Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Depresi Jadi Aliansi: Sisi Lain Alfred Nobel

22 Oktober 2019   10:09 Diperbarui: 22 Oktober 2019   10:34 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alfred Nobel ketika muda (sumber: nobelprize.org)

Akan tetapi, depresi Alfred tidak melulu bernuansa suram. Jangan-jangan, justru itulah sumber keberhasilan Alfred dan namanya yang lestari dalam Hadiah Nobel. Mengapa?

Dalam hidup yang tiada maknanya, Alfred menemukan suatu pelarian yang membuat kesuraman hatinya dapat lenyap untuk sementara waktu: Kerja keras. Alfred mampu bekerja hingga 15 jam per hari, entah di meja kerja, pabrik, atau untuk menghadiri pertemuan/rapat.

Lewat kerja keras dan ketekunan, himpitan depresi menjadi tempat bagi kreativitas, inspirasi, dan riset disalurkan dan dikembangkan. Semakin dalam Alfred merasakan kekosongan makna, semakin tekun dia bekerja sehingga dia menemukan kegembiraan. 

Bila dia menemukan cacat dalam kerjanya, dia akan makin bersungguh-sungguh mencari solusinya.

Dinamit sendiri adalah penemuan buah ketekunan Alfred yang amat terpuruk setelah  nitrogliserin (senyawa bahan peledak yang amat eksplosif) meledak hingga pabrik Alfred hancur dan adiknya, Emil Oskar Nobel, tewas.

Apa yang bisa kita pelajari dari sepenggal kisah di atas dalam kaitannya dengan kesehatan mental?

Kita harus menyadari bahwa gejala depresi datang dengan bentuk yang amat terselubung dan Alfred sedikit-banyak menyadari bahwa dia merasakan depresi di jiwanya. Ketika seseorang jatuh di dalam pusaran depresi, dia tidak lagi merasakan arti penting apapun di dalam hidupnya. 

Apapun yang dia perbuat tidak lagi bermakna apapun dan dia tidak pantas menerima perhatian apapun. Itulah mengapa amat sulit bagi penderita depresi untuk bercerita kepada orang lain apa yang dirasakannya.

Apalagi di Indonesia, kesadaran akan gangguan mental seperti depresi hanya dianggap angin lalu. Cukup "diobati" dengan banyak beribadah, banyak berdoa dan beramal, dan meningkatkan frekuensi ritus keagamaan.

Saya malah mengenal orang yang secara jujur mengaku dia mengidap depresi dan faktor doktrin agama-lah yang menimbulkannya. Sengaja, tulisan ini tidak menampilkan pandangan keagamaan Alfred agar stigma buruk terhadap depresi di Indonesia tidak memburuk.

Padahal, penyebab depresi sendiri kompleks, bisa karena faktor genetik, lingkungan, atau kejadian traumatis. Akan tetapi, seperti Alfred Nobel, efek dari sekian faktor yang berkelindan tadi sulit diamati dan penderitanya bisa beraktivitas biasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun