Mohon tunggu...
Kurnia Alysia Aditianingrum
Kurnia Alysia Aditianingrum Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Pecinta film dan serial televisi, membaca, dan kucing

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"The Starling", Sebuah Refleksi tentang Grieving

29 Maret 2024   07:49 Diperbarui: 29 Maret 2024   08:00 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm3710316545/?ref_=tt_md_4

Kehilangan—sebuah kata yang terdengar tidak asing di telinga kita. Siapapun di dunia ini pasti pernah mengalaminya. Entah dalam konteks kehilangan seseorang yang kita sayangi maupun suatu peristiwa yang—setidaknya—meluluh-lantakkan diri kita. Tetapi, seberapa sering Anda mendengar ungkapan demikian ketika mengalami ataupun mungkin menyaksikan seseorang mengalami kehilangan yang menyebabkannya berduka secara mendalam?

            “Yang ikhlas yaa…”

            “Inget, harus ikhlas.”

            “Sudah takdir Tuhan.”

            “Sudah jalannya begini.”


 “Kamu nggak boleh gitu, karena tandanya kamu ngga menerima takdir Tuhan. Itu dosa!”

Ungkapan seperti ini mungkin seringkali kita dengar ketika seseorang mengalami big lost. Bisa jadi orang-orang di sekitar kita—yang menyayangi kita—memang tidak ingin melihat kita terus menerus terpuruk. Atau bisa juga karena mereka tidak memahami grieving, entah karena nilai yang diyakini atau memang tidak memiliki pengetahuan mengenai itu. Namun, jika kita mencoba menyaksikan film The Starling karya Theodore Melfi, sutradara yang sukses mengangkat isu kesetaraan dalam film Hidden Figures (2016), tentu akan menambah wawasan bagi kita untuk lebih memahami grieving. Menariknya lagi, The Starling dibintangi oleh Melissa McCarthy, aktris kelahiran 1970 yang lekat dengan tema-tema komedi yang justru kontradiktif dengan proyeknya kali ini.  

Grieving adalah berduka. Mengutip dari American Psychological Association, grief merupakan penderitaan yang dialami setelah kehilangan yang sangat besar, biasanya kematian orang yang dicintai. The Starling bercerita tentang pasangan bahagia Lilly dan Jack Maynard (diperankan oleh McCarthy dan Chris O’Dowd) yang baru saja dikaruniai satu putri bernama Katie. Namun kebahagiaan itu sirna dalam sekejap ketika Katie mengalami sindrom kematian bayi mendadak (SIDS) dan mereka harus kehilangan bayi mereka seketika. Di sinilah yang menjadi inti cerita dalam film ini yang sekaligus menjadi bahan refleksi tulisan ini.

https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm4204261889/?ref_=tt_md_1
https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm4204261889/?ref_=tt_md_1

Baik Lilly maupun Jack mengalami kedukaan yang mendalam dimana Jack memilih ‘mengasingkan diri’ dari kehidupannya ke bangsal psikiatri, sedangkan Lilly berjuang mengatasi kesedihannya dengan kembali dalam rutinitas kehidupannya. Sekilas akan nampak klise bagi kedua karakter ini dimana ketika bersedih semuanya mencari jalan untuk mengatasi kesedihan itu, baik dengan rutinitas kesibukan maupun mencari bantuan profesional. Namun bukan itu saja yang akan coba kita telusuri dan tulisan ini pun bukan untuk mereview atau menilai film ini sebagai karya seni audio-visual.             

Dalam buku On Grief and Grieving karya Elizabeth Kübler-Ross dan David Kessler (2014) disebutkan bahwa terdapat beberapa tahapan yang dialami orang-orang ketika berduka, yaitu:

            Denial (penyangkalan), rasa tidak percaya bahwa kehilangan itu telah terjadi.

            Anger (amarah), rasa marah akibat kepergian orang kita sayangi.

Bargaining (tawa-menawar), ketika penyesalan dan pengandaian muncul secara bersamaan sehingga dapat memicu amarah. 

            Depression, kesedihan mendalam sebagai akibat dari kehilangan.

Acceptance (penerimaan), menerima kehilangan sebagai bagian dari realitas kehidupan.

Meski proses umum telah disarikan ke dalam lima tahapan duka cita, namun Kessler menegaskan bahwa duka cita itu begitu dahsyat sehingga dapat memerangkap kita dalam jurang kepedihan. Karenanya, meski tahapan itu dapat disarikan secara jelas begitupula perbedaan setiap tahapannya, bukan hal yang mustahil jika tahap kedukaan itu akan maju-mundur, campur aduk, maupun stagnan (bertahan lama). Dan karenanya, setiap orang memiliki caranya masing-masing ketika berduka. Kemudian, meskipun telah sampai pada tahap penerimaan (acceptance) tidak serta merta membuat seseorang akan merasa baik-baik saja atas kehilangan itu. Begitupula ketika sudah berangsur-angsur berkurang, tidak berarti kesedihan yang ditimbulkan benar-benar berakhir karena bagaimanapun juga orang yang dicintai meninggalkan kita untuk selamanya, ‘kan? Bukan satu atau 2 tahun.

Seperti demikian yang tergambar dalam kedua tokoh The Starling. Meski dibalut komedi, kedua karakter utama tengah melalui masa grieving yang membuat mereka serasa tenggelam dalam samudra luas. Dan grieving itu benar-benar menghancurkan karena bagaimana pun juga hal ini berkaitan dengan cinta. Cinta dan duka yang berkaitan satu sama lain sebagaimana pertemuan dan perpisahan. Karenanya, kehadiran duka cita adalah senyata-nyatanya realita akibat hadirnya cinta itu sendiri. Tidak mungkin berduka jika tanpa mencintai dengan sedemikian besarnya.

Lilly menyadari kepedihan atas kepergian putrinya yang membuatnya mengalami depresi, tanpa ia sadari. Sayangnya, ketika dr. Fine berusaha memberinya refleksi mengenai kondisinya, Lilly justru bersikap denial terhadap apa yang dirasakannya dengan tetap menjalani rutinitasnya bekerja di swalayan. Padahal, belum cukup kehilangan putri kecilnya, ia juga menghadapi kepedihan lainnya ketika Jack, sang suami, memilih mengasingkan diri ke bangsal psikiatri, setelah sebelumnya mencoba mengakhiri hidupnya. Sehingga dapat dikatakan Lilly mengalami 2 kali kehilangan orang yang disayanginya meski secara fisik Jack masih hidup. Hal ini memperburuk depresinya yang mengakibatkan pekerjaannya di swalayan berantakan.

Di sisi lain, Jack tak mampu mengatasi amarah dan penyesalannya karena merasa keteledorannya menyebabkan kematian putrinya. Bargaining dan larut dalam depresi membuatnya menyerah pada kehidupan dengan meninggalkan seluruh hal yang dicintainya, baik istrinya maupun profesinya sebagai seorang guru. Parahnya lagi, Jack pun menyerah akan seluruh rangkaian pengobatan di bangsal psikiatri, mulai dari tidak minum obat, mengabaikan terapisnya juga apapun bentuk dukungan Lilly. Namun, pengabaiannya terhadap Lilly bukan tanpa alasan. Jack menganggap Lilly tidak bersedih sebagaimana dirinya, terutama ketika mengetahui Lilly sudah lebih dulu melanjutkan hidupnya dan menjual seluruh barang-barang Katie. Mengenai hal ini, tentunya Jack terlalu egois karena bagaimana pun juga Lilly adalah ibu yang melahirkan putrinya sehingga mustahil bila Lilly tidak menderita. Selain itu, setiap orang punya cara masing-masing ketika berduka, termasuk Lilly yang cenderung denial dan menyimpannya melalui topeng sikap dan ekspresi yang diperlihatkannya.

https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm2642539777/
https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm2642539777/

https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm2525099265/
https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm2525099265/

Sedemikian hebatnya grieving membuat kesedihan dan kehampaan masih tetap membelenggu meski telah memasuki tahap acceptance. Dalam buku Finding Meaning: The Sixth Stage of Grief karya David Kessler (2019), disebutkan bahwa ada sebuah tahapan setelah acceptance yang dapat menjadi penyembuh, yakni kebermaknaan. Tentunya"penyembuh" di sini sedikit berlebihan ya, karena kenyataannya kesedihan tetap ada bersamaan dengan kepergian orang yang disayangi. Tetapi setidaknya, kebermaknaan yang membuat kita dapat melanjutkan hidup dengan kepedihan itu.

Apakah makna di sini berkaitan dengan alasan mengapa seseorang meninggal sebagaimana yang dilakukan Jack? Atau mencari hikmah di balik kematian seseorang? Tentu bukan itu maksudnya, karena jika demikian hanya memaksa seseorang untuk mencari jawaban yang tak pernah ada jawabannya—mempertanyakan takdir/keputusan Tuhan. Dan hal ini justru memperburuk kondisi depresi orang yang tengah berduka. Bentuk kebermaknaan ini butuh proses yang tidak sekejap mata, dapat berbeda-beda karena hal ini bersifat personal, dan mengandung keterhubungan yang mana setiap orang berbeda satu sama lainnya.

Kessler pun menekankan bahwa makna juga bukan berarti sebuah kehilangan adalah “ujian” atau apapun penyebutannya. Kehilangan adalah kehilangan, suatu keniscayaan dalam kehidupan, peristiwa yang mustahil tidak terjadi. Pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan entah apapun caranya. Dan ketika mengalaminya, kesedihan dan kepedihan datang dan meluap melalui air mata tangisan, jerit amarah, hingga lemas tak berdaya yang merupakan sesuatu yang wajar dan sangat wajar pula  jika memperoleh bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater.

Perjalanan Lilly dan Jack dalam meraih kebermaknaan dalam grieving tidak mudah. Bagi Lilly, Jack adalah bagian dari hidupnya. Dalam keadaan denial dari depresi, Lilly tetap berusaha menjalani hidupnya termasuk berusaha mengembalikan Jack pada keadaan sediakala sebelum terjadi big lost. Namun, usahanya ini justru berujung pada hubungan yang toksik karena Lilly berusaha merubah orang lain, bukan dirinya sedangkan kebutuhan Lilly sesungguhnya adalah dukungan orang terdekat yang dapat saling menguatkan sehingga dapat melalui grieving. Akan tetapi karena ia mengabaikan kondisinya sendiri, ia tidak mampu mengomunikasikannya dengan Jack. Sementara Jack terlalu tenggelam dengan kondisi depresinya sehingga tidak mampu memahami seberapa besar kesedihan istrinya dan hanya ingin mengindarinya. Baginya dukungan Lilly hanyalah upaya pemaksaan sehingga menyebabkan konflik. Hal ini tampak sangat akrab di kehidupan nyata, bukan?

https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm2206332161/
https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm2206332161/

https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm1592979969/
https://www.imdb.com/title/tt5164438/mediaviewer/rm1592979969/

Kebermaknaan adalah cara untuk dapat mengenang orang yang telah pergi dengan kasih, bukan dengan kepedihan. Hal ini dapat berupa menyadari nilai kehidupan, tindakan yang membawa perubahan besar, atau hanya sekedar mengingat momen berharga. Kessler juga menjelaskan bahwa kangen juga bisa merupakan bentuk kebermaknaan. 

Kebermaknaan bisa saja muncul setelah proses menjalani rutinitas kehidupan yang mungkin saja sederhana dan terkesan membosankan. Sebagaimana tokoh Lilly yang menemukan kebermaknaan melalui kesialanannya bertemu burung jalak ketika sedang berkebun. Meski di awal ia membenci rutinitas tersebut karena hanya akan terus-menerus terluka akibat ulah jalak. Namun, entah kenapa hanya aktivitas itulah yang bisa membuatnya menjadi lebih manusiawi yang bisa merasakan sakit, jengkel, kecewa, sekaligus tenang dan bahagia. 

Kebermaknaan muncul ketika ia berusaha menolong jalak yang terkena lemparan batu darinya. Ia mengingat bagaimana jalak tersebut berusaha melindungi anak-anaknya yang masih kecil dalam sarang di pohon. Baginya, menolong jalak itu sama dengan menolong anak-anak jalak tersebut. Hal ini membuatnya menyadari banyak hal, termasuk untuk belajar melindungi dan menyayangi dirinya sendiri. Sementara itu, Jack pun menemukan kebermaknaannya justru ketika ia merasakan kebencian akan sifat istrinya yang mampu menjalani hidup di tengah badai kehidupan. Kebencian yang justru menyadari keinginan terbesarnya sendiri, yakni hidup dan berjuang bersama Lilly karena hal itulah yang membuatnya dapat merasakan banyak hal: sedih, senang, cinta.   

Kehilangan dalam hidup adalah suatu kepastian yang mustahil untuk dihindari. Grieving, sebagaimana kebahagiaan akan tetap hadir sebagai warna dalam kehidupan. Kehilangan sangat menghacurkan hati dan membuat segalanya tidak akan pernah sama lagi. Oleh karena itu, kehilangan tidak sesederhana saran untuk segera mengikhlaskan atau pun move on. Ikhlas adalah sebuah proses dan proses ini tidak terpatok waktu sehingga tidak bisa dikatakan, “sepertinya ini sudah saatnya bagimu untuk melupakan…”

Ketika diri sendiri ataupun seseorang di sekitar kita mengalami kehilangan yang menyebabkan ia begitu berduka, bukankah lebih baik memberinya ruang untuk memproses semuanya hingga meraih kebermaknaannya?  

Well, meskipun film ini mendapat review negatif dari Rotten Tomatoes, bahkan mendapat julukan "Burying its talented cast and worthy themes under mounds of heavy-handed melodrama, The Starling is a turkey" karena temanya yang cukup berat, menurut saya film ini dapat menjadi refleksi bagi salah satu titik dalam perjalanan hidup kita, yakni grieving.   

“The reality is that you will grieve forever. You will not ‘get over’ the loss of a loved one; you will learn to live with it. 

You will heal and you will rebuild yourself around the loss you have suffered. 

You will be whole again but you will never be the same. 

Nor should you be the same nor would you want to.” —Elizabeth  Kübler-Ross dan David Kessler

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun