Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Boni Hargens: Pengamat atau Penafsir Politik?

20 September 2013   11:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:38 4577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13796514571237073586

[caption id="attachment_280115" align="aligncenter" width="420" caption="Tampak Boni Hargens sedang menyampaikan pemikirannya. Tampak juga pengamat politik UI, Arbi Sanit. Sumber: http://foto.okezone.com/view/11306/ada-muatan-politik-pada-penolakan-miss-world-2013"][/caption] Pro kontra penyelenggaraan Miss World di Bali (yang masih berlangsung sampai akhir bulan ini) masih saja bermunculan. Terakhir diberitakan bahwa FPI telah mendekat ke Bali dan berusaha untuk memasuki pulau para dewa itu.

Di Jakarta kemarin (19 September 2013), bertempat di salah satu hotel di Cikini Raya (Jakarta Pusat), diadakan sebuah diskusi bertajuk ” Penolakan terhadap Miss World, Siapakah dibelakang Penolakan Miss World?“. Diskusi itu menghadirkan empat nara sumber, yakni Arbi Sanit (Pengamat politik senior dari UI), HM Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia), Boni Gargens (Direktur LPI dan dosen politik UI), dan Ferdy Hasiman (Peneliti dari LPI).

Kecuali HM Ismail Yusanto, para pembicara yang lain berpendapat bahwa aksi protes yang belakangan ini marak melawan penyelenggaraan kontes kecantikan sejagat itu tidak murni berdasarkan motif menjaga kesucian moralitas dan iman umat. Malah ada pembicara yang berpendapat, bahwa di balik aksi tersebut adalah para lawan politik Hary Tanoesoedibjo (HT), yang tidak ingin pemilik MNC Group itu sukses mendulang popularitas dan meraih kekuasaan di Republik ini. Meskipun tidak memiliki data di balik pendapatnya – sebagaimana diakuinya sendiri – bahwa aksi protes massa tersebut digerakkan oleh para lawan politik HT, Boni Hargens berani berpendapat, bahwa para lawan politiklah penggerakknya.

Mengingat para pembicara ini adalah kaum cerdik-pandai (kadang-kadang juga kurang meyakinkan terutama ketika berbicara dalam diskusi-diskusi di televisi), pertanyaan kaum awam adalah apakah dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual jika pandangan tertentu tidak didukung oleh data-data yang akurat?

Dua Kesesatan Berpikir

Ada dua kesalahan logis (fallacy of thinking) yang sedang dipertontonkan oleh para pembicara, terutama saudara Boni Hargens. Pertama, tampaknya kesimpulan bahwa yang ada di belakang aksi protes massa adalah lawan politik HT, karena dia menarik kesimpulan dari 2 fakta yang belum tentu berhubungan. Fakta pertama adalah adanya aksi demonstrasi dan fakta kedua adalah penyelenggara kontes kecantikan sejagat, dalam hal ini adalah MNC Group. Dari segi hukum berpikir, kesimpulan yang ditarik tidak terdapat di dalam premis-premisnya. Dari segi data pun tidak ada. Kesalahan logis yang dilakukan Saudara Boni bukan hanya menarik kesimpulan yang terlalu luas atau yang tidak didukung oleh premis-premisnya (juga oleh fakta), tetapi juga melakukan kesesatan berpikir yang disebut non causa pro causa. Penjelasan sederhananya adalah ”menarik kesimpulan sebagai sebagai sebab (causa) dari sesuatu yang bukan sebab (non causa).

Kedua, jika kemudian pemikiran atau pendapat saudara Boni dan pengamat lainnya itu dimuat di koran (hari ini, 20 September 2013 menjadi berita utama Koran Sindo), menurut saya, pertimbangan redaksi semata-mata karena ketokohan atau kepopuleran nara sumber. Jika asumsi saya ini benar, maka saudara Boni dan pengamat lainnya itu melakukan kekeliruan berpikir yang disebut argumentum ad auctoritatem (argument from authority). Hanya saja, otoritas yang dimaksu dalam kesesatan berpikir ini adalah otoritas yang salah atau yang bukan ahlinya sebegitu rupa sehingga dirinya dianggap sebagai penjustifikasi kebenaran. Selain itu, karena pendapat mereka sudah dipublikasikan, maka beban pembuktian secara sengaja diletakkan di pundak para pendengar. Seolah-oleh saudara Boni dan pengamat lainnya itu mengatakan, ”Tugas kami adalah mengatakan apa yang mau kami katakan. Apakah pernyataan kami itu benar atau tidak, silakan pendengar atau pembaca membuktikannya sendiri.”

Implikasi

Mengapa saya mau mengatakan hal ini? Pertama, jika kesalahan ini dibiarkan, efeknya adalah pembodohan masyarakat. Mengatakan sesuatu tanpa bukti dan memberikan beban pembuktian (burden of proof) pada pendengar atau pembaca adalah kecelakaan paling serius yang dilakukan oleh cendekiawan, kecuali kalau orang itu memang cendekiawan asal-asalan.

Kedua, jenis kesalahan atau kesesatan berpikir yang tampak ke permukaan ini sebenarnya adalah kesalahan berpikir sangat elementer yang seharusnya sudah sangat diminimalisir oleh orang-orang dengan pendidikan pasca sarjana. Bukan untuk sombong, para mahasiswa saya di tingkat Sarjana yang mempelajari mata kuliah Logika (critical thinking) pun akan dengan mudah mendeteksi kesalahan berpikir semacam ini karena ”saking” elementernya.

Ketiga, dari sudut pandang etika, mengemukakan pendapat di muka umum terkait dengan imperatif tanggung jawab untuk mengatakan ”yang benar”. Seorang cendekiawan adalah ”public educator” (jika ia menulis atau berpendapat) yang kesetiaannya pada kebenaran (fidelity to truth atau truth telling) seharusnya telah menjadi busana profesionalitasnya.

Di sini lalu saya terdiam dan bertanya, ”Jangan-jangan para pengamat politik kita tidak lebih dari penafsir politik?”[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun