Mohon tunggu...
Ivan Sulistiana
Ivan Sulistiana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tulis Ajar ~ Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta ~ Pecinta Buku ~ Perindu Alam ~ Indonesia ~ "Pembelajar Sepanjang Nafas Menghembus Ajar"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jeritan Si Ibu : "Kami Bukan Monyet"

29 April 2014   09:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1398712104489304967

Kemarin, sempat saya berdiskusi dengan teman karib yang baru saya kenal di Bandung, sebut saja "Daun". Diskusi hangat itu dimulai dengan perkenalan tentang siapa "kamu" dan siapa "saya". Kami pun berlanjut membahas tentang kegiatan yang biasa kami lakukan.

Mengingat saat ini kami sama-sama berstatus mahasiswa sosiologi, yang umumnya mengkaji tentang seluk-beluk masyarakat dari A sampai Z, maka "masyarakat" menjadi topik diskusi malam itu. Ia pun bertanya pada saya, "Pernah turun lapangan untuk ambil data?". Saya jawab, "Ya, pernah. Beberapa kali saya ditugaskan dosen turun lapangan mengkaji langsung fenomena sosial di lapangan, baik perihal kemiskinan, pendidikan, agama, ataupun budaya masyarakat". Daun bertanya lagi, "ada pengalaman yang paling berkesan bagimu?". Jawab saya, "Ada, saya pernah belusukan ke pemukiman pemulung dan meneliti tentang kemiskinan. Ternyata, meski para pemulung itu berpenghasilan rendah, tetapi semangat dan motivasi mereka sangat besar untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat paling tinggi". Daun berkata, "Wah itu pengalaman yang unik, ternyata stigma orang miskin acuh terhadap pendidikan tidak sepenuhnya benar".

Selanjutnya giliran saya balik bertanya, "Bagaimana pengalamanmu di lapangan?, punya pengalaman unik?". Daun berkata, "Ya, tentu punya, bahkan bukan hanya unik, tetapi juga menyentuh hati". Saya pun penasaran, "Bisa cerita pengalamanmu itu, barang sedikit saja?". Di mulailah cerita akan pengalamannya, "Semester lalu saya turun lapangan untuk penelitian masyarakat kelas bawah, berpenghasilan rendah, yang hidup miskin dengan berdagang seadanya. Saya mulai mengamati perilaku, kehidupan, dan pola hubungan antar masyarakat di sana, di suatu desa masih daerah Bandung. Setelah cukup data pengamatan hari itu, maka saya pun meminta salah satu warga di sana untuk wawancara. Saya mewawancarai salah seorang ibu separuh baya. Saya mulai bertanya tentang kehidupan beliau, latar belakang keluarga beliau, sumber ekonomi, dan caranya bertahan hidup di tengah kemiskinan. Tak sadar rasa empati saya begitu dalam hingga sedihlah hati saat itu mendengar kerasnya kehidupan si ibu, kurang mendapat bantuan kesejahteraan dari pemerintah dalam aspek ekonomi, pendidikan, ataupun kesehatan". Saya sontak bertanya pada Daun, "empatikah pengalaman unikmu itu?". Daun berkata, "bukan hanya masalah empati, tapi jawaban si ibu yang menggetarkan hatiku itu".

Daun pun melanjutkan ceritanya itu, "tahu kah kau apa yang si ibu katakan ketika saya tanya, 'apa saja yang paling ibu butuhkan saat ini?', dan si ibu pun menjawab 'sejujurnya ibu gak butuh pertanyaan-pertanyaan adik, cara neliti-neliti adik itu, ibu ini bukan monyet yang harus diteliti-teliti, diamati macam-macam. Sadar gak nak, ibu juga manusia, yang ibu butuh kesejahteraan dan bantuan nyata, bukan hanya janji atau penelitian-penelitian yang tak bisa membawa kemajuan". Daun pun berkata, "di sinilah bung, si ibu membuka mata hati ini. Walaupun kita memang dituntut untuk bisa menjadi sosiolog yang ahli dalam bidang penelitan masyarakat, tetapi kita juga harus bisa berkontribusi memberikan pertolongan real, berkorban demi masyarakat dengan aksi nyata". Sungguhpun hati saya di sini saya merasa haru, bagaimana bila saya menjadi masyarakat itu, mungkin saya akan berpikir hal yang sama dengan si ibu tadi. Saya akhirnya sadar bahwa masyarakat bukan hanya sekedar objek penelitian, tetapi ia adalah saudara kita, se-bangsa se-tanah air, sesama manusia. Mereka bukan "monyet" yang hanya harus diteliti sedimikian rupa. Mereka juga manusia, saudara kita. Kita seharusnya tidak hanya mampu meneliti tentang masyarakat saja, tetapi bagaimana kita bisa berkontribusi secara nyata bagi kesejahteraan mereka. Terhentaklah saya dari diskusi ringan bersama teman saya, si daun.

Di sini perlulah dicermati bahwa mahasiswa di berbagai bidang kehidupan baik sosial maupun eksakta, khususnya mahasiswa sosiologi boleh saja berprestasi atau berteori setinggi-tingginya, tetapi sadarkah kita, kita adalah mahasiswa yang merupakan agen perubahan (agent of change) yang dituntut membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Kita harus mengabdi pada masyarakat, berkontribusi nyata. Jika kita ingat, hal ini tidaklah terlepas dari "tri dharma" perguruan tinggi : 1. Pendidikan dan pengajaran; 2. Penelitian dan pengembangan; dan 3. Pengabdian kepada masyarakat. Poin satu dan kedua memang penting dalam bidang keilmuan, teoritis, atau akademis. Tetapi poin yang ketiga "pengabdian pada masyarakat" jauh lebih penting lagi. Bahkan menjadi yang paling utama.

Ketika masih kuliah sampai sarjana, fenomena umum yang terjadi kebanyakan mahasiswa berbondong-bondong mencari kerja memperebutkan lowongan kosong untuk mencari uang. Tapi sadarkah kita, kebanyakan setelah terbius kenikmatan uang, kita malah malas lagi berkuliah, sibuk dan terkuraslah waktu untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk mengabdi pada masyarakat, bahkan terlintas di pikiran pun tidak. Kalau sudah demikian esensi mahasiswa sebagai agent of change dengan mengabdi pada masyarakat bukan lagi menjadi prioritas. Mahasiswa pun menjadi acuh terhadap kesejahteraan masyarakat. Dan hal ini sangat fatal bila terjadi pada mahasiswa sosiologi, yang seharusnya dapat memahami, mengeksplorasi, dan berkontribusi bagi kehidupan masyarakat secara maksimal. Pada akhirnya, seharusnya mahasiswa sosiologi tidaklah hanya mampu memahami dan meneliti masyarakat saja, atau selanjutnya bekerja di lembaga penelitian, meneliti, dan mendapatkan gaji. Tetapi secara mendasar, para sosiolog dituntut pula memberikan tindakan nyata, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengabdi untuk masyarakat.

"Retorika teoritis tentang masyarakat memang penting. Tetapi pengabdian demi kesejahteraan masyarakat jauh lebih penting".

*****

Alabyad,

Ciputat, 29 April 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun