Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Penyakit Kronis Birokrat

7 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 7 Juli 2019   06:02 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyakit kronis Birokrat

Ucapkanlah aksih

Satu akta yang kunantikan

Sebab ku tak sanggup

Membaca matamu

Mendengar bisikmu...


**  

Alarm biologis di otaknya berdetak. Ayah Calvin terbangun. Masih jauh dari pagi. Waktu merangkak di sepertiga malam.

Air mata langit membasuh kota. Deras dan dingin. Menguatkan motivasi penduduk metropolitan untuk terbenam di balik selimut mereka. Menciutkan nyali mereka yang ditakdirkan masih bekerja di kala sebagian yang alin terlelap. Entah sejak kapan hujan turun selebat ini.

Hujan di Bulan Juli?

Ayah Calvin tersadar. Akankah musim hujan datang lebih awal? Akankah khayalan dalam kepala sastrawan sekaliber Sapardi Djoko Damono terwujud? Oh tidak, itu Hujan Bulan Juni.

Mengapa pikirannya melayang kemana-mana? Seharusnya Ayah Calvin sudah memulai sesuatu. Seperti yang telah direncanakannya.

Belum sempat ia beranjak, sesuatu menggelitik lehernya. Menjalar pelan hingga ke dada. Merambat sampai ke tenggorokan. Perih. Menyesakkan.

Ayah Calvin terbatuk. Sakit itu, hadir lagi. Ia gampang terbatuk dan emrasakan sakit bila kelelahan menghebat di tubuhnya.

Lelah. Satu kondisi yang harus dijauhi penderita kekentalan darah seperti dirinya. Kelelahan sedikit saja, pulihnya lama sekali.

Pelan dipegangnya tangan Jose. Anak tunggalnya itu tidur di sampingnya. Sejak perkabungan dalam keluarga, Jose sulit sekali dipisahkan dari sang ayah. Kasihan bila membangunkan Jose. Ia memang uska melewatkan malam-malam bersama Ayahnya. Tetapi...

Oh God! Apa lagi ini? Sesuatu mengalir pelan dari hidungnya.

Helaian tissue dipenuhi darah. Tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Perlahan Ayah Calvin bangkit dari ranjang. Keletihan dan eksakitan diabaikannya.

Ia telah berjanji.

Janji harus ditunaikan.

Sayang sekali...

Jose terbangun di saat tak tepat. Begitu tahu Ayahnya tak lagi di issinya, dia menyerukan keresahan itu. Menolak ditinggal-tinggal.

Terburu-buru Ayah Calvin kembali ke kaki tempat tidur. Ia dekap tubuh buah ahtinya. Ia cium kening anak itu. Tangannya pelan membelai rambut Jose.

"Sayangku...Ayah tinggal sebentar ya. Ayah ahrus masak buat teman-teman kamu yang istimewa itu..." bujuknya lembut.

Bujukan halus disambuti gelengan kuat. Jose tak ingin ditinggal untuk kali kedua. Ayah Calvin menghela nafas dalam, susah payah emnahan agar tidak terbatuk atau menampakkan rasa sakit di depan anak satu-satunya.

"Ayah nggak boleh terlalu ellah. Ayah sakit..." tolak Jose, menatap wajah pucat Ayahnya.

Betapa kuatnya feeling seorang naak. Bagaimanapun orang tua menyembunyikan keadaan, emreka selalu tahu.

"Jangan pikirkan Ayah..." cegah Ayah Calvin.

"Ayah jangan tinggal-tinggal aku lagi. Aku hanya mau dengan Ayah."

Hati ini terasa kebas. Jose menjadi seperti itu bukan tanpa alasan. Semuanya gegara birokrat arogan bernama Ms. Erika.

**  

Nyanyikanlah kasih

Senandung kata hatimu

Sebab ku tak sanggup

Mengartikan getar ini

Sebab ku meragu pada dirimu...

**   

Kemarahan menggantung berat di ruang kelas. Anak-anak gentar. Ini bukan kali pertama wali kelas mereka marah. Akan tetapi, kemarahan Ms. Erika membahayakan teman mereka yang cantik.

"Sekali lagi saya peringatkan! Jangan duduk di samping Silvi, membantunya dalam pelajaran, mengajaknya bermain, atau datang ke rumahnya!" bentak Ms. Erika. Suaranya menggelegar bagai pengkhotbah di puncak Golgota.

Hukuman Ms. Erika sungguh tak bermutu. Ia memberikan sanksi pengucilan pada anak didiknya.

Sementara itu, si cantik yang tengah jadi lakon terduduk di bangkunya dengan wajah beku. Bibirnya terkatup rapat. Tak setetes pun air mata membekas di pipi mulus Silvi. Mata birunya kering tanpa buliran bening.

Sakit hati Ms. Erika lantaran tulisan Silvi berlarut-larut. Ujungnya hukuman ini. Seisi kelas ketakutan.

