Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Etika Pengemis dan Dramatisasi Kemiskinan

2 Agustus 2018   18:41 Diperbarui: 2 Agustus 2018   21:27 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber nafkah pengemis adalah eksploitasi atas sifat filantropis   manusia. Dalilnya, semakin parah tampakan kemiskinan  maka semakin besar peluang mendapatkan rejeki sedekah.

Maka bagi pengemis, kegiatan mengemis adalah dramatisasi kemiskinan demi  nafkah sedekah. Etikanya, dramatisasi kemiskinan adalah manifestasi kerja keras.  

Rasionalisasinya, semakin dramatis kemiskinan dipanggungkan di wilatah publik, maka semakin besar nafkah sedekah yang mungkin didapatkan.

Itu teorinya. Sekarang kita simak tiga kasus pada aras berbeda untuk membuktikan kebenarannya.

Kasus 1: Aras Individu

Masih ingat kasus kakek "Winnie the Pooh" Suaedi di Sidoarjo, Jawa Timur tahun 2015?  

Pada awalnya adalah reportase radio Suara Surabaya yang mengisahkan nasib "malang" Suaedi lewat fans page FB. Dikisahkan, berdasar pengakuannya, Suaedi (70) berasal dari Driyorejo-Gresik, miskin, stroke, dan sebatang kara. Sehari-hari dia mencari nafkah di jalanan Sidoarjo, sebagai badut dalam kostum beruang Winnie the Pooh.

Kisah ini mengundang simpati/empati dari ratusan ribu netizen, dan bersamaan dengan itu arus "sedekah" menderas kepada Suaedi. Tapi kisah itu menjadi antiklimaks ketika Dinsosnakertrans Sidoarjo, yang bermaksud membantu, mengungkap jati diri Suaedi. Ternyata dia berasal dari Mojokerto, punya 7 orang isteri dan 5 orang anak, tidak stroke, membadut dikawal isteri, penghasilan Rp 500,000/hari (Rp 15 juta/bulan), dan punya rumah bagus serta 2 unit sepeda motor.

Bandingkan "penghasilan" Suaedi dengan buruh industri yang bekerja keras secara fair minimal 8 jam/hari. Penerimaan Rp 15 juta/bulan, hasil dramatisasi kemiskinan oleh Suaedi, sangat jauh di atas UMR Surabaya (Rp 2,588,000/bln) atau bahkan Jakarta (Rp 2,700,000/bln) tahun 2015.

Kasus 2: Aras Institusi Regional

Ada yang ingat program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dijalankan Pemwrintahan Soeharto tahun 1990-an?  Itu adalah program bantuan dana modal usaha bergulir dan pembangunan fisik untuk desa-desa tertinggal atau miskin yang digagas Prof. Mubyarto (alm.), dalam kapasitasnya selaku Asisten Menteri/Kepala Bappenas waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun