Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah] Buku Best Seller

20 November 2019   06:00 Diperbarui: 20 November 2019   06:14 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opus 7

Buku Bestseller

-Fragmen Silvi

Dear Frater Gabriel,

Rasanya sakit saat orang tua mendiamkan kita. Aku lagi rasain itu, Frater. Papa mendiamkanku selama seminggu gara-gara aku dan Ayah pulang larut malam di hari pelantikan pengurus OSIS. Aku nggak habis pikir kenapa Papa semarah itu.

Bukan salahku kalau kuterima ajakan Ayah merayakan hari itu. Ayah punya banyak waktu buat aku. Kalau Papa? Dia sibuk terus. Makanya, aku nggak terlalu berharap.

Begitu Papa gagal kasih kejutan, dia marah. Dia merasa nggak dihargai. Papa juga kesal sama Ayah. Menurutku, Ayah nggak salah.

Frater, kenapa dua ayahku jadi diam-diaman? Aku nggak suka suasana rumah kayak gini. Aku ingin mereka baikan lagi. Aku kangen obrolan ringan antara aku, Papa, dan Ayah. Aku kangen quality time bareng mereka. Frater, aku harus gimana?

Mungkin, kebanyakan anak pernah lihat ayah-ibunya ribut. Tapi karena aku nggak punya ibu, yang kulihat adalah kedua ayahku nggak klop. Hidupku aneh ya, Frater.

Regards,

Silvi

Pagi-pagi sekali kukirim e-mail untuk Frater Gabriel. Usai shalat Subuh, aku membuka laptop dan tergerak untuk curhat. Beban menyakitkan menghimpit dadaku.

Aku mengetukkan jemariku ke papan keyboard. Aku tak berharap Frater Gabriel membalas e-mailku. Dia, kan, sibuk. Belum lagi, waktunya di Seminari harus dibagi antara hidup rohani, hidup berkomunitas, dan tugas perutusan.

Iseng aku browsing hal-hal lain. Aku mendownload lagu, menonton video yang kusuka, dan membaca cerita di platform daring. Ketika aku bersiap menutup browser, aku mengecek e-mail sekali lagi.

Aku tersentak kaget. Ada balasan dari Frater Gabriel. Bukankah sekarang waktunya ibadat pagi? Ah, peduli amat. Aku baca dulu saja e-mailnya.

Dear Silvi,,

Aku ikut sedih. Semoga Papamu segera memaafkanmu.

Tidak ada yang salah, Silvi. Wajar bila kamu dan Ayahmu ingin menghabiskan waktu bersama. Wajar bila Ayahmu ingin memberi kejutan. Begitulah caranya mengekspresikan kebanggaan.

Soal Papamu yang gagal memberi kejutan dan marah, menurutku itu karena dia merasa tidak dihargai. Bayangkan, ketika kamu ingin memberi hadiah pada seseorang. Lalu orang itu menolak hadiahmu. Bagaimana perasaanmu? Tidak semua maksud baik dapat diterima dengan tangan terbuka, Silvi.

Sabar ya. Kemarahan datang dan pergi pada waktunya. Cinta kasih akan memadamkan amarah. Semarah apa pun Papamu, dia tetap mencintaimu.

Salam hangat,

Gabriel

Untaian pesan Frater Gabriel menyiramkan ketenangan di jiwaku. Aku harus kuat menghadapi raut dingin Papa di meja makan. Toh masih ada Ayah. Dia akan selalu bersamaku.

Ayah? Kalau dipikir-pikir lagi, Ayah ratusan kali lipat lebih sabar dari Papa. Senakal apa pun, Ayah tidak pernah mendiamkanku. Ayah lebih memilih diam saat marah. Kalaupun dia marah, kemarahannya tak menyakitiku.

Ah, apa-apaan aku ini? Kenapa aku malah membandingkan Ayah dan Papa? Tapi, kenyataannya memang begitu kok. Ayah jauuuuh lebih sabar.

Pintu kamarku diketuk halus. Aku bangkit dan membukanya. Ayah berdiri tegak di ambang pintu. Tangan kanannya membawa segelas susu, dan tangan kirinya memasukkan iPhone ke dalam saku. Dia tersenyum melihatku sudah bangun.

"Selamat pagi, Sayangku." sapanya dengan gaya khasnya.

"Pagi, Ayah. Makasih ya, susunya. Ayah, temenin aku bentaaaar aja."

Kami masuk ke kamar. Ayah duduk di pinggir ranjangku. Aku menyesap susu coklat pelan-pelan. Dari sudut mata, kulihat Ayah mengeluarkan iPhonenya lagi dan membuka aplikasi entah apa.

"Ayah...?"

"Ya?"

"Ayah lagi chatting sama siapa?"

"Nggak kok, Ayah nggak lagi chatting."

Buru-buru Ayah menutup aplikasinya. Kenapa dia terkesan menyembunyikan isi smartphonenya dariku? Tidak, mungkin hanya perasaanku.

Kupandang Ayah lekat-lekat. Pria pucat itu masih mengenakan apron. Pasti Ayah habis memasak. Rajin sekali Ayahku. Padahal, mudah saja dia meminta bantuan Sonia atau memesan makanan via aplikasi.

"Ayah, kapan Papa baikan lagi sama kita?" tanyaku sedih.

Ayah membelai-belai punggungku. "Kemarahan datang dan pergi pada waktunya, Sayang."

Aku terbelalak. Kata-kata Ayah persis Frater Gabriel.

Setengah jam kemudian, kami sarapan bertiga. Wajah dingin Papa tersembunyi di balik koran pagi. Orang di luar sana akan menganggap Ayah dan Papa aneh karena masih berlangganan koran cetak. Tapi, mereka memang merasa lebih nyaman membaca koran fisik ketimbang berita daring.

"Papa mau roti panggang? Aku ambilin ya," tawarku.

Papa tak menjawab. Ia sibuk membalik halaman korannya. Kusorongkan piring keramik berisi beberapa potong roti panggang. Sedihnya, Papa sama sekali tak menyentuh roti panggang itu. Ayah menatap Papa memohon.

"Adica...anakmu bicara. Dia menawarimu sarapan. Jangan baca koran terus."

"Diam! Kalian sarapan saja sana! Aku tidak lapar!" ketus Papa.

Aku meneguk saliva, miris. Kenapa Papa seketus itu? Kurasakan Ayah mencium ubun-ubunku.

**   

Aku menggandeng tangan Catharina ke kapel. Wajah sahabatku ditekuk. Apa aku salah lagi? Bukankah janjiku untuk menemaninya ke kapel pagi ini sudah kulunasi?

"Catharina, senyum dong. Di rumah, aku ketemu Papa yang dinginnya kayak es krim. Masa di sekolah aku ketambahan muka cemberut kamu?" paksaku.

Catharina mengentakkan sepatunya ke paving block. "Kamu nggak punya waktu sejak ikut OSIS bodoh itu!"

Kalau bukan Catharina sahabatku, sudah kutampar mulut orang yang membodoh-bodohkan OSIS. Organisasi paling top di sekolahku itu bukan organisasi bodoh. Prokernya keren-keren, dan kinerja pengurusnya super.

"Sorry...waktuku memang berkurang banyak. Tiap Senin-Kamis rapat dan semacamnya. Tapi, aku tetap sayang sama kamu." ucapku meyakinkan.

"Ok, kalo kamu masih sayang sama aku. Nanti sore temenin aku ke mall. Udah lama kita nggak ngemall kayak dulu."

Aku mengangguk. Kebetulan, sore ini tidak ada agenda rapat OSIS. Obrolan membawa kami sampai di kapel. Anak-anak memulai doa pagi. Aku duduk di bangku belakang, memperhatikan jalannya doa dengan khidmat.

Usai doa pagi, kami bergegas ke ruang musik untuk mengikuti pelajaran pertama. Frater Gabriel menyambut kami hangat seperti biasa. Dia menanyakan tugas yang diberikannya pada kami minggu lalu.

"Siapa yang mau coba duluan? Yang duluan coba, saya beri nilai tambahan."

Kuangkat tanganku. Natasha merengut. Ia kalah cepat. Aku pun berjalan mantap menuju grand piano. Kumainkan lagu yang telah kulatih berulang kali sepanjang minggu.

Semua tentangmu

Selalu membekas di hati ini

Cerita cinta kita berdua akan selalu

Semua kenangan tak mungkin bisa

(Kulupakan, kuhilangkan)

Wajah Ayah menari di pelupuk mata. Ayah mengajarkan lagu itu dengan sabar padaku. Lama aku tenggelam dalam pikiranku. Apakah aku sudah tahu semua tentang Ayah?

Takkan mungkin kubiarkan cinta kita berakhir

Ku tak rela

Ku tak ingin kau lepaskan semua

Ikatan tali cinta

Saat menyanyikan part ini, kutatap mata Frater Gabriel. Ia mengedipkan mata, tersenyum padaku. Jantungku hampir lepas dari tangkainya. Namun, kenapa aku tak bisa menghapus Ayah dari pikiranku?

Yang t'lah kita buat selama ini

Semua tentangmu

Selalu membekas di hati ini

Cerita cinta kita berdua akan selalu

Semua kenangan tak mungkin bisa

(Kulupakan, kuhilangkan)

Takkan mungkin kubiarkan cinta kita berakhir

Ku tak rela

Ku tak ingin kau lepaskan semua

Ikatan tali cinta

Kembali aku memikirkan Ayah. Sudah berhasilkah Ayah membujuk Papa untuk berbaikan? Bagaimana kondisi Ayah pagi ini? Semoga Ayah tidak batuk-batuk dan mimisan lagi.

Yang t'lah kita buat selama ini

Aku di sini

Selalu menanti

Ku takkan letih menunggumu (Vierra-Semua Tentangmu).

**   

Kebahagiaan Catharina adalah kebahagiaanku. Senyumnya senyumku juga. Dan sore ini, akulah penyebab terbitnya senyum di wajah Catharina.

Kami berjalan-jalan mengelilingi mall terbesar di metropolitan. Kubelikan ia beberapa potong baju dari gerai favoritku, satu kotak sepatu, dan sepaket kosmetik lengkap. Sudah lama aku tak menyenangkan hati sahabatku.

Masih belum puas, kami bermain di game center. Lama tak kulihat Catharina tertawa selepas itu. Sedikit himpitan beban pun mengendur di perutku. Jalan-jalan ke mall sejenak merilekskan pikiran.

"Catharina, ke toko buku bentar yuk Aku mau beli novel." ajakku.

Dia mengangguk setuju. Sampai di toko buku, kami berpisah jalan. Aku ke bagian rak novel dan dia ke bagian komik Kusuruh dia mengambil komik apa saja yang disukainya, biar nanti aku yang bayar.

Langkahku melambat. Rak novel bersebelahan dengan rak ekonomi dan bisnis. Kubolak-balik beberapa buku incaranku. Kubaca nama pengarang dan blurbnya. Ah, rupanya aku melewatkan Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata. Aku akan membelinya.

Novel itu meluncur lepas dari jemariku. Ia mendarat di lantai dan meluncur ke kolong rak sebelah. Aku blingsatan mengambilnya. Seorang pengunjung menatapku mencela. Mungkin dia terganggu dengan ulahku.

Kupungut novel itu dari lantai. Saat aku kembali berdiri tegak, kepalaku membentur rak paling atas. Sebuah buku besar dan berat menimpa kepalaku.

"Aduh!" erangku kesakitan.

Buku laknat apa yang menjatuhiku? Kubalikkan buku itu, kubaca judulnya. Aku bersiap memaki pengarangnya.

Dan...kalian tahu apa yang kutemukan? Nama Ayah tertera sebagai pengarang buku! Stiker kecil menempel di bagian atas cover bertanda bestseller. Aku berdiri mematung, tak percaya dengan penglihatanku.

Ayah Calvin seorang penulis buku? Benarkah? Benarkah nama Calvin Wan yang tertera di punggung buku itu adalah Ayahku? Sungguh, aku tak menyangka. Dan bukunya bestseller?

"Dor! Melamun terus! Makan yuk, aku lapar. Udah dapet novelnya?"

Catharina menepuk keras pundakku. Kutarik tangannya ke meja kasir. Mata Catharina membulat heran melihatku membeli buku bisnis.

"Udah mulai serius belajar bisnis, ya?" godanya.

"Nggak. Pengen baca buku Ayah aja." sahutku setenang mungkin.

"Wow, Ayah kamu penulis terkenal Keren banget. Udah ganteng, berbakat lagi. Pernah nggak kamu belajar nulis sama dia? Kalo aku jadi anaknya, aku pasti udah belajar banyak darinya."

Perkataan Catharina menohokku. Anak macam apa aku ini? Aku tidak tahu banyak tentang Ayah. Sedangkan Ayah, tahu semua tentangku. Ayah bahkan lebih memahamiku ketimbang Papa. Ayah tahu aku suka susu coklat. Makanya, tiap pagi dia membuatkannya untukku. Ayah tahu lily adalah bunga kesukaanku. Sering kutemukan sebuket lily dari Ayah bertengger manis di meja belajarku.

Kami sampai di food court. Catharina bertanya kenapa aku lebih pendiam dari sebelumnya. Kukatakan semuanya baik-baik saja. Kubiarkan ia memesan dua porsi nasi goreng, crepes vanilla, es krim strawberry, dan Thai tea. Gila juga anak itu. Hujan-hujan begini makan es krim.

Kulirik jendela food court. Hujan deras menerpa kaca jendela. Deru hujan membuatku rindu rumah. Aku ingin cepat pulang dan memeluk Ayah.

Baru saja piring nasi goreng kami tandas, Catharina ditelepon ibunya. Ia disuruh pulang. Katanya, ia diminta bantu-bantu persiapan Ibadat Syukur nanti malam. Kakak Catharina baru saja menyelesaikan kuliahnya.

"Silvi, nggak apa-apa kamu pulang sendiri?" Ia meyakinkanku, nadanya bersalah.

"Nggak masalah. Kamu pulang aja. Semoga lancar acaranya."

Ia meninggalkanku dengan menyesal. Kurogoh tasku. Saatnya menelepon seseorang.

**    

-Fragmen si kembar

Calvin mendesah tak kentara. Diremasnya kertas tebal berlogo rumah sakit. Hasil pemeriksaan yang buruk. Sampai kapan Mr. C memusuhinya?

Dokter Tian berkata meneguhkan. Dimintanya Calvin tetap bersemangat menjalani kombinasi kemoterapi, radiasi, dan terapi target. Untuk melakukan pembedahan sudah tak memungkinkan. Terlalu berisiko, mengingat besarnya ukuran tumor dan kondisi tubuh Calvin yang lemah.

"Apa saya akan terus menjadi manusia obat? Kemana-mana harus membawa obat dan meminumnya." Calvin berujar miris.

"Peluang sembuh selalu ada, Calvin. Kamu hanya perlu bersabar."

Kalau bukan karena Silvi, sudah lama Calvin bertekuk lutut. Penyakit ini menguras deposito dan daya tahan tubuhnya. Gegara NSCLC, rencana-rencana Calvin tak selonggar dulu.

Setelah menebus obat ke bagian farmasi, Calvin beranjak ke lobi. Supirnya telah menanti. Langit menangis, mengeluarkan air matanya dengan penuh emosi. Satu kakinya menginjak lobi tepat ketika iPhoenya bergetar. Pop up bertuliskan Silvi berpendar di layar.

"Ayah, bisa jemput aku?" Suara manja di seberang sana mengusir galau hatinya.

"Bisa banget, Sayang. Kamu dimana? Masih di sekolah?"

"Aku di mall, Ayah. Bentar aku shareloc. Bye."

Semenit kemudian, Silvi mengirimkan lokasi. Calvin menyuruh supirnya mengarahkan mobil ke mall.

Sesampai di mall, tempat parkir penuh sekali. Basement dan lapangan parkir di luar dipenuhi kendaraan beraneka jenis. Maklum, tanggal tua telah berganti tanggal muda. Nafsu belanja orang urban kembali menggila.

Calvin mulai tak sabar. Silvi pastilah sudah lama menunggu. Di seberang mall, terdapat toko buku. Dimintanya supirnya parkir mobil di toko buku. Dia akan menjemput Silvi di dalam.

"Hujannya deras sekali, Tuan. Tuan bisa sakit..." Supir itu berkata ragu.

"Apa artinya saya sehat kalau membuat putri saya lama menunggu?"

Tanpa menunggu jawaban, Calvin bergegas turun. Ia berlari menerabas derasnya hujan. Ia menjemput Silvi di food court.

Sepuluh menit kemudian, Calvin dan Silvi melangkah di bawah hujan. Calvin membuka jasnya, menyelimutkan benda mahal itu ke tubuh Silvi. Silvi menolak. Ia takut sang ayah kedinginan.

"Lebih baik Ayah kedinginan dari pada kamu yang merasakannya." Calvin berkata dengan nada finalitas, enggan berdebat.

Tangan Calvin membekap dada. Dingin merasuk tubuhnya. Namun, dia tak menyesal memberikan jasnya untuk Silvi.

Malamnya, Calvin demam. Suhu tubuhnya naik dengan cepat. Silvi sedih dan bersalah.

"Ini semua gara-gara Silvi. Coba aja tadi Silvi naik taksi online. Ayah nggak akan sakit." sesal gadis itu.

"Kamu nggak salah, Sayang. Kan, Ayah sendiri yang ingin kamu pakai jas itu."

Semalaman Silvi menemani Calvin. Ia tidur di kamar pria itu. Dibawanya buku karya Calvin sebagai bacaan pengantar tidur. Melihat buku yang dibaca Silvi, Calvin keheranan.

"Silvi, kamu tahu dari...?"

"Justru itu yang mau aku tanyain sama Ayah. Kenapa Ayah nggak pernah cerita?" sela Silvi gemas.

Calvin bangkit duduk. Meraih tissue, lalu menyedot hidungnya. Dia menunduk menatap wajah Silvi.

"Tidak perlu bercerita banyak tentang diri sendiri. Orang yang mencintaimu tidak butuh itu. Orang yang membencimu tidak akan percaya."

"Tapi, aku kan anak Ayah. Aku berhak tahu."

Andai saja demam tak menyerangnya, sudah sejak tadi Calvin merengkuh Silvi. Jangan sampai anaknya ikutan sakit. Sambil berbaring lagi di tempat tidurnya, Calvin berkata.

"Biarkan orang lain tahu eberhasilan kita tanpa perlu kita ceritakan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun