Mohon tunggu...
Immanuel Lubis
Immanuel Lubis Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang penulis buku, seorang pengusaha

| Author of "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" | Writer |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasib Seorang Guru

20 April 2014   23:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah sebulan ini, Agustian tidak mengajar di SD Mutiara Bakti. Anaknya yang telah menginjak kelas delapan di Sekolah Menengah Pertama, sakit keras. Seminggu lalu, dokter mendiagnosa anak tunggalnya itu terkena leukemia – atau kanker darah putih. Di dalam tubuh Mayang – nama anaknya itu, jumlah sel darah putihnya jauh lebih banyak diproduksi oleh sum-sum tulang belakang. Sehingga jumlah produksinya jauh dari orang normal, dan sudah memasuki tahap akut. Pada awalnya, Agustian dan istrinya tak menyangka anak semata wayangnya itu bisa terjangkit penyakit mematikan tersebut. Tiga bulan lalu, Mayang masih terlihat sehat bugar, sehingga suatu waktu, Mayang mengalami pendarahan hebat; dan memaksa Agustian untuk membawanya ke rumah sakit.

Agustian kini duduk menatap anaknya yang terbaring lemah dan ditopang oleh berbagai alat lifesupport.Pikirannya lagi kacau sekarang. Acara televisi tak ada yang sama sekali ia simak. Hanya lihat gambar dan suarayang terdengar juga masuk telinga kanan-keluar telinga kiri. Sebabnya, ia tengah memikirkan dua problema yang sangat urgen.

Pertama, kelangsungan hidup Mayang. Dokter memprediksikan anaknya itu tak akan bisa bertahan lama. Usianya hanya tinggal sebulan lagi di dunia. Kedua, soal tagihan rumah sakitnya. Sebetulnya untuk masalah yang kedua ini, Agustian tak perlu risau. Pihak sekolah, dimana ia mengajar, berjanji akan membantu biaya pengobatannya. Yah walaupun uang tersebut belum ia terima, hingga sekarang ini. Padahal pihak rumah sakit sudah memberitahukan soal tagihannya tiga hari yang lalu.

“Yah,”

Agustian menoleh ke belakang. Dijumpainyalah Lina, istrinya, telah berdiri di sampingnya. Istrinya itu menatapnya dengan tersenyum yang sedikit dipaksakan. Tampak matanya agak sembap.

“Gimana, Bu? Sudah ada yang beli mobilnya?” Agustian menanyakan perihal mobil Kijang tua, mobil yang istrinya beli dari penghasilannya sebagai seorang teller di sebuah bank swasta. Untuk membayarkan biaya pengobatan awalnya yang cukup tinggi, Agustian merelakan mobil tersebut dijual. Biarlah mereka tak punya alat transportasi lagi, asalkan uang tersebut benar-benar dapat menyelamatkan Mayang dari cengkeraman malaikat maut.

“Sudah, Yah. Walau tua-tua begitu, alhamdullilah, masih ada yang mau beli. Bahkan yang beli, berani menawar 300 juta.” jawab Lina.

“Lalu sudah dibayarkan uangnya?”

“Sudah. Ini ada di tas ibu, uangnya.” Lina beringsut mendekati Mayang yang masih terbaring. Dipegangnya lembut, kaki anaknya itu. “Oh yah, Yah, biaya pengobatannya juga sudah ibu bayar kok.”

Agustian mengangguk pelan, sambil memaksakan diri tersenyum.

“Oh yah, Ayah sudah makan? Kalau belum, makan saja dulu. Biar Ibu yang jaga Mayang.”

Tanpa berucap apa-apa, Agustian beranjak berdiri. “Ya udah yah, Bu, Ayah makan dulu.” Sebelum Agustian mendekati pintu ruangannya, Lina bertanya suatu hal, “Yah, jadi kapan Mayang bisa segera dioperasi?”

“Kata dokternya, kemungkinan rabu depan, Mayang sudah bisa dioperasi.”

*****

Agustan duduk termenung di bangku kantin rumah sakit. Dibiarkannyalah, semangkok bubur ayam yang sudah dipesannya. Dari tadi ia hanya menyeruput kopi pahitnya itu. Ia tak berselera untuk menikmati sarapan paginya yang cukup telat. Kombinasi nasib yang menimpanya dan bau rumah sakit yang cukup tajam, membuat hilang nafsu makannya. Dari tadi, sendok yang berisi bubur tersebut, sudah lama ia pegang untuk menunggu masuk ke dalam kerongkongannya.

Tiba-tiba saja, terbayang di pikirannya, kejadian beberapa tahun silam, tepatnya waktu ia memutuskan untuk masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Waktu itu, ayahnya terang-terangan tidak suka ia masuk fakultas tersebut. Dengan kecerdasan yang ia miliki, ayahnya berharap ia masuk Fakultas Kedokteran, atau minimal Fakultas Ekonomi. Namun ia tetap bersikukuh dengan keputusannya itu. Ia merasa dirinya terpanggil untuk ikut serta mencerdaskan generasi penerus bangsa. Apalagi ia amat suka mengajar anak-anak.

Namun kali ini, baru sekarang ia merasakan bahwa mungkin saja keputusannya untuk menjadi guru itu suatu kesalahan. Kalau saja, ia lebih memilih mengikuti saran ayahnya itu: jadi dokter atau masuk Fakultas Ekonomi. Mungkin saja, ia dan istrinya tak perlu kerepotan mencari uang untuk biaya pengobatannya. Mungkin benar kata ayahnya, jadi guru itu bukan pilihan yang bagus untuk masa depan.

Aduh, bicara apa sih aku ini? Kenapa malah jadi ngawur seperti ini?

Agustian segera meralat kembali pemikirannya tersebut. Tak ada yang salah dengan keputusannya menjadi guru. Tokh itu juga tak sia-sia. Beberapa anak didiknya banyak yang ikut andil dalam sejumlah lomba cerdas cermat ataupun olimpiade tingkat kabupaten. Anaknya, Mayang pun menjadi siswi berprestasi di sekolahnya, dan itu karena didikan dan ajarannya.

Mungkin bukan keputusannya menjadi guru yang disesalinya. Mungkin ada baiknya dia menyesali kenapa penyakit ganas tersebut bisa datang ke anaknya itu. Ya Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan seperti ini pada keluargaku? Apa salahku?

“Pak…” Pelayan salah satu kedai itu memanggilnya.

“Yah…” balas Agustian, sambil menyuapi dirinya sendiri dengan bubur ayam yang dari tadi masih tertuang di sendok itu.

“Sepertinya ada yang bapak pikirkan. Sudah hampir dua puluh menit, bapak tak kunjung memakan buburnya. Ada apa?” ucap pelayan itu. “Eh maaf, kalau saya jadi ikut campur.”

“Nggak apa-apa,” kata Agustian. “Saya lagi ada masalah. Dan itu adalah penyakit leukemia anak saya. Leukemia tingkat akut. Kata dokter yang memeriksa, harapan hidupnya kecil sekali. Dan selain itu, saya juga pusing memikirkan biayanya. Untuk bisa membayar pengobatannya itu, saya harus menjual mobil, sebagai alat transportasi keluarga saya satu-satunya.”

“Oh gitu…. Yang sabar saja yah, Pak. Perbanyak doa, siapa tahu saja Tuhan mau mendengarkan dan mengabulkan doa bapak, agar anaknya cepat sembuh.” ujar pelayan itu lagi.

“Terimakasih.”

“Sama-sama,” kata pelayan itu, yang sudah duduk di sampingnya. “Oh yah, coba bapak searching-searching di internet. Waktu itu saya pernah baca di internet, ada obat bagus nan murah untuk mengobati kanker. Kalau nggak salah, obat itu dijual di Klinik Cheng Feng. Banyak orang bisa sembuh, waktu berobat di sana.”

“Oh yah?” Agustian mulai tertarik. “Kalau boleh tahu, ada dimana klinik tersebut?

“Saya kurang tahu pastinya dimana. Tapi coba bapak cari saja di internet.”

*****

Keesokan harinya, Agustian kembali mengajar di sekolahnya, setelah satu bulan absen. Sekembalinya dia mengajar, banyak guru dan murid yang datang padanya untuk menyatakan keprihatinan mereka terhadap nasib yang menimpanya. Banyak doa yang mereka berikan untuk kesembuhan Mayang, anaknya itu. Selain itu, ia juga mendapatkan sumbangan yang cukup besar nilainya untuk biaya pengobatannya, di luar uang yang dijanjikan pihak sekolah untuk membantu keringanan biayanya.

Selesai mengajar, ia berencana untuk mampir sebentar ke warnet. Ia berkeinginan untuk mencari informasi soal Klinik Cheng Feng. Siapa tahu saja, kata-kata pelayan kedai kemarin ada benarnya.

Namun pada saat ia akan bersiap menuju warnet, ada seseorang yang memanggil-manggil namanya. Ia menoleh ke arah suara itu. Rupanya Pak Endi, guru Sains, yang selama ini suka menjelek-jelekan dirinya di depan para guru, sekaligus murid dan orangtua murid. Ditatapnya guru tersebut dengan menyimpan aura kebencian di dalam raganya.

“Eh Pak Endi,” Agustian mencoba bersikap ramah padanya, walaupun ia merasa sia-sia saja. Siapa tahu saja kan guru yang suka mengumpat dan menjilat ini malah mengeluarkan kata-kata dengan nada sindiran yang menusuk hatinya lagi.

“Katanya anak sakit yah?” tanya Endi.

“Iya.” jawabnya singkat.

“Oh yah, Pak Agus jangan berburuk sangka dulu sama saya. Saya nggak ada maksud buat menghina bapak lagi. Saya justru mau minta maaf atas segala perbuatan tak enak saya pada bapak. Sekaligus saya juga mau membantu bapak.”

“Membantu?”

“Iya, membantu,” Endi membeo.

“Oh yah, beberapa hari yang lalu, saya baru saja dapat warisan dalam jumlah yang cukup besar. Tadinya saya mau menggunakan uang tersebut untuk membeli rumah mewah di kawasan BSD. Tapi saya urungkan, karena semalam saya mendapatkan wangsit. Almarhum bapak saya yang meninggal lima bulan lalu, mendatangi saya dalam mimpi dan berpesan agar dengan uang peninggalannya itu, saya bisa menyelamatkan Pak Agus dari kesukaran ini. Dan karena ini wangsit dari almarhum bapak saya, paginya itu saya jadi termenung sendirian di kamar.

Waktu saya ceritakan mimpi tersebut ke istri saya, dia malah mengikuti saya untuk mengikuti wangsit almarhum bapak saya itu. Pamali, katanya. Ya sudah deh, saya jadi berpikir kalau mungkin uang yang saya dapatkan itu jauh lebih berdaya guna bila bapak yang menerimanya.”

“Bapak serius?” Agustian serasa tak percaya mendengar ucapannya Endi barusan.

“Iya, Pak. Lagipula saya murni ingin membantu, selain untuk menjalankan wangsit almarhum bapak saya. Saya juga tak ada maksud untuk pamer, kok.” ucap Endi dengan nada meyakinkan. “Oh yah, dimana anak bapak dirawat? Sudah dioperasi?”

“Anak saya dirawat di Rumah Sakit Mayapada, dan kata dokternya, rabu depan, dia sudah bisa dioperasi.”

“Oh gitu… Oh yah, saya mengusulkan, bagaimana kalau anak bapak diobati di Singapura saja. Bukankah kualitas dunia medis di sana jauh lebih baik daripada di sini? Dan soal biaya, biar saya yang tanggung.Bagaimana, Pak Agus?”

Agustian menjadi bergeming sesaat mendengarnya. Matanya nyaris tak berkedip, waktu menatap Endi, guru Sains tersebut. Mimpi apa dia semalam, kalau orang yang selama ini menjelek-jelekan dirinya malah punya niat untuk menolongnya?

*****

Selepas menjalani operasinya, Mayang langsung dibawa ayahnya, Agustian menuju Singapura. Akhirnya Agustian sepakat dengan usul dari seseorang yang bisa dibilang rivalnya itu. Dengan biaya yang nyaris seluruhnya ditanggung Endi, Mayang ditangani di sebuah rumah sakit elit di sana dan oleh dokter terbaik.

Namun apa daya. Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Mayang sudah tak bisa diselamatkan lagi. Agustian dan istrinya harus merelakan kepergian putri semata wayangnya itu. Kini jenazahnya Mayang akan dibawa pulang ke Indonesia untuk dikebumikan.

*****

Setelah jenazahnya Mayang tiba di Tangerang, tepatnya di rumah ayahnya, Agustian, diadakanlah sebuah pengajian sebelum dikuburkan. Lalu selesai pengajiannya, jenazah tersebut dibawa ke TPU untuk dikuburkan. Pada saat penguburannya itu, banyak orang yang datang melayat. Mulai dari keluarganya Agustian dan istrinya, guru-guru dan murid-murid di tempatnya mengajar, para tetangganya, hingga….. dia kedatangan tamu istimewa yang sudah lama tak dijumpainya. Tamu istimewa itu adalah ayahnya.

Semenjak Agustian memutuskan menjadi guru, ia sudah lama tak bertegur-sapa dengan ayahnya tersebut. Jangankan bertegur-sapa, ayahnya itu juga seolah enggan datang menengoknya, ataupun melihat rupanya seperti apa sekarang.Saat kelahiran Mayang pun, ayahnya juga tak menjenguknya di rumah sakit. Sepertinya sang ayah masih belum bisa menerima keputusannya Agustian menjadi seorang guru.

Melihat kedatangan ayahnya itu, Agustian langsung berjalan cepat, lalu memeluk erat ayahnya.

“Agustian… Maafkan Abah, yah, karena selama ini seolah memusuhimu… Abah tahu abah salah… Jadi guru rupanya juga bisa jadi investasi bagus untuk masa depan… Apalagi setelah abah lihat foto-fotomu di beberapa koran dan majalah… Namamu sering disebut-sebut oleh para pemenang olimpiade atau lomba cerdas-cermat itu sebagai mentor terbaik…” sahut ayahnya itu sambil terisak-isak.

“Oh yah, soal Mayang, abah bangga punya cucu sepertinya… Apalagi setelah abah tahu Mayang pernah menang lomba atletik antar sekolah se-kabupaten…”

Mungkin memang benar kata Endi. Tak ada yang sia-sia, waktu Mayang dibawa ke Singapura, bahkan walau akhirnya Mayang tetap meninggal. Selalu ada sisi positif dibalik sebuah musibah. Dan sisi positifnya itu ialah… ayahnya dan sahabat baru. Setelah kematian anaknya itu, Agustian jadi semakin akrab dengan Endi, seseorang yang dulunya selalu merendahkannya.

TAMAT

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun