[caption caption="Panggil Aku Kartini Saja Karangan Pramoedya Ananta Toer"][/caption]
Di zaman sebelum kemerdekaan, literasi adalah alat yang menggerakkan alur sejarah. Di zaman ini, tulisan telah menjelma menjadi bara api perlawanan terhadap rezim kapital. Di zaman ini pula, Kartini menggugat ketidakberpihakan zaman terhadap perempuan pribumi. Ia menghendaki sebuah persamaan antar manusia, meski sejarah mencatat bahwa dirinya sendiri termasuk keturunan bangsawan terkemuka di Indonesia.Â
Dia adalah perempuan yang penanya jauh melampaui batasan-batasan waktu. Tubuhnya memang dikrangkeng dalam tembok tebal rumahnya sendiri, segala aktivitasnya dibatasi oleh feodalisme Jawa yang mengekang wanita pribumi. Namun melalui tulisan-tulisan nya yang diterbitkan dalam jurnal berbahasa Belanda, Kartini justru membuat orang-orang Belanda mengubah semua pandangan dan stereotype atas perempuan pribumi.Â
Ia tidak memiliki massa, apalagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan hamba seperti Kartini. Meski demikian, nun jauh terkubur didalam hatinya, Kartini miliki kepekaan dan keprihatinan. Ia merefresentasikan setiap perasaan getir yang menyusup melalui bilik kecil di benaknya lewat tulisan-tulisan yang kemudian menggugah semua tatanan.Â
***
Setidaknya itulah kesan saya seusai membaca buku bagus berjudul Panggil Aku Kartini Saja karya salah seorang sastrawan besar bangsa, Pramoedya Ananta Toer terbitan Lentera Dipantara tahun 2013 lalu. Buku ini kembali mengajak kita kepada sosok Kartini. Perempuan yang tidak mau tunduk dan membebek pada zaman. Ia tidak ingin larut dalam hiruk pikuk perempuan pribumi yang dianggap hina dan terbelakang.
Tokoh srikandi bangsa yang satu ini selalu membuat saya kagum. Segala sesuatu yang mengganjali batin dan pikirannya tak pernah luput dari percikan pena dalam secarik kertas. Tulisan-tulisannya pun telah lama dikonsumsi publik. Melalui karyanya, Pram kembali mengajak kita menelusuri Kartini. Namun uniknya, Pram tidak menampilkan Kartini dari sudut pandang domestik rumah seperti dia adalah gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa dan melahirkan hingga kemudian wafat.Â
Dalam biografi ini, Pram lebih banyak mengemukakan tentang pergulatan batin seorang wanita pribumi yang segala sesuatunya dibatasi. Pram dengan lihai menyajikan bagaimana Kartini melawan semuanya. Melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya selama bertahun-tahun.Â
Layaknya Habis Gelap Terbitlah Terang, buku yang dihimpun oleh Mr. J.H. Abendanon dari kumpulan surat-surat yang pernah dikirmkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa, buku setebal 304 halaman ini juga memuat banyak tulisan kartini dalam kesehariannya. Pada satu bagian saya menemukan catatan Kartini atas pertentangan hubungan kaum feodal dengan bahawahannya. Di mata Kartini, hubungan seperti ini sangat menggangu rasa kemanusiaan. Ia kemudian menulis sebuah catatan yang berbunyi:
Tentang anak-anak amtenar di dalam masyarakat dengan gagasan berkarat, bahwa seorang Raden Mas atau Raden Ajeng dan sebagainya adalah mutlak makhluk-makhluk dari susunan atas, yang berwenang, berhak, mendapatkan penghormatan ilahiah dari rakyat. Telah banyak tamsya-tamasya tentangnya kami lihat, pemandangan yang menyebabkan kami mengigil karena jengkel. Pada kesempatan-kesempatan semacamnya itu kami berdiam-diam saja, tiada dapat bicara maupun tertawa, kejengkelan dan rasa kasihan menyumbat mulut kami.
Yang membuat saya terkesan adalah sisi lain dari sosok Kartini. Pada bagian akhir, saya mendapati Kartini sebagai seorang pembatik dan ahli batik. Di sana pula saya mengetahui kehidupannya sebagai pelukis. Tak banyak yang mengetahui kehidupan Kartini sebagai pelukis, sebab ia lebih menyukai pena daripada pensil. Kartini pun tidak pernah menyebut nama-nama pelukis pribumi atau asing dalam suratnya. Bahkan pelukis besar sekelas Raden Saleh tak disebutnya. Padahal pemilik lukisan fenomenal yang menceritakan tentang penangkapan Pangeran Diponegoro ini meniggal sewaktu ia memulai surat menyuratnya dengan Estelle Zeehandelaar.Â