Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

KPK, Jokowi, dan Masyarakat Sipil, Perjuangan yang Belum Berakhir

15 September 2019   13:41 Diperbarui: 16 September 2019   08:53 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menabur bunga di sekitar keranda hitam dan bendera kuning, di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Aksi tersebut sebagai wujud rasa berduka terhadap pihak-pihak yang diduga telah melemahkan KPK dengan terpilihnya pimpinan KPK yang baru serta revisi UU KPK. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Politik Makro yang Mendukung Sukses KPK, Politik Makro yang Hendak Mengebiri KPK 
Kali ini saya membaca tulisan Emil P. Bolongaita, "An exception to the rule? Why Indonesia's Anti-Corruption Commission succeeds where others don't -- a comparison with the Philippines' Ombudsman" membuat kita bangga. Ini ditulis di tahun 2010. 

Emil mengungkapkan rasa iri melihat betapa KPK yang saat itu baru berusia 5 tahun begitu berhasil mengangkat kasus korupsi yang besar, dibandingkan dengan Komisi Ombudsmen Filipina yang telah lebih dari 20 tahun bekerja untuk mandat yang serupa.

Keberhasilan KPK dinilai sangat baik, di mana setiap kasus melewati pengujian dan diproses di Pengadilan Tipikor yang efisien.

Sejarah kelahiran KPK telah direncanakan selama beberapa tahun, berdasar studi yang mumpuni, dan dimotori oleh masyarakat sipil, pemerintah, lembaga donor, dan penasehat ahli.

KPK mengikuti model the Hong Kong Independent Commission against Corruption (ICAC) adalah sejarah yang baik. Wewenang dan kekuasaan lebih besar untuk dapat melakukan investigasi dan penegakan hukum adalah yang tidak dimiliki ICAC.

Kinerja KPK yang sangat baik untuk mendorong kasus kasus korupsi besar bisa dimenangkan di setiap lini penegakan hukum, bahkan sampai ke Mahkamah Agung. 

Dicatat KPK juga menindak kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat Bank Indonesia, KPU, dan bahkan KPPU. Besan Presiden SBY pun, yang kala studi itu ditulis, dipengadilankan. Belum lagi pengembalian aset negara yang dilakukan oleh KPK.

Foto pada cover Emil P. Bolongaita
Foto pada cover Emil P. Bolongaita
Emil P Bolongita selanjutnya mengidentifikasi beberapa aspek yang membuat KPK kuat dan berhasil. Aspek itu, antara lain:
  • Yurisdiksi kerja KPK yang luas, yang bisa mencakup semua yang ada di parlemen dan penegak hukum, dengan perkecualian militer. KPK bisa menyidik tapi tidak bisa membawa militer ke pengadilan.
  • Kekuatan dan kemampuan. KPK memiliki semua kekuatan untuk menyidik yang dimiliki sistem penegak hukum. Untuk itu KPK memiliki hak untuk menyadap tersangka, memeriksa rekening bank tersangka, membekukan aset tersangka, dan memerintahkan penangkapan.
  • SDM yang produktif. Penyidik KPK pada umumnya dari kepolisian dan dari BPKP. Di satu sisi merupakan kekuatan, di sisi lain penyidik dari kepolisian dikhawatirkan melemahkan KPK.
  • Keberhasilan dan laporan kerja yang diumumkan.
  • Akuntabilitas dibangun dari keputusan dan kerja kolegial 5 komisioner sebagai kekuatan.
  • Kerjasama TIPIKOR dengan Mahkamah Agung.

Ada beberapa hal pendukung keberhasilan KPK yang terbesar, yang dicatat oleh peneliti. Ini adalah soal dukungan masyarakat sipil.

Masyarakat sipil yang dimaksud dalah 1) Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) di bidang Anti Korupsi, ICW, dan the Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), 2) Dukungan masyarakat sipil ini didukung oleh media yang terbuka dan aktif, 3) Masyarakat luas. 

Ini membuat KPK seakan tidak takut apapun dan sebagai dampaknya, banyak kasus kriminalisasi yang dihadapi komisioner KPK.

Dukungan Presiden SBY, khususnya pada periode 2004-2009 dinilai memperkuat posisi KPK. 

Ini merupakan dukungan oleh makro politik yang sangat baik. 

Emil menyebut KPK menghasilkan "100% conviction rate". 

Apakah kesuksesan itu bisa berkelanjutan? Ini tergantung dari makro politik, yaitu dukungan masyarakat sipil dan masyarakat luas dan pemerintah. 

Apa yang ditulis oleh Emil P. Bolongaita yang diterbitkan oleh Anti Corruption Resource Center, suatu lembaga penelitian independen yang didukung berbagai lembaga bantuan pembangunan dunia untuk isu humanitarian dan anti korupsi.

Contohnya, CIDA dari Canada, DFID Inggris, GTX/BMZ Jerman, Norad Norwegia, Sida Swedia, kementrian Belanda dan AusAID Australia dan BTC Belgia sering menjadi referensi banyak lembaga anti korupsi dunia.

Bagaimana mungkin, KPK bisa bertahan bila aspek pendukung makronya, yaitu pemerintah telah bersama partai-partai di DPR menggembosi KPK.

Masyarakat Sipil yang (Di) Belah dan (Di) Bodoh (kan)
Sejak pemilu 2014, masyarakat sipil sudah terbelah berdasar pilihan kandidat politik dalam kancah Pilkada Jakarta dan Pilpres. Ini makin meruncing di Pilpres 2019.

Namun, menjadi sangat mengerikan ketika melihat bahwa redupnya masyarakat sipil menjadi makin diperberat oleh situasi yang seakan terbelah oleh isu.

Saya percaya, isu anti korupsi tetap menjadi isu yang menjadi kekuatiran masyarakat luas. Namun, kali ini mereka dibelah untuk kepentingan praktis yang berpotensi  membawa dampak negatif sistemik pada upaya pemberantasan korupsi. 

Persoalan revisi Undang Undang KPK bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak kalangan masyarakat yang sudah lelah dengan persoalan politik pada masa Pilpres 2019 kemarin tampaknya tak ingin lagi paham apa isu yang dihadapi KPK dan aspek yang diangkat dalam rencana revisi UU KPK.

Media memuat berita tentang kelompok yang membuat demo dan berkontak fisik di depan KPK sejak Jumat dan juga dilanjutkan di hari Sabtu kemarin. Pendemo tidak paham akan apa yang mereka perjuangkan. Pada artikel saya terdahulu, saya menyebut mereka peserta karnaval tinimbang pendemo.

Mediapun mulai membuka cerita bahwa banyak di antara pendemo pro-revisi UU KPK tidak paham substansi usulan revisi UU KPK (CNN Indonesia, 15 September 2019). 

Mengerikan ketika kita melihat realita dibelahnya masyarakat sipil menjadi masyarakat sipil yang paham isu dan masyarakat sipil yang hanya dimobilisasi untuk mengikuti karnaval yang berbau pesan damai. Juga demo berbau kekerasan untuk mendorong agenda penting soal KPK, yang mereka tidak pahami atau tak mau mereka pahami.

Pada saat ini, masyarakat sipil yang membela KPK adalah masyarakat sipil yang punya pemahaman baik dan rasional (saja). Ini artinya memang hanya selapis tipis dari masyarakat sipil Indonesia.

Bahkan, terdapat beberapa upaya untuk menundukkan upaya membangun suara di beberapa universitas, misalnya di UNDIP. Pengakuan ini diberikan oleh seorang kawan yang menolak revisi UU KPK. 

Mungkin, beberapa pihak berpikir bahwa kebanggan kita pada KPK tidak bisa lagi berlangsung lama. Saat ini, KPK berjalan tanpa pembela. Organisasi Non-Pemerintah seperti ICW dan MTI, walaupun terus bergerak, mungkin sedikit kelelahan dan kehabisan energi.

Para guru besar yang menulis penolakan adanya revisi UU KPK mungkin sedang sakit hati tidak diperdulikan Jokowi. Begitu juga aksi aksi dari kalangan academia dan juga kelompok profesional.

Semua kelompok profesional yang jadi bagian dari masyarakat sipil mungkin sedikit dari jumlah bila dibandingkan dengan masyarakat yang berdemonstrasi ke Monas untuk urusan lain.

Masuk akal bila kita makin khawatir dengan situasi masyarakat sipil kita. Ini mungkin menjadi bagian dari pergeseran kekuatan masyarakat sipil di seluruh dunia. Laporan 'State of Civil Society Report 2019' menggambarkan situasinya.  

Di satu sisi terdapat roh keji yang berbagi agenda yang sama di antara pemegang kuasa pilar demokrasi, para incumbent presidents melakukan apapun untuk mempertahankan kekuasaan, korporasi besar dengan agenda penguasaan aset, dan kelompok ektrim yang terus melawan prinsip hak asasi dan keadilan sosial.

Mereka memperkuat kepentingan kepentingannya, menyerang kelompok yang selama marjinal dan tereksklusi, dan pada umumnya tidak mempercayai perubahan iklim.

Di sisi lain, terdapat beberapa bagian dari masyarakat sipil yang berani berdiri, memikirkan hal progresif, berorientasi pada hak masyarakat sipil, dan warga yang berani mengatakan dengan tegas isu-isu yang ada di masyarakat terkait berbagai isu kemanusiaan. Perjuangan mereka (kita) penuh dengan tantangan.

Ruang-ruang masyarakat sipil juga mengalami tantangan. Studi di atas menunjukkan bahwa sekitar setengah dari 111 negara mengalami ancaman pada perwujudan hak sipil warga.

Hanya 4 % dari warga dunia tetap memiliki kebebasan masyarakat sipil yang dasar, sebagai kelompok yang berasosiasi, mereka yang dihargai pendapatnya. Situasinya adalah banyak Pemilu diwarnai penguasaan kekuataan oleh kelompok kanan.

Perjuangan masyarakat sipil tampaknya perlu membangun solusi positif ketimbang melawan politisi. Tentu ini juga tidak mudah mengingat kekuasaan politisi saat ini sangat menentukan poilitik secara makro.

Studi di atas tidak menyarankan masyarakat sipil berpindah ke sistem yang rusak atau mundur dari sistem yang ada, melainkan bersama-sama membangun pemahaman yang sama akan situasi yang ada dan melakukan solusi bersama melalui gerakan yang damai.

Demo di jalan dianggap sudah tidak efektif karena seringkali ditumpangi kelompok yang hendak memanfaatkan situasi.

Mengapa Saya Tidak Percaya Denny Siregar soal Taliban di KPK?
Sebagai pencetus kunci yang (seakan) mengancam secara mengerikan, penyebaran opini terkait kehadiran Taliban di tubuh KPK deras kita terima. Tak kurang, saya menerima dokumen soal tulisan Denny Siregar tentang bahaya Taliban di tubuh KPK dan bahwa Firli direkrut untuk membebaskan KPK dari Taliban.

Karena itu ditulis oleh Denny Siregar, maka kita, khususnya masyarakat sipil bisa saja mudah percaya. Tapi, saya tidak!

Perlu waktu bagi saya untuk memahami siapa Denny Siregar dan apa yang dia lakukan. Beberapa tulisan menyebutnya sebagai 'influencer' politik. Ini karena blognya berisi soal politik, soal tokoh politik dan dunia politik (Money Smart, 2019).

Kepada Money Smart, ia menyebut bahwa hidupnya juga ditopang dengan menulis, kontributor media online, konsultan tokoh dan partai politik, dan tentu saja sebagai pembicara di berbagai forum.

Selain itu, ada bisnis barunya yaitu membuka platform Baboo, suatu platform self-publishing yang berfokus pada penerbitan buku. Iapun juga dapat tawaran berbayar untuk menulis di blognya. Denny tidak hendak bergabung di politik, karena ia lebih menyenangi peran sebagai konsultan politik. 

Intinya, Denny adalah konsultan politik. Sebagai konsultan, ia bisa berikan advis. Bukan berarti ia punya nilai yang sama atau percaya dengan advisnya. Saya konsultan dan tahu cara kerja konsultan.

Memang kekhawatiran pada masuknya nilai radikalisme ke semua lini kehidupan adalah berita yang telah kita dengar. Namun, Taliban di KPK? Apakah para komisioner yang ada bisa menjelaskannya? Apakah betul mereka tak tahu sama sekali?

Saya memilih menggunakan akal sehat. Novel Baswedan seorang polisi. Firli Bahuri juga seorang polisi. Bila Novel Baswedan, seorang polisi handal lebih khawatir pada kondisi KPK yang digembosi tinimbang ancaman Taliban, maka saya lebih percaya pada Novel Baswedan dari pada Firli Bahuri.

Intinya, saya lebih percaya bahwa seluruh skenario diarahkan untuk meniadakan bukti dan mematikan kasus kasus hebat di KPK tinimbang pada demo perang perangan melawan Taliban. Taliban berbahaya, namun pada konteks KPK, ini lebih pada cerita yang ditiup.

Dan, saya melihat putri putri Gus Dur lebih rasional. Mereka menelisik isu soal Taliban ini. 

KPK, Jokowi, dan Masyarakat Sipil, Perjuangan yang Belum Berakhir
Pada saat ini, KPK sangat dipercaya dan didukung masyarakat sipil. Pada saat yang sama, Jokowi juga dipercaya dan didukung masyarakat sipil, dan sekitar 55% warga mendukung pada Pilpres 2019. 

Putri putri Gus Dur mendukung KPK dan menolak revisi UU KPK. Masyarakat Sipil juga begitu banyak memberikan dukungan kepada KPK, antar lain: 

  • Per September jam 16.00, telah terdapat dukungan diberikan oleh 2.338 dosen dari 33 universitas melalui Aliansi Akademi Nasional menolak RUU KPK dan pelemahan KPK;
  • Universitas Gajah Mada (UGM), UI, Unpad dan UNDIP membuat pernyataan 'Lawan Pelemahan KPK dan Selamatkan Presiden dari Persekutuan Jahat Pelemahan KPK
  • Berbagai petisi terus berjalan, termasuk petisi yang saya inisiasi. Hendak dukung?
    http://chng.it/sVWQfNjk.

Bahkan, Busyro, eks salah satu pimpinan KPK mendesak Kapolri untuk mencabut pencalonan Firli. 

Intinya, masyarakat sipil masih menghendaki KPK yang kuat, mengingat penegakan hukum secara 'normal' pada isu korupsi masih amat lemah.

"Pak Jokowi, ini memang perlu menjadi pertimbangan Bapak.  Sebegitu banyak akademia, guru besar, dosen dan kelompok profesional mewakili masyarakat sipil. Saya yakin, pak Jokowi sangat menghormati kelompok pemikir dan profesional itu. Buka diskusi.  Saya percaya pak Jokowi tidak percaya pada mereka yang demo di jalan dan tidak paham isu KPK, kan? Saya percaya, pak Jokowi juga tahu bahwa mereka cuma sekedar dibayar. Pak Jokowi, masyarakat sipil berada di belakang KPK (dan juga Bapak)."

Adanya serangkaian 'gerbong' yang menuntut dan membebani Jokowi adalah realitas. Namun, sebetulnya, bila Jokowi berpihak pada KPK dan sekaligus bekerja bersama masyarakat sipil, persoalan akan lebih mudah. 

Apalagi Jokowi didukung lebih dari 55% warga negara Indonesia.

Itu yang mungkin Jokowi perlu pertimbangkan. Dan, sampai detik ini, masyarakat sipil akan terus mendukung KPK.

Pustaka : Civicus, Mengapa KPK Efektif, Pendemo, Busyro 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun