Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Confetti

7 Agustus 2017   16:38 Diperbarui: 8 Agustus 2017   00:52 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : Videohive

Sekejap tadi Amara merasa bersimpati kepada pemuda itu karena persoalan yang tengah membelitnya, namun kini rasa simpatinya sedikit pudar karena kedatangannya yang tiba-tiba dimana malam telah larut.

"Maaf bila aku mengganggu. Aku hanya ingin mengembalikan ini." Jo melepas kalung yang tersembunyi di balik kemejanya dan menyerahkannya pada Amara.

Amara menatap benda itu, kalung dengan bandul sekeping uang logam yang tiba-tiba membuat ingatannya terlempar ke peristiwa beberapa tahun silam.

"Aku tak mengira bahwa koin itu telah membuatmu membenci ku. Maafkan aku telah merampasnya darimu."

Amara diam.

"Aku ingin kamu menerimanya kembali, beberapa minggu ini aku mencari waktu yang tepat untuk mengembalikannya padamu. Tapi aku belum memiliki keberanian untuk itu, kamu terlihat tidak bersahabat." lanjut Jo pelan.

"Selama ini aku merasa bahwa koin itu selalu memberiku keberuntungan. Oleh sebab itu aku membuatnya menjadi kalung dan memakainya kemanapun aku pergi. Namun tibalah saat itu, saat ketika aku berkenalan dengan Rendra lalu melihat foto-foto masa kecil kalian. Koin itu seakan tahu siapa pemilik sebenarnya, ia tak membelaku lagi. Awalnya pengkhianatan salah satu teman bandku yang membuat papa mengetahui semua yang aku lakukan. Dan selanjutnya ketidakberuntungan pun mendatangiku secara bertubi-tubi. Dari situ aku sadar, mungkin ini semua adalah karmaku karena telah merampas koin ini dari tangan kamu."

"Kamu berlebihan, tak ada yang seperti itu. Beruntung atau tidak beruntungnya seseorang bukan ditentukan oleh sekeping uang logam,"

"Lagipula hal itu sudah lama berlalu, dan aku sudah melupakannya." Amara membuat nada suaranya terdengar senormal mungkin. Ia berbohong.

"Besok aku harus pergi, aku tak akan mengganggu kamu lagi di toko. Sekali lagi maafkan aku.  Aku akan merasa tenang bila kamu mau menerima ini. Papa telah merampas apa yang aku sukai, dan itu rasanya sangat pahit." Jo menarik tangan Amara, membalikan telapaknya dan membenamkan kalung berbandul koin itu.

Lidah Amara kelu. Ia tak dapat berkata-kata. Kejadian-kejadian aneh yang dialaminya dari siang tadi hingga malam ini membuatnya sedikit bingung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun