Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Musafir

14 Maret 2015   00:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:41 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku, si Musafir, lola tiada beribu-bapa. Sepanjang isra’, kutlah menyintas setapak, menelusur semak. Menjelajah segara, membelah rimba. Menghitung kerakal, mengukur tambalan aspal. Melintasi stepa, tundra, mil demi mil, ladang yang tak berkesudahan. Bersua sabana, menjumpai delta, bergulat dengan urat bakau di pesisir yang tiap tahun mengikis. Dan berakhir sebagai penyampai epik nan heroik, walau terkadang hanya sekedar mengutip kisah para kepik.

Pernah suatu waktu, pengembaraanku diawali pada malam tak bertabur kerlip gemintang, gelap tanpa pemandu jalan kunang-kunang, dan disertai semilir angin kering yang mencekik pertanda musim pembawa paceklik.

“Minumlah segera,” aba sebuah suara, datar tanpa rima.

Apakah telah tiba masa berbuka? Mataku meraba cahaya, mencoba menggapai seteguk yang ditawarkannya itu. Namun dalam gulita yang menyesatkan, mataku ibarat binokuler yang terhalang kabut jelaga. Tak berdaya menangkap sekilas bayangan tersamar pun, sedang tawaran amat menggelitik hati hingga bilik terpelik, mustahil rasanya tuk menampik. Mungkinkah itu anggur dalam cawan cantik?

“Sebotol absinthe dapat menghantarkanmu ke Kerajaan Bawah Tanah,” masih tak berima, suara itu kembali dengan gema yang mengingatkanku tentang tegaknya bulu roma.

Sesungguhnya kutak pernah merapatkan bibirku ke mulut botol itu. Bagai mimpi, getah berwarna cyan dengan bola-bola asap berkilauan tembus pandang, menggeranyang lidah hingga langit-langitnya lalu menggigit dinding-dinding kerongkongan. Kuyakin cairan itu telah menggorok leher, tinggalkan kaldera-kaldera yang darinya darah dan nanah, berebut meluber.

Dalam sekejap, tanpa sempat mengejang apalagi meraung dan meronta, mungkin pula masih di bawah pesona absinthe yang menyihir, kutlah tiba di mulut gerbang Kerajaan Bawah Tanah yang remang, lengang tak berkawal soldadu dan pasukan. Hadirku tak dielu-elu laiknya anjangsana seorang tamu.

“Selamat datang, wahai Musafir,” hanya suara itu saja yang menyapa, tetap datar, bertahan tanpa rima.

Meski gelap tiada akhir dan kabut jelaga belum pun sirna, namun tah bagaimana mataku nyata mampu telanjangi ratusan stalaktit panjang serupa pedang sementara yang lebih pendek seperti belati tersembunyi dalam lipatan kain.

“Dingin…,” aku berkata pelan, sesaat telapak tangan menyentuh ujung runcing yang kejam menyakiti. Ya, sangat pelan, setengah berbisik kurasa. Karena di Kerajaan Bawah Tanah, kauharus berbisik atau naga berwajah Lynx, naga bersayap kelelawar, ular-ular terbang, akan galau terusik dan perjalanan ini mustahil bersambung.

“Dapatkah kaujauhkan tanganmu dari segala peranti di Kerajaan Bawah Tanah ini?” tahu-tahu sesosok naga berjambul elang menegurku dengan gusar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun