Kelima, dengan perilaku Trump yang rasis dan bias gender, Trump akan disorot berbagai pihak bila perilakunya tidak berubah.
Sejak Megawati, belum pernah ada perempuan Indonesia dinominasikan atau bahkan disebut potensial untuk menjadi salah satu calon presiden.Â
Megawati kalah bersaing dengan Gus Dur pada Sidang Istimewa MPR 1999 dan mendapat posisi sebagai Wakil Presiden. Kala itu, Gus Dur mendapat 373 suara dan Megawati mendapatkan 313 suara.Â
Akhirnya Megawati diangkat sebagai Presiden RI pada melalui Sidang Istimewa MPR, ketika mandate Gus Dur dicabut. Pada Pemilu 2004, Megawati kemudian mencalonkan kembali sebagai presiden dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, tetapi kalah dalam persaingannya dengan SBY. Megawati mencalonkan kembali pada 2009, tetapi menghadapi kekalahan dari pesaingnya, SBY yang terpilih untuk kedua kalinya.
Walaupun perempuan ditargetkan minimal sebanyak 30% dari calon legislatif di Indonesia, tidak ada aturan yang memperkenalkan insentif agar perempuan juga menjadi calon presiden. Bahkan, perdebatan dan politisasi apakah perempuan layak jadi pemimpin masih sering terdengar.
Adalah menarik mengingat apa yang terjadi pada 1998. Baik kelompok muslim progresif dan konservatif menolak pemimpin perempuan melalui fatwa. Kegagalan Megawati menjadi Presiden pada 1999 adalah karena menjadi korban bias gender. Namun, pada 2001, kelompok muslim berbalik 180 derajat dan membuka pintu bagi Megawati. Ini sesuatu yang menarik.Â
Bila konstitusi tidak membatasi perempuan jadi presiden dan pencalonan anggota DPR memasang quota 30% untuk perempuan, jadi, sebetulnya, yang menentukan perempuan bisa atau tidak bisa jadi presiden itu siapa?
Saat ini demokrasi di Indonesia sedang dalam masa percobaan. Persoalan polarisasi kelompok di masyarakat, penggunaan dan politisasi pandangan pandangan yang konservatif, adanya alergi sosial pada perbedaan, dan merajanya berita bohong, semuanya ini tidak akan kondusif bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Sampai kapan ini akan terus terjadi?
Pustaka :