Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hijab, Paksaan atau Pilihan?

6 Agustus 2017   06:12 Diperbarui: 8 Agustus 2017   16:57 12984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya, saya menikmati masa-masa indah berhijab. Bahkan saya mulai mengenakan hijab yang modis. Bagi saya, berhijab yes, modis yes. Jangan sampai selera fashion hilang hanya karena hijab.

Namun, lama-kelamaan saya merasa ada yang salah. Saya mulai tidak nyaman. Pergulatan batin melanda diri saya. Rasanya hijab ini bukan pilihan terbaik. Saya mulai gelisah dan tidak nyaman dengan hijab yang saya pakai. Saya kehilangan diri saya saat berhijab. Bukannya ketenangan yang didapat, saya malah resah dan gelisah.

Mulailah saya pertimbangkan untuk lepas hijab. Di sini, orang tua dan keluarga tidak ikut campur. Mereka tahu, saya tidak suka dilarang atau dihalangi saat akan melakukan sesuatu. Mereka pun menerima keputusan final saya. Praktis saya tidak melibatkan mereka dalam urusan ini. Cukup diri saya sendiri yang memikirkan, mempertimbangkan, dan memutuskan.

Setelah melewati perenungan panjang di masa liburan, akhirnya saya putuskan untuk tidak lagi memakai hijab. Keputusan ini saya buat sendiri, tanpa campur tangan siapa pun. Bahkan teman-teman terdekat saya tak tahu. Alasannya sederhana: ketidaksiapan dan adanya beban.

Setelah melepas hijab, saya kembali menemukan diri saya yang hilang. Rasanya hati menjadi tenang. Tak ada lagi beban. Bahkan saya bisa beribadah lebih baik lagi. Shalat, membaca Al-quran, dan memperdalam ilmu agama. Berkebalikan dengan kisah kesaksian orang-orang yang berhijab. Hati mereka baru terasa tenang setelah hijab menutup rambut dan tubuh mereka. Justru saya mendapat ketenangan dan kekhusyukan beribadah setelah lepas hijab. Aneh, misterius, dan tak terkira.

Teman-teman dekat mengerti dan menghormati keputusan saya. Begitu pula keluarga. Mereka tidak mempermasalahkan. Anehnya, beberapa tahun sebelumnya sepupu saya sempat lepas hijab. Langsung saja ia diprotes Auntie-nya yang alim dan bercadar. Sedangkan saya? Sama sekali tak dikomentari dan tetap diperlakukan dengan hangat serta penuh kasih sayang.

Satu-dua orang bertanya. Saya tersenyum saja tanpa menjawab. Sulit untuk menjelaskan pada mereka. Mau protes silakan saja. So what? Toh ini hidup saya. Mereka takkan dirugikan jika saya lepas hijab. Memangnya saya minta mereka menanggung risikonya? Tidak, kan? Mau protes dan mencaci-maki sekeras apa pun, takkan saya dengar. Saya hanya akan mendengarkan orang-orang yang saya percayai, cintai, dan sayangi. Selebihnya, saya tak peduli ucapan orang lain menyangkut diri saya.

Itu hanya satu-dua orang. Selebihnya, tak ada lagi yang bertanya. Mungkin mereka takut cari gara-gara dengan saya. Takut saya tidak mau membantu mereka lagi dalam urusan akademik, relasi dengan lawan jenis, motivasi, atau hypnotherapy. Sungguh, saya bukan bermaksud sombong atau bersikap seenaknya. Memang begitu kenyataannya.

Lingkungan universitas tempat saya melanjutkan studi bernuansa Islami. Saya berteman dengan beberapa akhwat berhijab yang telah memutuskan untuk berhijrah. So far, mereka memahami saya. Mereka tidak mempermasalahkan style berpakaian saya yang berbeda dari mereka.

Sepupu-sepupu saya yang perempuan berhijab. Saat saya bersama mereka, itu pun tak masalah. Saya malah senang karena bisa tampil beda dan lebih stylish. Toh saya senang tampil beda dari pada yang lain. Tampil sama dan mengikuti orang lain hanya akan membuat diri kita terlihat biasa-biasa saja dan sulit dikenali.

Lucunya, saya sering dikira non-Muslim karena tak berhijab. Bahkan tahun lalu saya pernah menerima ucapan selamat saat tiba hari raya agama lain. Biarlah mereka penasaran. Saya senang membuat orang lain penasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun