Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Canang Sari

13 Desember 2019   20:39 Diperbarui: 13 Desember 2019   20:36 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita akan bertemu saat matahari terbenam dan bulan terbit muncul bersama di langit, pada hari itu kita akan menjadi satu untuk keabadian. Setelah seratus tahun kematianku.

***

Mojokerto tahun 2019...

Senja belumlah tiba, matahari masih terang bersinar diatas langit. Petirtaan Jolotundo mulai dipadati oleh umat Hindu. Diiringi oleh suara lonceng yang dibunyikan oleh pedanda dan berbagai macam sesajen yang dipikul oleh beberapa wanita, mereka perlahan memadati areal sumber mata air itu.

Dipimpin oleh seorang pedanda bernama I Ketut Suardana, puluhan umat Hindu mulai khusyuk berdo'a menghadap petirtaan yang telah dipenuhi oleh aneka rupa canang sari di tepian kolam. Matahari perlahan-lahan mulai tergelincir. Sambil berjalan mengelilingi barisan orang-orang, I Ketut Suardana mulai memercikkan air suci petirtaan Jolotundo yang telah ia beri do'a.

Tiba-tiba seorang pemundut mulai kerauhan. Sambil mengayun-ayunkan sebuah keris ke udara, ia berteriak-teriak tak karuan. Bersamaan dengan peristiwa kerauhan itu, seorang wanita yang tengah berdiri untuk mendapatkan siraman air suci tiba-tiba pingsan.

***

Trunyan tahun 1919...

Ida Ayu Oka sangat bahagia. Kekasihnya Anak Agung Putu Wartayasa akan menikahinya. Setelah hubungan mereka yang berjalan hampir setahun lamanya, akhirnya mereka mendapat restu dari kedua orang tua mereka.

"Hari ini aku sangat bahagia Bli, akhirnya Aji setuju dan menerima lamaranmu." ucap Dayu Oka.

"Iya, akhirnya kita bisa bersatu. Sang Hyang Widhi telah mengabulkan permohonanku." balas Anak Agung Putu Wartayasa.

Kebahagiaan itu akhirnya tiba. Persiapan pernikahan mereka berdua telah matang. Puri Dalem Solo terlihat sangat indah. Aneka rupa hiasan janur kuning melambai-lambai di halaman. Beberapa abdi dalem sibuk membersihkan halaman Puri Dalem dan pelinggih. Orang luar Puri Dalem juga terlibat dalam persiapan pernikahan itu. Mereka terlihat memasang kain Poleng di seluruh tiang-tiang penyangga Puri Dalem. Dengan motif kotak-kotak hitam putih, kain Poleng itu meramaikan suasana didalam Puri Dalem. Sebagai anak dari seorang bangsawan di Trunyan, Anak Agung Putu Wartayasa ingin melangsungkan pernikahan mereka sesuai adat leluhurnya.

Nampak abdi dalem wanita dalam balutan kebaya putih dengan selendang kuning melilit pinggang sedang meletakkan aneka rupa canang sari di pelinggih yang terdapat di pojok halaman Puri Dalem. Asap wangi dupa mengepul ke udara diiringi aromanya yang sangat harum.

"Bagaimana persiapan untuk besok?" tanya Anak Agung kepada salah satu abdi dalem.

"Semuanya telah siap Tuan. Puri Dalem Solo telah kami sucikan. Pelinggih juga telah kami bersihkan dengan air suci. Tuan bisa menggunakannya untuk sembahyang kepada Sang Hyang Widhi. Semoga acara pernikahan Tuan lancar." ucap abdi dalem.

"Terimakasih atas semuanya." balas Anak Agung. Senyum bahagia terukir di wajahnya.

Setelah mengambil dupa, Anak Agung berjalan menuju pelinggih. Dengan senyum di wajahnya, ia menyalakan lima batang dupa di tangannya.

Oh Sang Hyang Widhi, berikanlah kemudahan dalam urusan ini.

Berkatilah pernikahan kami. Berikanlah kebahagiaan dalam hidup kami berdua.

Hidupku dan hidup Dayu Oka.

Berikanlah kami keturunan yang kelak akan mewarisi garis hidup keluarga kami.

Satukanlah kami da...

Lantunan do'a itu terhenti. Mulut Anak Agung terkatup menahan perih. Darah segar mengalir pelan dari lehernya. Darah terciprat membasahi canang sari di pelinggih. Bunga kamboja kuning itu kini berganti warna semerah darah.

Anak Agung Putu Wartayasa ambruk dengan leher tersayat cukup dalam. Seorang laki-laki telah berdiri disamping jasadnya. Mengambil bunga kamboja kuning berlumur darah dari canang sari. Lalu menyelipkannya di telinga kanan Anak Agung Putu Wartayasa yang tersengal-sengal.

"Maafkan aku, Nak..." bisik lelaki itu pelan. Ia lenyap dibalik tembok Puri Dalem Solo.

Seisi Puri Dalem Solo gempar. Putra semata wayang Cok Sindhu telah meninggal. Langit merubah warnanya dari biru menjadi kelabu. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi Puri Dalem Solo.

Sehari setelah kepergian Anak Agung Putu Wartayasa, keluarga Kasta Ksatria itu menggelar upacara Mepasah untuknya. Dengan berpakaian serba putih, jasad Anak Agung Putu Wartayasa disandarkan dibawah pohon Taru Menyan yang tumbuh disamping gapura utama puri.

Pohon itulah yang menjadi saksi bisu kehidupan penerus Puri Dalem Solo dari kecil hingga dewasa. Pohon itulah yang memberi nafas kehidupan para penghuni puri lewat daun-daunnya yang rindang. Kini pohon itu tidak sendiri. Ia ditemani oleh putra semata wayang penerus Puri Dalem Solo.  Pohon itu seakan tidak merelakan jasad Anak Agung Putu Wartayasa tersengat panas matahari. Ia menaunginya dengan daunnya yang rimbun. Lewat hembusan angin dan daunnya yang bergetar, ia seakan berbisik "Istirahatlah dengan tenang anakku. Aku akan menjagamu disini.".

Seiring dengan hembusan angin menerpa daun pohon Taru Menyan, aroma harum tersibak. Menghalau bau busuk jasad Anak Agung Putu Wartayasa.

"Bli... Mengapa kau pergi secepat ini? Jangan pergi Bli, jangan tinggalkan aku..." teriak Dayu Oka histeris. Lalu ia pingsan memeluk jasad kekasihnya itu.

"Maafkan aku Dayu, aku tidak bisa membahagiakannmu." sebuah suara dari balik pohon Taru Menyan terdengar syahdu. Suara yang hanya bisa didengar oleh pohon itu dan penghuni langit. Suara Anak Agung Putu Wartayasa yang telah menjadi arwah.

"Kita akan bertemu saat matahari terbenam dan bulan terbit muncul bersama di langit, pada hari itu kita akan menjadi satu untuk keabadian. Itu yang Dewa janjikan kepadaku. Bersabarlah hingga hari itu tiba." bisik Anak Agung pelan dengan airmata berderai.

***

Sementara itu, pedanda yang memimpin ritual Melasti di Petirtaan Jolotundo membawa tubuh Saraswati ke balai-balai yang berada tidak jauh dari kolam petirtaan. Mereka berusaha menyadarkan wanita itu dengan memijat kepala serta nadi di tangannya. Namun ia tak kunjung bangun. Akhirnya sang pedanda meminta bantuan seorang lelaki untuk memijat nadi tangan Saraswati. Lelaki itu memijat pelan wanita yang telah menjadi istrinya selama hampir dua tahun.

Kemudian sang pedanda pergi meninggalkan mereka dan menuju ke petirtaan untuk melanjutkan ritual Melasti yang hampir selesai.

***

Waktu berlalu secepat hembusan angin musim panas yang melanda Desa Trunyan, Dayu Oka menahan kesedihan seorang diri. Semangat hidupnya telah hilang. Tidak ada pancaran kehidupan dari tubuh gadis cantik berambut panjang itu. Pikirannya melambung jauh mengenang masa-masa indahnya bersama Anak Agung Putu Wartayasa. Kekasih yang telah membakar rindu di hatinya. Menghempaskan cintanya yang kini menjadi abu. Terbang lenyap tak berbekas. Hatinya sepi.

"Dayu, sebaiknya kau makan dulu. Sudah seharian ini kau belum makan. Kasihan Biyangmu, ia sedih memikirkan keadaanmu yang makin kurus."

"Maafkan tiang aji, tiang sudah tidak memiliki semangat hidup. Tiang ingin bertemu dengan Bli Putu Wartayasa. Tiang kangen." isak Dayu Oka. Tak terasa airmatanya meleleh di kedua sudut matanya yang indah.

Tepat di hari keseratus setelah kematian kekasihnya, Dayu Oka meninggal dunia. Ia menyusul kekasihnya itu ke alam nirwana. Untuk melepaskan rasa rindunya kepada Anak Agung Putu Wartayasa.

Tapi... Benarkah demikian? Ternyata tidak, Sang Hyang Widhi belum mempersatukan sepasang kekasih itu. Mereka belum ditakdirkan untuk bersatu. Sebab jiwa Anak Agung Putu Wartayasa masih menggantung diantara alam manusia dan alam nirwana. 

Kekasih Dayu Oka itu masih belum rela meninggalkan jasadnya. Arwahnya belum tenang karena hingga kini penyebab kematiannya belum terungkap. Bahkan hingga kepemilikan Puri Dalem Solo berganti generasi yang kelima, lelaki pembunuh Anak Agung Putu Wartayasa belum tertangkap.

Pohon Taru Menyan itu masih berdiri kokoh dengan daunnya yang rimbun. Sedangkan tulang belulang Anak Agung Putu Wartayasa telah menyatu dalam tanah. Jasadnya kini dirangkul oleh akar pohon itu dan beristirahat dengan tenang disana. Pohon itu ibarat seorang ibu yang memeluk anaknya di pangkuannya.

***

Petirtaan Jolotundo kian mencekam. Pemundut yang kerauhan makin menjadi. Sang pedanda tidak sanggup menetralisir energi yang bersemayam didalam tubuh pemundut itu. Sehingga ia meminta bantuan beberapa orang lelaki untuk menahan tubuh pemundut itu agar tidak merusak kekhusyukan upacara Melasti.

Setelah sang pedanda mengambil sekendi air dari sumber air yang keluar tepat dibawah patung Dewa Wisnu naik burung Garuda, ia segera merapalkan do'a dan memercikkan air itu di wajah pemundut yang kerauhan. 

Tak butuh waktu lama, tubuh pemundut itu mendadak lemas dan ambruk. Ia lalu dibawa ke balai-balai tempat Saraswati merebahkan diri. Dari kejauhan nampak Saraswati mulai sadar. Ia terlihat memeluk suaminya.

***

Trunyan tahun 1980...

Di masa tuanya, penghuni terakhir Puri Dalem Solo memutuskan untuk menyerahkan kepemilikan puri itu kepada anak dan menantunya. Sepasang suami istri yang mulai lanjut usia itu kembali ke tanah kelahiran mereka di Jawa.

"Bawalah pelinggih ini bersamamu Biyang, aku ingin Biyang terus ingat dengan Puri Dalem Solo. Meskipun kita berpisah jauh, jangan lupakan kami anakmu."

"Terimakasih anakku, akan aku rawat pelinggih ini baik-baik."

***

Mojokerto tahun 1980...

Arwah Anak Agung Putu Wartayasa telah berada di Jawa. Ia bersemayam didalam pelinggih keluarganya. Mengikuti kemanapun pelinggih itu pergi. Seolah ada ikatan yang kuat antara dirinya dengan pelinggih itu. Pelinggih saksi kematiannya yang tragis.

Sesuai petunjuk Sang Hyang Widhi, ia harus mencari sumber mata air Dewa Wisnu. Sumber mata air itulah yang akan menyucikan jiwanya dari amarah dan balas dendam didalam hatinya.

Hampir puluhan tahun ia tinggal di Jawa. Ratusan purnama telah ia lewati bersama pelinggih itu. Kepemilikan pelinggih itupun sudah beganti tangan beberapa kali. Namun sayang, Anak Agung Putu Wartayasa belum juga menemukan sumber mata air Dewa Wisnu yang akan menyucikan jiwanya.

Hingga suatu hari, pelinggih itu dibawa menuju sebuah sumber mata air untuk disucikan. Pemilik terakhir pelinggih itu adalah sepasang suami istri pengusaha Galeri Seni di Mojokerto.

Pelinggih setinggi badan orang dewasa itu diangkut menggunakan sebuah mobil box. Lengkap dengan Canang sari dan perlengkapan upacara lainnya.

"Sepertinya keputusan kita sudah tepat, Bu."

"Betul Pak... Dengan membersihkan pelinggih yang terlihat mulai menghitam ini, semoga hati dan jiwa kita ikut bersih dan kehidupan kita akan diberkati oleh Sang Hyang Widhi." ucap wanita itu kepada suaminya. Mobil box putih itu melaju cepat menuju Petirtaan Jolotundo.

Setiba di lereng Gunung Penanggungan, mereka membawa  pelinggih itu berdua. Ukurannya yang tidak terlalu besar, membuat pelinggih itu sedikit ringan saat dibawa. Di halaman yang cukup luas tak jauh dari Petirtaan Jolotundo, suami istri itu meletakkan  pelinggih. Lalu mereka berjalan menuju kolam untuk mengambil air yang keluar dibawah patung Dewa Wisnu naik burung Garuda.  Patung itu berdiri gagah di tengah-tengah kolam. Memancarkan airnya yang jernih dibawah telapak kaki burung Garuda. Bunyi gemericik air terasa menenangkan telinga.

Anak Agung Putu Wartayasa merasakan sebuah kekuatan besar di sekelilingnya. Kekuatan itu memancar secara niskala. Ia merasakan kekuatan itu makin mendekat. Ia mengamati keadaan di sekelilingnya. Ternyata kekuatan itu berasal dari patung yang berdiri ditengah-tengah kolam Petirtaan Jolotundo. Ia segera bersujud menyembah patung itu. Sebuah suara menggema didalam telinganya.

"Bertapalah disitu, sucikanlah jiwamu dengan air kolam itu. Jadikanlah ini sebuah ujian kesabaranmu. Jika kau berhasil, kelak jiwamu akan suci kembali. Dan kau akan bertemu dengan kekasihmu. Ida Ayu Oka."

Anak Agung Putu Wartayasa tersenyum bahagia. Ia menjalankan petunjuk yang dibisikkan kepadanya. Ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat pertemuannya dengan kekasihnya Ida Ayu Oka di Nirwana. Pertemuan yang akan menyatukan mereka dalam keabadian setelah Anak Agung Putu Wartayasa suci kembali.

"Tunggu aku Dayu...." ucap Anak Agung Putu Wartayasa. Sebuah cahaya terlihat melesat

kedalam patung Dewa Wisnu.

***

Saraswati dibantu suaminya berjalan menuju Petirtaan Jolotundo. Mereka hendak mengikuti upacara Melasti yang hampir selesai. Sang Pedanda terdengar melantunkan do'a dengan khusyuk. Saraswati bersimpuh didepan kolam Petirtaan jolotundo. Ia mengambil tempat tepat didepan patung Dewa Wisnu. Puluhan Canang sari berjejer rapi di tepian kolam. Lalu  Saraswati mengambil sebuah Canang sari yang ada didepannya. Canang sari miliknya terlihat berbeda dengan Canang sari lainnya. Hanya Canang sari miliknyalah yang memiliki satu bunga Kamboja berwarna kuning.

Wangi kamboja kuning menyeruak ke udara, membangunkan pertapaan Anak Agung Putu Wartayasa. Lantunan do'a yang ia ucapkan seketika berhenti. Ia mengamati semua orang yang sedang khusyuk sembahyang. Tiba-tiba pandangan matanya tertuju kepada Saraswati.

"Dayu Oka..." gumamnya lirih.

Anak Agung Putu Wartayasa sangat bahagia. Ia telah menemukan kekasihnya kembali. Ia percaya bahwa wanita yang sedang memegang Canang sari dengan bunga Kamboja kuning itu adalah reinkarnasi Dayu Oka kekasihnya. Lalu ia memohon petunjuk kepada Sang Hyang Widhi. Ia berdo'a agar bisa dipersatukan kembali bersama Dayu Oka.

"Bersabarlah, tunggulah sang Pedanda menyelesaikan upacara Melasti ini. Dayu Oka akan datang menemuimu." sebuah suara menggema didalam telinga Anak Agung Putu Wartayasa.

Lantunan do'a masih terdengar mengalun. Matahari mulai tergelincir pelan-pelan. Cahaya di langit mulai meredup berganti senja.

Saraswati dan suaminya masih khusyuk berdo'a kepada Sang Hyang Widhi. Dalam hatinya, Saraswati memohon agar ia dan suaminya diberi seorang keturunan yang sudah lama ia nantikan. Ketika ia mengangkat dupa dan hendak membakarnya, seorang wanita disampingnya tiba-tiba berdiri dan menyenggol tangannya hingga membuat dupa milik Saraswati terjatuh.

"Maaf... Saya tidak sengaja." ucap wanita itu setelah ia memungut dupa dan menyerahkannya kembali kepada Saraswati.

"Tidak apa-apa.." balas Saraswati ramah.

Sang pedanda mulai berhenti berdo'a. Satu persatu orang mulai berdiri dan bersiap-siap meninggalkan Petirtaan Jolotundo karena hari mulai terlihat gelap.

Tepat saat matahari mulai terbenam, muncullah bulan purnama yang cukup terang. Hari itu adalah tahun keseratus kematian Anak Agung Putu Wartayasa. Hari itu juga adalah hari kelahirannya ke dunia.

Dari balik patung Dewa Wisnu, arwah Anak Agung Putu Wartayasa menyaksikan sebuah cahaya yang sangat terang turun dari atas langit. Sebuah cahaya yang hanya dapat ia saksikan sendiri.

"Temuilah kekasihmu, jemput ia. Bersatulah kalian dalam keabadian. Bersatulah kalian di reinkarnasi kehidupan kalian mendatang." sebuah suara menggema di telinga Anak Agung Putu Wartayasa.

"Terimakasih Dewa, kau telah mengabulkan permohonanku."

Cahaya itu berhenti tepat didepan arwah Anak Agung Putu Wartayasa. Dalam siraman sinar bulan yang mulai purnama dan terpaan sinar matahari yang mulai meredup diatas langit serta lantunan do'a-do'a sang pedanda, cahaya itu berubah wujud menjadi sosok Dayu Oka.

"Bli Agung...."

"Dayu Oka..."

Dua kekasih itu akhirnya dipertemukan kembali. Mereka akhirnya bersatu dalam keabadian. Tiba-tiba, dua buah kilat cahaya melesat ke udara. Sebuah cahaya reinkarnasi Dayu Oka merasuk kedalam tubuh Saraswati. Sedangkan cahaya reinkarnasi Anak Agung Putu Wartayasa merasuk kedalam tubuh wanita disamping Saraswati.

***

"Jadi, kau dan suamimu adalah warga asli Mojokerto sini ya?"

"Iya, kami asli penduduk sini. Dan kamu sendiri darimana?"

"Aku tinggal di Surabaya. Kebetulan tahun ini upacara Melasti diadakan di Petirtaan Jolotundo, jadi aku dan suamiku jauh-jauh datang kemari untuk menghadiri upacara suci ini. Sekalian memohon kepada Sang Hyang Widhi agar kami mendapat keturunan secepatnya. Nama kamu siapa?"

"Aku Saraswati, kamu?"

"Aku Niken. Maaf ya kejadian tadi, aku benar-benar tidak sengaja."

"Tidak apa-apa, lagipula dupa tadi belum aku nyalakan. Jadi tidak sampai membakar kulitku."

"Terimakasih atas pengertianmu."

"Oh ya, berapa nomor ponselmu kalau boleh tahu? Kalau aku mampir ke Mojokerto lagi, aku bisa mengubungimu." tanya Niken sambil tersenyum ramah kepada Saraswati.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun