan halnya OK-OCE dan OK-Trip serta OYES itu, belum ada hasil evaluasi independen, sehingga sulit mengatakan berhasil atau gagal. Hanya saja, dari obrolan di medsos, tertangkap kesan bahwa keberhasilannya baru sebatas di "bibir pejabat" saja.

Yang menarik sebenarnya dari daftar kemajuan itu tak ada satupun yang spesifik menyangkut solusi dua masalah utama Jakarta yaitu kemacetan dan banjir.

Solusi kemacetan baru sebatas perluasan dan perpanjangan keberlakuan Sistem Ganjil-Genap, peresmian fly-over dan under-pass rintisan pemerintah sebelumnya, dan peresmian MRT hasil kerja Pemerintah Pusat.

Sedangkan untuk solusi banjir, konsep-konsep "naturalisasi sungai", "menggeser hunian bantaran tanpa menggusur", dan "drainase vertikal" belum ada dilaporkan. Tindakan yang dilakukan hanyalah pengerukan sungau dan pengangkatan sampah dari vadan sungai. Itupun dengan intensitas yang lebih rendah dibanding sebelumnya.

Alhasil dalam beberapa hari terakhir sejumlah titik lokasi di Jakarta mengalami kebanjiran, sekalipun tidak ada hujan setempat.

Jadi bisa disimpulkan bahwa secara fisik dan non-fisik "Jakarta Baru" yang dijanjikan Anies masih jauh dari pandangan mata.

Malahan yang terdengar dan terlihat adalah kembalinya penyakit kekumuhan dan kesemrawutan Jakarta. Orang menunjuk pada kondisi Pasar Tanahabang dan RPTRA Kalijodo kini sebagai contoh nyata.

Ya, begitulah. Berdasar penilaian lembaga independen, Jakarta adalah kota termacet keempat di dunia dan terpolusi (udaranya) di Asia Tenggara tahun 2018. Itu bukti obyektif bahwa "Jakarta Baru" masih sebatas "untaian kata-kata indah" di bibir Anies.

***

Tidak fair jika hanya mengukur "Jakarta Baru" dari kemajuan fisik dan nin-fisik berupa perangkat halus seperti disampaikan di atas. Harus dilihat juga pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan warga.

Tingkat kemiskinan adalah ukuran paling sederhana untuk memperkirakan kesejahteraan warga. Untuk Jakarta, per September 2018, tingkat kemiskinan adalah 3.55 persen (September 2017: 3.77 persen). Itu angka terendah dalam 5 tahun terakhir.

Orang yang faham teori kemiskinan struktural akan tertawa jika mendengar klaim penurunan tingkat kemiskinan tahun 2018 di Jakarta sebagai hasil program OKE-OCE. Proses pengentasan golongan miskin adalah proses tahunan, tidak sesederhana itu. Prosesnya harus ditelusur sekurangnya 3 tahun ke belakang.

Angka tingkat kemiskinan di Jakarta itu lebih tepat dilihat sebagai fakta semu. Bukan karena pendapatan riil yang meningkat, melainkan daya beli lapisan miskin yang meningkat. Berkat pengendalian inflasi harga kebutuhan pokok melalui operasi pasar dan dukungan bantuan pemerintah lewat program-program KJP dan KJS-BPJS.

Jelas tidak cukup alasan menyimpulkan warga Jakarta tahun 2018 lebih bahagia dibanding tahun 2017. Hanya karena pendapatan semunya, diukur dari daya beli atau pengeluaran, lebih tinggi sedikit.

Sampai di sini, kiranya masuk akal menyimpulkan tingkat kebahagiaan warga Jakarta tak berubah dalam dua tahun terakhir. Bahkan bisa dikatakan cenderung menurun kebahagiaannya. Sebab warga harus menghadapi kemacetan di jalanan, kekumuhan di trotoar dan pasar, dan risiko banjir saat musim hujan tiba.

***

Jika janji "Jakarta Baru" itu ditagihkan kepada Anies hari ini, saya perkirakan dia akan jawab "Semuanya perlu proses. Tidak ada yang instan. Setiap program harus direncanakan berdasar hasil studi yang komprehensif."

Saya pikir Anies terlalu banyak mengumbar "kata-kata" dan terlalu sedikit melakukan "tindakan nyata" dalam proses pembangunan untuk mewujudkan "Jakarta Baru" itu.

Contoh paling gamblang adalah gagasan "naturalisasi sungai" sebagai pengganti program "normalisasi sungai" untuk penanggulangan banjir di Jakarta. Karena sudah menggagas "naturalisasi sungai", dan mengumbarnya ke khalayak, maka program "normalisasi sungai" tidak dijalankan secara intensif. Ketika banjir tiba-tiba datang, barulah ingat bahwa program "naturalusasi sungai" masih tersimpan dalam kepala.

Lalu mulailah dikeluarkan jurus "tata kata". Katanya: "Ini banjir kiriman dari Bogor. Sampah di kali bukan limbah warga Jakarta. Pemerintah Pusat belum selesai bangun waduk di Bogor. Banjir di daerah lain lebih parah. Segera kita bikin drainase vertikal."

Pak Anies, saya harus katakan, mulai hari ini berhentilah menata kata. Mulailah bekerja menata kota Jakarta, selayaknya seorang gubernur bekerja nyata memajukan daerahnya.

Pak Anies tentu sadar, Anda bukan seorang penyair yang kerjanya menata kata. Anda adalah seorang birokrat cum teknokrat yang tugas utamanya kerja, kerja, dan kerja membangun Jakarta.

Saya sungguh berharap, dalam sisa 3 tahun 5 bulan ke depan, Anda berhenti berbicara tinggi dan abstrak Pak Anies. Jakarta kini memerlukan seorang gubernur pekerja tangguh, bukan seorang ahli retorika. Kata-kata, seindah dan sehebat apapun itu, tak akan bisa memajukan kota Jakarta.

Demikian catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, lebih suka pada gubernur yang miskin kata tapi kaya aksi nyata.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun