Menjelang akhir pertengahan, tepatnya pada bulan sang Proklamator lahir
Aku bergegas , untuk sebuah tugas
Merapal waktu dari udara hingga jalan jalan lepas
Kau mengajakku bercumbu untuk tujuh hari dalam semerbak peluk hangat tak bersyair
Tak heran, aku ketika malam
Memanjakan mata yang disuguhkan secara santun oleh pedagang kaki lima
Pramusaji-pramusaji cafe, hingga senyum rayu dari pada selir selir istana bintang tiga
Dan saat itu aku dan malam mulai bersahabat tanpa berdebat
Kau membuatku kagum akan generasimu. Mereka seolah menjadikan kota sebagai ibu dan ibu sebagai jantung kota bermahkota. Jelas bagiku untuk berdencak mesra akan seluruh jiwa. Menjadikan permadani kehidupan terhadap keadilan, kedamaian, dan kesucian darahmu.
Tanah yang terhampar indah terwarisi mempesona
Pada kilauan tutur kata, kemudian tersaji  serupa dupa mewangi
Yang membuat, singgahsana alam raya menjelma surga
Lalu kau bentangkan  sayap sayap Rahwana sepanjang khatulistiwa
"Selamat datang dan selamat malam," ucapmu seiring alunan  dan nyanyian bergema hingga sudut ruangan
Beristirahatlah tuan, nikmati dan rebahlah lelahmu, lanjutnya
Akan kau temui, beribu kisah pada belantara sejarah serta budaya, Â katanya dengan nada melebihkan namun tak ingkar
"Terima kasih dan aku masih disini denganmu," jawabku
Jangan kau pergi dari malam. Aku lihat jendela dari kamar tingkat dua belas lampu lampu kecil mengelilingi taman tamanmu.
Aku merebah lelah, menulis  dari sini di tanah para Pejuang
Ttd, Muhammad Irfan Fauzi
28.06.2019