Mohon tunggu...
M Zein Rahmatullah
M Zein Rahmatullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di Kompas Group

Kadang menulis, kadang jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Biaya Kuliah dan Polemik Upah: Mengikis Akses Pendidikan atau Memperkaya Kampus?

2 Mei 2024   19:55 Diperbarui: 3 Mei 2024   12:55 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selebaran berisi keluhan tingginya biaya kuliah. (Sumber: Instagram @uny.ruwet) 

Menurut laporan statistik Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa pada tahun 2020, sebanyak 601.333 mahasiswa di Indonesia mengalami putus kuliah.Sebanyak 23,5 persen diantaranya tercatat drop out. (Databoks, 4 November 2021).

Meski tingkat putus kuliah di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2022, yakni menjadi 4,02 persen, faktor utama putus kuliah tetap saja berkutat pada kendala finansial. 

Biaya kuliah sering menjadi faktor utama yang mempengaruhi keputusan mahasiswa untuk putus kuliah. Mahasiswa yang menghadapi kesulitan finansial mungkin tidak dapat melanjutkan studi karena tidak mampu membayar biaya kuliah, buku, dan kebutuhan sehari-hari.

Kita ambil sampel salah satu kampus. Berdasarkan hasil survei dari media Lini Kampus Universitas Negeri Semarang pada tahun 2021, tidak sedikit mahasiswa yang mengajukan keringanan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Alasan utama permintaan keringanan pembayaran UKT adalah karena kesulitan ekonomi dengan persentase 59,1 persen. 

Masih dari laporan Lini Kampus (2021), kendala pembayaran karena kesulitan ekonomi, dan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi oleh keluarga dan tidak sedikit mahasiswa yang membayar UKT sendiri tanpa bantuan orang tua. Keluhan semacam ini ibarat banjir bandang yang merata. Keluhan kuliah mahal yang dialami sebagian besar mahasiswa, tak peduli kampus negeri atau swasta. 

Jika kembali menilik kendala biaya, muaranya tentu saja balik lagi masalah upah. Ongkos pendidikan yang terus melangit, berbanding jauh dengan upah yang diterima. 


Lho, tapi kan tidak semua orangtua itu pekerja yang mendapat upah?

 Iya, betul. Tapi katakanlah orangtua yang menghidupi keluarga dengan menjadi pengusaha. Pendapatannya tentu lebih abstrak ketimbang pekerja. Kadang tinggi sekali, kadang minus sekali. 

Sementara pekerja yang jelas penghasilannya--setidaknya secara periodik--saja terkadang engap jika membiayai pendidikan. Sebut saja serabutan. Biarpun belum tentu sebulan sekali, tapi dia sudah seharusnya mendapat upah atas setiap jasanya. 

Semasa kuliah, saya pernah mendengar sepatah kalimat. Kurang lebih begini bunyinya: 

Dulu buruh hanya dibayar pakai makan, sekarang buruh dibayar cuma cukup untuk makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun