Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Tumbal

22 Mei 2024   17:15 Diperbarui: 22 Mei 2024   17:16 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh renograpic dari pexel.com 

Tumbal

Bagi Wendi, kata menyeramkan hanya terjadi sekali seumur hidupnya. Saat itu, dia sedang berteduh di sebuah warung kopi di kampung sebelah ketika baru saja pulang mengumpulkan data untuk keperluan KKN. Wendi berteduh karena kabut yang turun, biasanya kabut turun bersamaan dengan gerimis. Namun, kali ini kabut datang sendiri, tebal dan dingin, membawa keheningan yang tidak wajar.

Wendi merasa ada sesuatu yang mengintai dari dalam kegelapan. Suara jangkrik yang biasanya menjadi sahabat malam, kini hilang entah kemana, meninggalkan keheningan yang mencengkeram. Sesekali terdengar suara dedaunan bergesekan, namun tak ada angin yang bertiup.

Pemilik warung, seorang pria tua dengan wajah penuh keriput, hanya berdiri di sudut dengan tatapan kosong. Wendi mencoba berbicara, tetapi kata-katanya seakan terserap oleh kabut tebal yang mengelilingi mereka. Warung kopi yang seharusnya ramai dengan orang-orang yang sedang berteduh berubah menjadi tempat yang sepi dan sunyi, seperti dunia yang terhenti.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar warung. Langkah kaki itu berat, berderak seperti kayu lapuk. Jantung Wendi berdetak kencang, udara di sekitarnya semakin mencekam. Kabut perlahan merayap masuk ke dalam warung melalui pintu dan jendela, menyelimuti lantai kemudian perlahan-lahan naik, kabut itu nampaknya hidup dan bernafas.


Wendi merasa ada sepasang mata yang mengawasinya dari balik kabut, mata yang tidak tampak namun terasa begitu dekat. Dia ingin berlari, namun kakinya terasa berat, ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Dalam keheningan itu, Wendi mendengar suara berbisik, suara yang memanggil namanya dengan nada yang begitu rendah, dalam, dan mengerikan.

Suara itu terus menggaung di telinganya, semakin lama semakin keras. Wendi berusaha menutup telinganya, namun bisikan itu terus merasuki pikirannya, membawa rasa takut di dalam jiwa. Di saat itu, Wendi tahu, dia tidak sendiri di dalam warung itu. Ada sesuatu, sesuatu yang lebih tua dari waktu, sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.

***

"Selamat ya, Wendi..." Suara menyebalkan itu masih saja terngiang di telinganya, bagi Wendi kata selamat setelah lulus kuliah adalah sebuah kata yang sangat munafik, bekerja saja belum, lalu apa fungsi kata itu?

Wendi si kepala batu itu tidak bertahan lama di desa, dua hari setelah lulus dari universitas ternama di kota, Wendi pulang, itu pun karena permintaan ibunya, keesokan harinya, dia sudah berkemas-kemas, mau merantau katanya, Ibu Wendi hanya menganggukkan kepala dan memberikan restu, bahkan dia sendiri pun tidak tahu kemana tujuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun