The Iron Man (4): Bunga Abadi
Mahluk yang tengah duduk menggerundel sambil mengusap-usap kepala botaknya itu se.., apa ya, satu (?) Rakshasah dalam makna harfiah. Tipikal rombongan anak buah Bagadata yang status sosialnya rendah. Nyaris bugil dan hanya berlilit kain di bawah pinggang yang bedah-bedah. Sizenya sekira enam kali manusia lumrah. Jelek, dekil, dan baunya warbyasah. Ah.
"Jagad dewa bathara, rupanya angger Gatotkaca, to. Bikin kaget aja," Mahapatih Sakuni menegur sapa.
Mahluk mengerikan itu menoleh, bola matanya yang sebesar buah kelapa gading tanpa sabut bersaput warna merah, berkilau-kilau memantulkan cahaya obor. Korneanya biru mirip orang Benua Barat.
"Lho, ini malah Paman Sengkuni. Ngapain di sini? Blusukan ya? Mau nyalon?" suara mahluk gigantik itu rendah tapi belum masuk nada bass. Kira-kira berada di rentang nada A2 hingga F4.
"Husyh.., waton. Justru aku yang kudu nanya kok angger Purubaya yang jam terbangnya melebihi para dewa bisa nyungsep begini?"
"Ndak dong saya, Man.. sistem navigasi lagi ndak oke, tadi tiba-tiba turbulensi t'rus spiral diving. Ya gitu deh..."
"Lha untung yang jatuh setinggi itu sampean, Den. Kalau mahluk lain, rontok itu minimal," hukum acaranya, kalau kaum ksatria macam Mahapatih dan Raden Purubaya sedang dialog, gedibal macam aku ini harusnya diam. Tapi ini jauh sekali dari istana, yurisdiksi protokoler sudah ketinggal jauh di belakang. Lagipula, biar cuma sahaya, aku pengen ngeksis juga.
"Oh, kamu, Joe. Sehat?"
"Sehat, Den, iya, tapi capek. Raden seh.., eh.."