Beberapa hari yang lalu Kamala Harris mengumumkan pencalonannya untuk pemilu Amerika 2020 di depan media di almamaternya, di Universitas Howard di Washington DC.Â
Kamala merupakan perempuan keturunan kulit berwarna Amerika kedua setelah Shirley Chisholm, senator yang pada pada 1972 mencalonkan diri menjadi calon presiden Amerika.
Baik Kamala Harris yang mewakili California dan Shirley Crisholm mewakili Brooklyn adalah dari partai demokrat. Keduanya menggunakan logo dengan warna yang sama, merah dan kuning.Â
Kamala disebut sebagai perempuan dan keturunan Afrika Amerika yang pertama yang dipilih sebagai jaksa di distrik San Francisco dan kemudian menjadi jaksa umum di tahun 2010.Â
Quotenya "Bila mereka tidak berikan kamu meja, bawa saja kursi lipat" adalah gambaran tekadnya untuk tidak mengalah dengan situasi yang ada. Kampanye Kamala yang dilakukan melalui video membawa pesan "Kebenaran, keadilan, kehormatan dan kesetaraan. Ini adalah nilai-nilai yang Amerika pernah junjung, dan sekarang sedang mengantre untuk kembali".
Beberapa pengamat politik Amerika sangat senang menyambut pencalonan Kamala. Khususnya, karena sebagian besar masyarakat Amerika merasa jengah dengan kepribadian Trump yang buruk dan dengan kebijakannya yang tidak plural dan terkesan serampangan.Â
Membandingkan dengan Trump yang tidak memiliki kosa kata yang kaya, pengamat politik menyebut Kamala sangat cerdas dan selalu memberikan presentasi dengan detail pada persoalan persoalan yang ada.
Myra Adams, seorang ahli media yang mendukung kampanye Bush di tahun 2004 menyampaikan di The Realpolitik bahwa ia yakin Kamala Harris akan memenangkan pencalonannya, atas beberapa alasan. Pertama, ia perempuan dan gender adalah kekuatan. Kedua, ia terlahir campuran antara Jamaica dan Amerika. Demokrat mendukung pencalonan dari kalangan kulit campuran atau berwarna.Â
Ketiga, ia dianggap sebagai panutan atau role model. Pengamat mengatakan bahwa orang dengan kredibilitas semacam itu harus mencapai happy ending di Gedung Putih, Keempat, Obama akan mendukung kampanyenya.Â
Kelima, dengan perilaku Trump yang rasis dan bias gender, Trump akan disorot berbagai pihak bila perilakunya tidak berubah.
Sejak Megawati, belum pernah ada perempuan Indonesia dinominasikan atau bahkan disebut potensial untuk menjadi salah satu calon presiden.Â
Megawati kalah bersaing dengan Gus Dur pada Sidang Istimewa MPR 1999 dan mendapat posisi sebagai Wakil Presiden. Kala itu, Gus Dur mendapat 373 suara dan Megawati mendapatkan 313 suara.Â
Akhirnya Megawati diangkat sebagai Presiden RI pada melalui Sidang Istimewa MPR, ketika mandate Gus Dur dicabut. Pada Pemilu 2004, Megawati kemudian mencalonkan kembali sebagai presiden dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, tetapi kalah dalam persaingannya dengan SBY. Megawati mencalonkan kembali pada 2009, tetapi menghadapi kekalahan dari pesaingnya, SBY yang terpilih untuk kedua kalinya.
Walaupun perempuan ditargetkan minimal sebanyak 30% dari calon legislatif di Indonesia, tidak ada aturan yang memperkenalkan insentif agar perempuan juga menjadi calon presiden. Bahkan, perdebatan dan politisasi apakah perempuan layak jadi pemimpin masih sering terdengar.
Adalah menarik mengingat apa yang terjadi pada 1998. Baik kelompok muslim progresif dan konservatif menolak pemimpin perempuan melalui fatwa. Kegagalan Megawati menjadi Presiden pada 1999 adalah karena menjadi korban bias gender. Namun, pada 2001, kelompok muslim berbalik 180 derajat dan membuka pintu bagi Megawati. Ini sesuatu yang menarik.Â
Bila konstitusi tidak membatasi perempuan jadi presiden dan pencalonan anggota DPR memasang quota 30% untuk perempuan, jadi, sebetulnya, yang menentukan perempuan bisa atau tidak bisa jadi presiden itu siapa?
Saat ini demokrasi di Indonesia sedang dalam masa percobaan. Persoalan polarisasi kelompok di masyarakat, penggunaan dan politisasi pandangan pandangan yang konservatif, adanya alergi sosial pada perbedaan, dan merajanya berita bohong, semuanya ini tidak akan kondusif bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Sampai kapan ini akan terus terjadi?
Pustaka :
The Indonesian Islamic Debate on a Woman President, by Nelly VAN DOORN-HARDER
The Guardian, Kamala Harris officially enters 2020 US presidential race, 22 January 2019