Mohon tunggu...
Kucril
Kucril Mohon Tunggu... -

Proyek penulisan fiksi mini kolaboratif. Silakan masuk melalui tautan di bawah untuk membaca kisah lain yang telah kami unggah. Salam. . . https://kumpulanceritakecil.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Saran

19 November 2018   14:56 Diperbarui: 19 November 2018   15:17 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam hidup, tak semua saran harus dituruti. Mesti bisa memilah dan menimbang masak-masak sampai akhirnya memilih yang dirasa patut dan cocok.

Demikian setidaknya yang dikatakan Asep kepada Darmanto. Sebagai saran untuk seorang teman yang menyimpan hasrat berbisnis.

Asep memulai usaha bubur ayam tak lama usai lulus dari sekolah menengah atas di Cirebon. Berbekal sejumlah uang hasil penjualan tiga ekor kambing ayahnya, ia berkirab ke Jakarta.

Tiga perempat uang itu dibelikannya sebuah gerobak beserta perkakas masak. Sisanya dihabiskan untuk membayar sewa sepetak kamar. Remah-remahnya kemudian digunakan untuk rokok dan makan --tentu seadanya.

Beberapa hari awal di ibu kota dihabiskan Asep hanya di hunian petaknya, bergumul dengan bumbu dan bahan makanan: memasak dan menguji coba (beberapa kali meminjam lidah tetangga dengan dalih niat mulia berbagi makanan).

Dan setelah mendapat respons yang dianggap cukup baik lewat pujian yang terkadang membuat hatinya meletup-letup girang, ia memberanikan diri untuk mulai berdagang.

Tak disangka, sepekan kurang memajang gerobaknya di sudut pertigaan, pelanggan mulai berdatangan. Masuk pekan kedua, mereka sudah rela mengantre. Setelah sebulan, ia mendapat konsumen tetap yang hampir saban pagi menyantap bubur ayamnya.

Lalu pada bulan sepuluh, uang setara tiga ekor kambing itu sudah didapatnya. Asep pun semringah.

Dalam satu kesempatan berkunjung ke kampung, ia bercerita soal usahanya yang melaju pesat kepada kedua orang tua dan keluarga besarnya. Disertai kebanggaan yang terselip di dada.

Mereka membalas dengan memuji usaha kerasnya, menjuluki Asep sebagai calon saudagar besar.

Pada sebuah perpisahan yang haru, pamannya lantas menitip saran agar sang kemenakan terus giat mengembangkan usahanya. Jikalau memungkinkan, kata sang paman, berpindahlah dari gerobak di sisi jalan ke sebuah warung permanen.

"Biar pelanggan nyaman," kata pamannya.

"Harga naik Rp2.000-3.000 tak akan jadi masalah."

Dua bulan setelahnya, Asep menuruti saran tersebut. Dengan senyum yang tak kalah benderang dengan sinar mentari pagi itu, ia memasang sebuah pengumuman di dahan pohon yang biasa memayungi gerobak bubur ayamnya.

"PINDAH KE WARUNG U-27"

Namun untung rupanya tak dapat diraih. Hari berganti hari, pekan berganti pekan, lalu bulan bersalin bulan, pelanggannya malah hilang seorang demi seorang.

Ia lantas mengadu kepada pamannya yang semula menyetor saran .

"Kembali lah ke tempat kau semula berdagang," tukas pamannya.

"Tapi sudah terisi pedagang lain."

Demikian perbincangan kala itu berakhir tanpa solusi. Membuat Asep mencari arahan baru, dari Bapaknya.

"Kau tambahkan porsi ayam di tiap mangkoknya," tuturnya.

Anjuran itu dituruti Asep selama tiga pekan, tapi mujur belum jua didapat. Pelanggan bahkan bertambah sepi. Hingga pada pekan keempat, Bagong yang dulu berdagang es serut di sebelah gerobak Asep bersuara.

"Kau berdagang bubur ayam atau ayam berbubur?"

"Tentu bubur ayam, goblok!" Asep menjawab ketus.

"Kalau begitu, kau kurangi ayamnya!"

Berhari-hari Asep memikirkan masukan rekannya --yang berseberangan dengan saran Bapaknya. Sampai ia kemudian menyerah dan mengurangi porsi ayam di setiap mangkok bubur. Hanya saja, seperti yang sudah-sudah, pelanggan masih juga urung datang.

Beberapa bulan setelahnya, seiring rampungnya masa sewa warung, ia memutuskan kembali ke kampung. Modal telah pula tandas. Tersisa beberapa rupiah, hasil penjualan gerobak.

Kini, ia hanya menghabiskan waktu duduk di pekarangan rumah dengan muka yang lebih pahit dari kopi di hadapannya. Sesekali, teman masa sekolahnya berkunjung untuk bertukar cerita.

Termasuk Darmanto, yang datang dengan segudang pertanyaan tentang kiat sukses berdagang pada petang itu. Yang dijawab Asep dengan dengusan panjang dan berat.

"Tak semua saran harus kau turuti," katanya.

Darmanto diam, menunggu saran lanjutan. Tapi Asep malah membuang pandang ke arah langit yang memerah di kejauhan. Menyimak burung-burung yang seolah berlomba pulang ke sarang.

Sejurus kemudian, sayup-sayup suara azan berkumandang.

Pandang Asep masih tetap panjang.

Darmanto masih juga diam. Ia masih setia menunggu saran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun