Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Masa-masa yang Bergumam di Antara Riuh Hujan

17 Januari 2020   20:58 Diperbarui: 18 Januari 2020   20:17 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://images.pexels.com

Dalam kedinginan yang meruntuhkan segala jenis kehangatan, musim terus bergerak mencari jarak paling tepat dengan matahari. Mencari-cari cuplikan kisah menyentuh hati. 

Bagaimana seseorang berhadapan dengan masa silam yang berbahaya, masa kini yang berlumuran bisa, dan masa depan yang hanya sanggup bersandar pada akhir takdirnya.

1) Masa silam menempati ruang paling dalam dari sinapsis otak yang sebagian besarnya telah kehilangan jejak. Namun ditemukan salah satu ruang tempat berkumpulnya memori yang membentuk tubuh belati. Siap sedia menikam. Di saat paling jahanam. Ketika badan terperangkap derasnya hujan. Atau pikiran melayang di antara langit kekosongan.

2) Masa kini mengikuti perjalanan matahari. Mencari-cari setiap hari. Di mana letak bisa paling tidak mematikan, sukarela menelan, lantas kemudian memuntahkannya saat senja dan malam saling bertabrakan. Sambil merutuk dunia tidak baik-baik saja. Lalu tidur berbantal mimpi yang selalu saja tertunda.

3) Masa depan adalah rahasia paling kepundan di antara gunung-gunung tinggi yang sanggup menjangkau awan. Seperti sebuah perjumpaan yang diharapkan saat perpisahan telah lama direncanakan. Tak ada yang bisa merekam dengan cara melompati waktu. Kecuali bila bersedia menjadi kupu-kupu.

Dalam kehangatan yang menyingkirkan kedinginan, musim berhenti di satu titik persinggahan. Ketika hujan bersenda gurau dengan kemarau, dan bola-bola salju bergulir menyusuri waktu. Yaitu, saat masa silam menyelesaikan semua pertanyaan, masa kini berlari di tengah hujan yang menari-nari, dan masa depan yang dibiarkan menyala di layar televisi yang mati.

Bogor, 17 Januari 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun