Langkah kakinya terhenti. Sejenak berkutat dengan gawainya, pria tampan berjas grey itu kembali berjalan. Kini langkahnya lebih cepat. Di belokan, ia nyaris bertabrakan dengan serombongan ibu-ibu tambun yang tubuhnya dipenuhi gelang dan kalung emas mahal. Demi melihat siapa yang lewat, mata mereka melebar kagum. Tak lepas menatapi sosok tampan berpostur tinggi semampai yang baru saja melintas.
"Siapa tuh?"
"Ganteng banget. Boleh juga, jadiin calon mantu."
"Cocok kali ya, buat si Mika."
Namun, si pria yang jadi objek pembicaraan tak peduli. Ia terus berjalan ke area parkir. Cepat-cepat membuka pintu Yarrisnya, lalu melaju pergi.
Hari ketiga pasca hari raya, jalanan masih sepi. Rerimbunan pohon di kanan-kiri memanjakan indera penglihatan. Pohon-pohon plastik sudah dicabut. Tersaji lingkungan hijau, asri, tenang, dan kondusif. Biarlah, biarlah sebagian besar penghuni ibu kota mudik. Sementara waktu, ibu kota tak lagi disesaki karbon dioksida dan keegoisan manusia.
Chevrolet itu meluncur di atas flyover. Lancar, mulus, tanpa hambatan. Mau tak mau si pria oriental bermata sipit tersenyum kecil. Dia menikmati kebebasannya. Senangnya bebas menyetir di jalan bebas macet begini.
Turun dari flyover, si pria Chinese menaikkan kecepatan mobilnya. Menyelip sedan putih dan Kijang model lama. Ia berpacu dengan waktu, ingin tiba secepatnya di tempat tujuan. Berulang kali lelaki rupawan yang terlihat masih muda itu menghela nafas, melirik gelisah jam di ashboard.
"Mungkinkah aku terlambat?" gumamnya pada diri sendiri.
Tidak, rasanya tidak. Masih banyak waktu. Toh hari belum terlalu sore.
Demi mematikan perang batin di dadanya, si blogger dan pengusaha retail berparas tampan menyalakan radio mobil. Berharap lagu-lagu yang diputarkan dapat mengusir gundah.