Melipat dinihari. Dengan hati-hati. Seperti melipat surat untuk sang kekasih. Yang hendak dititipkan pada merpati esok hari. Supaya sampai pada waktunya. Dia berada jauh di atas sana. Meski seringkali juga tepat di batas telinga.
Dia melihatmu sedang menata serakan hati. Setelah beberapa lama bersengketa dengan sunyi. Memusuhinya hingga tulang sungsum. Dimusuhi sampai tak ada kata maklum.
Pada dinihari yang ini, kau merasakan perbedaan. Tahu persis apa yang kau inginkan. Hendak kembali merasakan kelezatan di ujung lidah. Ketika menyebut satu persatu Dia yang punya banyak nama indah.
Lipatan kecil pada dinihari yang besar. Menggiring jantungmu diliputi debar. Mata nanar. Siap menjatuhkan sebagian airmata yang masih ada. Mendanau di ujung mata. Sisanya untuk kelak. Jika jiwamu kembali retak. Bila banyak perkara menghalangi kehendak. Dan kau berpikir duniamu luluh-lantak.
Setelah melipat dinihari. Kau bersegera menyeka dahi. Beberapa bulir keringat tertinggal di sini. Pada setiap bulir menyimpan kisahnya sendiri. Ada yang beku, jadi abu dan juga berapi.
Kau tinggal memilah, mengayak, dan memunguti serpihannya. Lalu melipat rapi semua pada dinihari berikutnya. Untuk kau kirim sebagai surat pengaduan kepada Dia.
OKI, 12 Oktober 2018