Memang rasa telah beranjak berjingkat, pergi tanpa selamat jalan, dan lenyap ke balik tikungan. Aku harus menulis beritaku, mengubur kemarin milikmu membalik kelambu. Entah apa terjadi di rimbaku dan duniamu, tak tahu mengapa itu. Tapi ketika simpangmu usai, janganlah menangis terisak; Karena bumi telah menepati waktuku merenung-menyendiri, pergi mencari jalan melandai berkelokan di pekatnya hutan pinus serta melenggang di setapak rimbunan cemara. Karena dulu waktu telah menemukan kita, tapi bersembunyi kau berpaling ke arah debu. Lalu mengalun masa, dimana ada kata. Dan maaf jika hanya lara.Â
Ketika kini kau tertidur panjang tak berharap siuman: karena mimpimu menepi, dan jalanmu memisah ke lain hari. Kunci untuk membuka pintu pagarku pun telah hanyut sejalan banjir yang kelam dan runtuhnya jembatan. Mungkin itu tergariskan, seperti senja yang selalu menutup siang menyembunyikan terang. Dan kau akhirnya tahu mengapa malam bercahya rembulan memilihmu untuk memandangi pesonanya; Karena memang waktu untuk itu datang menggebu, hingga ketegaran biduk karam penantang jeram yang kita jamah bersama dalam masa kita bersua, akan beralih sejarah: ziarah pada zaman antah berantah.Â
Dan tak seharusnya ada sesak dan sesal, karena tari-tarian yang memusingkan memang mengacaukan daur hidup tuk sementara. Dimana kau, aku, serta buih angin datang silih berganti. Meski bila berbeda raga dan hati, lalu kau pun akan menemukanku di lain diri.
/2010-2013
Sebelumnya tertayang pada situseni.com, baru disunting untuk mengubah sedikit kata-kata yang serasa tak tergantikan...