Tidak, tidak semuanya takut. Jose terang-terangan menentang wali kelasnya. Anak lelaki berparas tampan dan bermata sipit itu duduk di samping Silvi. Tak ia biarkan sepupunya sendirian. Diajaknya Silvi bermain dan belajar.

Dengan berani, Jose membantu Silvi saat ulangan Matematika. Ia sengaja melakukannya di depan hidung Ms. Erika. Tentu saja guru anti kritik itu berang.

Kemarahannya ia tahan. Jose adalah kunci penting salah satu ambisinya. Ms. Erika tidak mau salah langkah.

Anak pemegang kunci obsesinya itu sungguh berani. Di saaat semua temannya ketakutan, Jose justru menunjukkan kasih sayangnya pada Silvi. Persis apa yang dilakukan Ayah Calvin. Sementara itu, Silvi menikmati perhatian sepupu dan ayah keduanya.

Tak sepotong pun pengaduan dilayangkannya pada Paman Revan. Namun, pria setengah bule bermata biru itu tahu semua yang dialami putrinya. Dua hari setelah embargo Ms. Erika, Paman Revan datang ke sekolah pada jam pelajaran. Ia perhatikan Silvi diam-diam.

Perasaannya berkecamuk. Hatinya hangat dan perih di saat bersamaan. Hangat karena Jose selalu ada di samping Silvi. Perih akibat sanksi sosial Ms. Erika.

"Kalau bersedih, tunjukkan saja. Di sini tidak ada siapa-siapa."

Suara bass bertimbre berat tapi empuk itu mengejutkannya. Refleks Paman Revan memutar tubuh. Ayah Calvin berdiri di belakangnya. Sesaat dua pria berjas mahal itu saling pandang.

"Staf gurumu itu anti kritik. Memangnya Erika itu siapa?" kecam Paman Revan.

"Erika mantan kepala sekolah di sebuah sekolah negeri favorit. Kutarik dia ke sini dengan gaji tinggi. Murid-muridku butuh guru yang cerdas." jelas Ayah Calvin seraya membetulkan letak kacamatanya.

Paman Revan mendengus. "Sekolah negeri? Birokrat...bisa juga ASN. Membawa mental feodalistis."

Mendengar itu, Ayah Calvin terenyak. Salahkah ia mempekerjakan mantan birokrat?

Bel istirahat berbunyi. Kegaduhan pecah di koridor. Para murid berhamburan lewat pintu kelas di kanan-kiri. Paman Revan dan Ayah Calvin menyaksikan dengan sedih ketika tak satu pun anak berani menyapa Silvi. Hanya Jose yang selalu ada di sisinya.

"Bagaimana caraku berterima kasih pada anakmu, Calvin?" Paman Revan mendesah, menatap punggung Jose di kejauhan.

"Tidak perlu. Aku tahu anakku tulus dan penyayang. Kasus ini benar-benar melelahkan. Jika selesai dengan baik, aku akan memasakkan masakan oriental untuk anak-anak di panti sosial khusus difabel itu." Ayah Calvin bergumam sendiri.

Detik berikutnya, perhatian mereka teralih. Jose mimisan. Ayah Calvin dan Paman Revan kalah cepat dari Ms. Erika. Wanita cerdas itu bergegas mendekati dua muridnya.

"Kau...!" tuduhnya ke arah Silvi.

"Kauapakan sepupumu?"

"Tidak, Ms. Erika. Gabriel tiba-tiba seperti itu..." Silvi patah-patah menjelaskan.

Mata Ms. Erika berkilat tak percaya. Cepat-cepat dibawanya Jose menjauh dari Silvi. Gerakannya sulit terkejar. Ms. Erika membawa Jose ke ruang guru, menutup pintu, lantas menguncinya.

"Erika! Jangan sentuh keponakanku!" seru Paman Revan marah.

Ayah Calvin mencengkeram lengan kakak iparnya. Ia tahu siapa Ms. Erika. Staf pengajarnya tidak akan main fisik, ia bisa pastikan itu.

"Calvin, bisanya kau tenang-tenang saja! Anakmu dalam kekuasaan wanita jahat itu!"

"Revan," kata Ayah Calvin, tenang dan berwibawa.

"Aku takkan membiarkan orang bertangan besi mengajar di sekolahku. Check CCTV bila kau tidak percaya."

Tanpa kata lagi, Paman Revan menarik tangan Ayah Calvin ke depan kamera-kamera itu. Mereka dapat melihat kilasan ruang guru yang sepi. Hanya ada Ms. Erika dan murid kesayangannya. Tampak Ms. Erika begitu memperhatikan Jose.

"Jose...kebanggaannya Ms. Erika." Wanita keras hati itu berkata manis. Membuat Jose merinding. Bukan, ini bukan Ms. Erika yang dikenalnya.

"Selagi kita berdua saja. Ms. Erika ingin bilang...hidup itu harus bijaksana."

Hidup harus bijaksana? Nasihat apa itu? Sangat tidak khas Ms. Erika.

"Saya tahu, Jose sangat sayang sama Silvi. Kalian berdua sepupu kan? Tapi Jose tidak mendengarkan saya. Jose tidak tahu sakitnya hati saya setelah tulisan di buku cerita itu."

Ah, ini taktik Ms. Erika. Ketidaknyaman memberati hati Jose. Ia ingin keluar, keluar dari ruang penuh kursi dan panel ini.

"Makanya itu, Nak. Hidup harus bijaksana. Jangan fokus pada perasaan diri sendiri. Harus toleransi. Jangan mengharapkan orang lain berubah, tapi kitalah yang harus berubah. Jangan meminta orang lain mengerti kita."

Apa-apaan ini? Sungguh inkonsisten bila Ms. Erika menasihati Jose sementara dirinya sendiri tak mengamalkannya. Jose muak mendengar perkataan guru bertampang galak itu.

Sejurus kemudian, Ms. Erika memeluk Jose. Refleks Jose menjauh, menolak pelukan itu. Ia tahu mana tubuh yang bisa dipeluk dan mana yang tidak. Pelukan Ayahnya paling nyaman. Lalu ada pelukan orang-orang terdekatnya yang lain. Tapi tidak untuk Ms. Erika.

"Jangan tolak pelukan saya...Jose masih butuh saya. Jaga hubungan baik." sergah Ms. Erika, nada suaranya dilembut-lembutkan.

Mental feodal, mental merusak. Itulah penyakit kronis birokrat. Merasa diri lebih tinggi dibandingkan orang yang dilayaninya. Merasa dibutuhkan, merasa punya kekuasaan, dan merasa berhak mengatur orang lain. Mental birokrat yang sungguh buruk.

"Saya tidak percaya dengan Ms. Erika. Saya hanya ingin dipeluk Ayah Calvin." Jose berkata tegas.

Rona merah memenuhi wajah Ms. Erika. Ekspresinya dua kali lebih menakutkan..

Jose patah hati, patah hati luar biasa. Sifat asli wali kelasnya jauh lebih buruk dari yang sering ditampilkannya selama mengajar. Kini ia mengerti perasaan Silvi. Perasaan patah hati luar biasa ketika diri ini dihakimi oleh orang yang tidak mengenal kita luar-dalam.

Lebih cepat ia tinggalkan guru bermental priyayi ini lebih baik. Jose melangkah keluar dengan wajah pucat. Ayahnya, hanya sosok itu yang ia butuhkan. Rasa takut kehilangan ayah bergemuruh di dada Jose. Sepersekian menit, Jose telah sampai di ruangan direktur yayasan dan menjatuhkan diri ke pelukan Ayah Calvin.

**   

Mengapa berat ungkapkan cinta

Padahal ia ada

Dalam rinai hujan

Dalam terang bulan

Juga dalam sedu sedan

Mengapa sulit mengaku cinta

Padahal ia terasa

Dalam rindu dendam

Hening malam

Cinta terasa ada (Acha Septriasa ft Irwansyah-Ada Cinta).

Satu lagi hati yang patah gegara birokrat rasa feodal Ms. Erika. Hati itu tak lain milik Bunda Alea.

"Sorry...nanti malam kita tidak jadi nonton The Wife." Ayah Calvin meminta maaf, memeluk pinggang calon istrinya.

Wanita cantik itu tergugu. Air matanya bercucuran.

"Kau akan tetap menemuinya, Calvin? Wanita itu telah mematahkan hati anak-nk..." isak Bunda Alea.

"Demi muridku, Alea. Erika berjanji akan menganggap masalah ini selesai bila aku menemaninya nanti malam."

Pundak Bunda Alea bergetar hebat. Kian erat Ayah Calvin memeluknya. Satu-dua bulir bening yang menggenangi pelupuk mata Bunda Alea jatuh ke lantai marmer.

"Calvin, kenapa kau tidak memecat Erika saja? Kau bisa melindungi Silvi dengan cara itu, bukan dengan mengorbankan perasaanmu."

"Tidak semudah itu, Alea. Erika bukan orang biasa. Dia mengancam akan menyebarkan kasus ini ke media, memblacklist Silvi agar tidak diterima di sekolah lain, dan mempengaruhi dewan guru agar mengeluarkan Silvi. Berbahayanya orang seperti itu."

Mudahnya orang menggunakan kekuasaan sebagai alat pemuas ambisi. Birokrasi seolah dituhankan. Mentalitas yang dimiliki Ms. Erika sungguh berbahaya.

Dengan wajah sendu berurai air mata, Bunda Alea mengizinkan Ayah Calvin pergi. Demi cinta, demi kasih sayang. Cemburu berdenyut sakit di hati Bunda Alea. Ia tahu, birokrat bermental feodal itu jatuh cinta pada calon suaminya.

Bunda Alea membalikkan tubuh. Berjalan masuk ke rumah. Sampai di ruang tamu, Jose memeluknya. Menatap Bunda Alea tak rela.

"Bunda barunya Jose tetap Bunda Alea. Hanya Bunda cantik yang boleh ada di samping Ayah."

Mana mungkin Jose mau mengganti wanita secantik Bunda Alea dengan Ms. Erika?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun