Mohon tunggu...
hony irawan
hony irawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penggiat Advokasi dan Komunikasi Isu Sosial, Budaya dan Kesehatan Lingkungan

pelajar, pekerja,teman, anak, suami dan ayah

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Data dan Fakta Terkini Air Minum & Sanitasi Indonesia 2019

18 Maret 2019   07:12 Diperbarui: 26 April 2021   10:52 23568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akses sanitasi sebagai bagian dari pondasi target SDGs (Sumber : dokpri)

Indonesia memang unik. Bukan saja karena beragamnya suku, budaya, agama dan bahasa, namun beragam pula upaya yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar akses air minum dan sanitasi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Dengan rata-rata pertumbuhan pembangunan sanitasi sebesar 2% pertahun, selama satu dekade lalu (2006-2016), lewat berbagai upaya segenap pihak, Indonesia telah meningkatkan investasi 40 kali lipat, yang semula hanya Rp. 200 perkapita hingga 2006, menjadi Rp. 8.000 perkapita hingga akhir 2016. 

Namun angka pertumbuhan yang diperlukan untuk mencapai Universal Access air minum dan sanitasi di tahun 2019, masih sangat besar yaitu mencapai hingga 8% pertahun. Sehingga perlu 4 kali lipat lagi upaya dan alokasi pendanaan dan atau pembiayaan dari yang telah ada saat itu.

Lalu bagaimana capaian jelang 2019 !? lewat Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) Kementerian Kesehatan 2018, data Kementerian PPN/Bappenas 2018, BPS, dan sumber lain, kita dapat memperkirakan apakah pertumbuhan pencapaian akses air minum dan sanitasi telah sesuai dengan apa yang diharapkan untuk menjadi dasar perencanaan dan kebijkan ke depan.

Akses Air Minum Layak vs Air Minum Aman

Proporsi pemakaian air (Dokpri)
Proporsi pemakaian air (Dokpri)
Akses air minum layak (Dokpri)
Akses air minum layak (Dokpri)
Proporsi pemakaian air kurang dari 20 liter perorang perhari di rumah tangga, antara tahun 2013 dengan tahun 2018 semakin berkurang, dari rata-rata nasional 20% menjadi 5%, ini sama artinya akses terhadap air semakin meningkat.

Kendati demikian, meski akses air minum layak cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, berdasarkan data Susenas BPS 2017, baru \mencapai 70,04% penduduk. Itu artinya masih ada 29,96% atau hampir 80 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki akses air minum layak. 

Meski hingga tahun 2030 diperkirakan seluruh provinsi akan mampu mencapai 100% "akses air minum layak", namun belum menjawab target SDGs yaitu "akses air minum aman".

Pengurangan dan Penanganan Sampah

Proporsi pengelolaan sampah di rumah tangga (Dokpri)
Proporsi pengelolaan sampah di rumah tangga (Dokpri)
Proporsi pengelolaan sampah di rumah tangga dalam kurun waktu 2013 hingga 2018, nampak perilaku membakar sampah tidak banyak mengalami perubahan yaitu hanya berkurang 0,6% saja. 

Penanganan sampah atau diangkut, meningkat cukup besar mencapai 10%, namun upaya pengurangan dengan pembuatan kompos menurun 3,8% menjadi 5,9%. Meski kebiasaan membuang sampah ke saluran air dan sungai menurun 2,6%, namun terlihat angkanya masih cukup besar yaitu 7,8%. 

Sehingga jika dilihat dari target Universal Access 2019 di perkotaan yang mencapai 20% pengurangan dan 80% penanganan di tingkat kabupaten/kota, maka meski ini menggambarkan di tingkat rumah tangga yang juga termasuk pedesaan, tentunya masih banyak upaya yang perlu dilakukan. Terlebih target SDGs 2030 adalah 30% pengurangan dan 70% penanganan.

Akses Jamban dan Diare  

Akses sanitasi (Dokpri)
Akses sanitasi (Dokpri)
Menurut pantauan e-monev STBM 13 November 2018, selama tahun 2018 sudah ada kenaikan 5% menjadi 77,07% akses sanitasi (jamban) masyarakat. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencatatkan diri di peringkat pertama dengan seluruh kabupaten/kota dinyatakan telah terverifikasi Open Defecation Free (ODF) atau sudah tidak ada lagi perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Jika dibandingkan dengan target Universal Access 2019 yang harus mencapai 85% akses layak maka masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan terutama 77,07% yang memiliki jamban itu masih terdiri dalam katagori layak dan belum layak/dasar. 

Prevalensi diare (Dokpri)
Prevalensi diare (Dokpri)
Meski ada kenaikan 5% akses jamban untuk tahun 2018 saja, namun secara nasional rata-rata prevalensi diare tetap meningkat dari tahun 2013 hingga 2018 dari 4% menjadi 7%. Hanya beberapa provinsi yang mengalami penurunan diantaranya Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, NTB dan Jambi.

Yang mencengangkan, jika disandingkan antara status ODF dengan prevalensi diare yang disebabkan karena sanitasi, mengambil contoh peringkat 1 sampai 5 pencapaian ODF tertinggi menurut e-monev STBM, justru kelima provinsi tersebut memiliki peringkat prevalensi diare diatas rata-rata nasional yaitu DIY peringkat 13, Sulawesi Barat peringkat 15, Banten peringkat 6, Jawa Tengah peringkat 14 dan Sumatera Utara peringkat 9.

Kelayakan jamban dan tangki septik nampaknya masih menjadi masalah besar di Indonesia. Bicara tentang pemenuhan akses pengelolaan air limbah domestik skala kabupaten/kota yang menyeluruh dan berkelanjutan, memang tidak hanya tentang akses jamban dan tangki septik saja, namun juga rantai layanan lainnya, yaitu pengangkutan dan pengelolaan lumpur tinja di Instalasi pengelolaan lumpur tinja (IPLT). 

Data Bappenas 2015 menunjukkan bahwa lebih dari 85% penduduk Indonesia memliki layanan setempat (on site) namun kurang dari 7% yang sudah layak. 

Sementara dari 150 Instalasi Pengelolaan Lumpur Tinja (IPLT) di Indonesia (2015), kurang dari 10%-nya atau sekitar 15 unit yang berfungsi dengan optimal. 

Padahal target Universal Access hingga tahun 2019, Indonesia setidaknya memiliki akses layak untuk 85% pendudukduknya dan 15% akses dasar. Dan itu berarti harus ada kenaikan sebesar 78%. Diperlukan terobosan kebijakan dan langkah-langkah yang efektif dan efisien dalam mewujudkan.

Dampak Akibat Sanitasi Buruk

Berdasarkan laporan "Progress Drinking Water & Sanitation 2015 Update" yang dikeluarkan oleh WHO & Unicef, Indonesia menduduki peringkat kedua dengan sanitasi terburuk setelah India. Padahal beberapa negara di Asian Tenggara seperti Malaysia dan Singapura telah memiliki cakupan layanan mencapai 90%.

Diare sebagai penyakit menular yang salahsatunya akibat sanitasi buruk, berdasarkan laporan WHO tahun 2012 menjadi penyebab terbesar kematian balita di Indonesia yang mencapai 31.200 balita pada saat itu. 

Pada tahun yang sama, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan melaporkan terjadi 214 kejadian diare dari 1000 orang pertahun. Kejadian diare pada bayi di bawah 1 tahun lebih besar lagi, mencapai sebesar 831 per 1000 bayi (Kemenkes, 2012).

Meski akhirnya peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia naik di tahun 2017 menjadi katagori tinggi atau high human development setelah naik 0,63 poin atau tumbuh mencapai 0,90% hingga mencapai 70,81, namun melihat prevalensi kejadian diare Riskesdas 2018 dimana kejadian diare secara nasional meningkat pada tahun 2018 dibandingkan dengan tahun 2013, maka ini perlu diwaspadai terutama kejadian diare pada bayi dan balita. 

Mengingat rendahnya akses sanitasi layak mengakibatkan stunting yang tidak hanya terkait dengan fisik pendek, juga kemampuan berfikir.

Sanitasi buruk juga mengakibatkan pencemaran sumber air. Tahun 2014, Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan bahwa sebanyak 53 sungai yang diteliti di Indonesia, mayoritas atau 76,3% sudah tercemar kotoran organik dan logam. Hal ini menyebabkan perlu biaya lebih besar untuk mengolah air baku menjadi air bersih.

Sinergi dan kolaborasi menjadi kata kunci keberhasilan strategi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan ke-6 yaitu menjamin ketersediaan dan manajemen air bersih serta sanitasi yang berkelanjutan untuk semua di tahun 2030. 

Demikian disampaikan Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman Bappenas, pada lokakarya Pokja terkait air minum dan sanitasi di Provinsi Jawa Tengah. 4 Oktober 2018.

Potensi Pendanaan

Potensi pendanaan (Dokpri)
Potensi pendanaan (Dokpri)

Berbagai potensi pendanaan sektor air minum dan sanitasi di luar APBD terus meningkat. Meski belum dipastikan gap dengan perkiraan kebutuhan untuk mencapai Universal Access 2019 yang untuk sanitasi saja mencapai Rp. 273 Trilyun (Bappenas, 2015), namun potensi pendanaan ini diharapkan dapat mengungkit investasi dari berbagai pihak dalam pengarusutamaan pembangunan air minum dan sanitasi Indonesia.

  Pembelajaran dari Daerah

Selama 2 tahun ini, program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP), dengan didampingi oleh Urban Sanitation Development Program (USDP) telah melakukan permodelan di beberapa Kabupaten/Kota terpilih di 8 provinsi dalam rangka membantu Kabupaten/Kota dalam mengimplementasikan Startegi Sanitasi Kota (SSK) yang telah disusun.

Berdasarkan pembelajaran selama pendampingan tersebut, ditemukan berbagai permasalahan "populer" yang terjadi hampir di tiap kabupaten dan kota.

Untuk permasalahan persampahan, hampir seluruh kabupaten/kota yang difasilitasi masih belum dapat mencapai target di wilayah perkotaan pengurangan 20% meski untuk target penanganan sudah ada beberapa daerah yang hampir mencapai 80%. 

Di tiap kabupaten kota masih ditemui keluarga yang masih buang air besar di sembarang tempat, masih sangat banyak ditemukan akses dasar yang perlu ditingkatkan menjadi akses layak. Hal tersebut menjadi masalah utama dari ketidakberfungsian atau setidaknya keberfungsiannya dari IPLT yang telah dibangun.    

Berdasarkan fakta dan data di lapangan, pengalaman yang diperoleh selama proses fasilitasi, dikembangkan pendekatan promosi dan advokasi praktis yang mendorong pada peningkatan akses melalui rangkaian upaya diiantaranya : 

  • Meningkatknya permintaan masyarakat akan layanan pengelolaan sampah dan air limbah yang layak dengan berbagai upaya memberi kemudahan bagi masyarakat.
  • Meningkatnya kuantitas dan kualitas  layanan pengelolaan sampah dan air limbah oleh pemerintah daerah secara langsung, maupun dengan kerjasama yang memberi kemudahan bagi berbagai pihak untuk dapat berperan.
  • Pembentukan dan operasionalisasi regulasi serta dukungan segenap pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah dan air limbah.

Langkah kegiatan advokasi Dokpri
Langkah kegiatan advokasi Dokpri

Oleh sebab itu, peran pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan Walikota sangat penting dalam rangka pemenuhan akses pengelolaan sampah dan air limbah yang layak bagi masyarakat. 

Melalui advokasi berjenjang dari pelaksana pokja, kepala OPD, Sekda dan Kepala Daerah hingga terpicu untuk memimpin langsung upaya penuntasan akses sanitasi layak terbukti dapat segera memenuhi target capaian.

Pesan advokasi yang menjadi penting untuk kepala daerah adalah mengeluarkan kebijakan agar dapat memberi kemudahan agar masyarakat mau dan mampu melakukan kewajibannya untuk tidak mencemari lingkungan baik di sektor air limbah maupun persampahan. 

Dengan demikian sinergi dan kolaborasi di daerah akan lebih memungkinkan dalam rangka mengoptimalkan berbagai sumber pendanaan dan pembiyaaan serta sumber daya lain, baik yang dari pemerintah maupun non pemerintah. Berbagai pembelajaran yang telah mulai memperlihatkan keberhasilan dalam peningkatan akses pengelolaan air limbah di beberapa Kabupaten/Kota diantaranya adalah:

 Akses Jamban dan Tangki Septik Layak: Optimalisasi hibah (reimbursment) PU-PR untuk pengelolaan air limbah setempat atau Hibah Tangki Septik, dapat digunakan untuk mengungkit dukungan berbagai pihak dalam membantu pembuatan atau perbaikan tangki septik masyarakat yang belum layak. 

Dengan program "Amnesti Tangki Septik Bocor"/ATSB, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan dan Kota Bitung Sulawesi Utara, mendorong warganya untuk mendaftarkan kondisi kepemilikan tangki septik mereka dalam kurun waktu tertentu.

Meski dengan "marketing Gimmick" yang sedikit berbeda dimana Kota Bitung memberi subsidi kepada seluruh masyarakat yang ikut ATSB selama 2 tahun jika bersedia memperbaiki jamban dan tangki septiknya, dan Kabupaten Muaraenim hanya untuk masyarakat tidak mampu.

Namun tujuan utama pendataan salah satunya adalah untuk mengetahui dengan pasti calon penerima hibat tangki septik, dan siapa yang nantinya akan ditawarkan program-program yang memberi kemudahan untuk kepemilikan jamban layak, baik lewat mekanisme pemicuan STBM, Arisan Jamban, Mikro Kredit berbunga rendah dll.

Masyarakat yang telah di data dan mendapatkan layanan sedot tinja gratis serta perbaikan atau pembuatan tangki septik adalah yang telah menyatakan bersedia untuk menguras tangki septiknya 3-4 tahun kemudian dengan biaya sendiri. 

Otomatis mengikuti program Layanan Lumpur Tinja Terjadual (LLTT).  Dengan prinsip yang sama yaitu ATSB, beberapa kabupaten/kota seperti Kabupaten Soppeng di Sulawesi Selatan meluncurkan Gerakan SoBAT (Soppeng Bebas Ancaman Tinja), dan Kendari di Sulawesi Selatan yang meluncurkan Gerakan Stop Penggunaan Tangki Septik Bocor.

Di Kabupaten Karanganyar telah mendeklarasikan Bebas Buang Air Besar Sembarangan skala Kabupaten, telah pula merintis kerjasama dalam peningkatan jamban dan tangki septik layak bagi masyarakat. 

Tercatat saat ini  sebanyak 2.027 jamban layak dibangun Pemerintah Desa dengan Dana Desa, dari CSR Bank Jawa Tengah telah disalurkan Rp. 1,5 M untuk pembangunan IPAL komunal, dan telah dibangun 32 jamban layak dengan pendanaan dari zakat, infak, sedekah dan wakaf umat muslim yang dikelola oleh Badan Amil Zakat dan Sedekah Nasional (Baznas) Kabupaten Karanganyar sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 001/MUNAS-IX/MUI/2015 Tentang ZISW Untuk Air dan Sanitasi.

Akses Pengurasan Tangki Septik Layak: Dengan prinsip yang ditegakkan yaitu pencemar harus membayar sebagaimana diamanatkan UU no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan, masyarakat diwajibakan menguras tangki septik secara berkala 3-4 tahun sekali. 

Oleh sebab itu, dengan seluruh masyarakat telah memiliki akses jamban dan tangki septik layak, maka  diperlukan kesiapan layanan "sedot tinja" yang memadai. Upaya yang sedang dirintis oleh Karanganyar ada lewat "penertiban" dan kerjasama dengan usaha sedot tinja swasta. 

Direncanakan ada semacam standariasasi dalam penyedotan tinja yang beroperasi di Karanganya terutama agar tidak membahayakan kesehatan manusia.

Lewat pendekatan "Amnesti Sedot Tinja Swasta", atau memberi kemudahan bagi masyarakat agar mau dan mampu memiliki akses sanitasi layak,  perusahaan sedot tinja swasta akan diberi semacam sertifikasi untuk dapat beroperasi di Karanganyar, dengan berbagai kemudahan dengan subsidi untuk pembuangan lumpur tinja di IPLT milik pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar.

Optimalisasi IPLT: Dengan kebutuhan masyarakat yang meningkat akan layanan sanitasi, dan dengan baiknya layanan penyedotan tinja diharapkan keberfungsian IPLT semakin meningkat. Hal yang kerap jadi kendala adalah pemerintah daerah diantaranya adalah:

  • Tidak dapat mengalokasikan anggaran operasional dan perbaikan karena belum ada serah terima pengelolaan dan atau serah terima asset.
  • Belum tersedianya regulasi pengelolaan air limbah (termasuk kelembagaan dan retribusi).
  • Kapasitas sumber daya manusia yang kurang mendukung baik kualitas maupun kuantitas untuk menjalankan operasional pengelolaan air limbah dengan standar pengelolaan yang baik.

Rekomendasi

  • Untuk menuntaskan akses sanitasi perlu mempertegas kehadiran negara dalam pembangunan air minum dan sanitasi :
  • Meningkatkan dukungan implementasi SSK
  • Meningkatkan hibah pengelolaan air limbah bagi MBR
  • Meningkatkan akses pendanaan akses sanitasi
  • Meningkatkan kewirausahaan masyarakat sektor sanitasi
  • Meningkatkan tanggungjawab sosial dunia usaha di sektor sanitasi
  • Meningkatkan kepedulian dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sanitasi
  • Meningkatkan sumber daya pengelola sanitasi
  • Memastian pembagian peran lintas lembaga dan badan secara terintegrasi untuk menghindari fungsi yang tumpang tindih
  • Usulan Paket Kebijakan Nasional 

Usulan paket kebijakan nasional
Usulan paket kebijakan nasional
Simak pula Rancangan RPJMN 2020-2024 tentang air minum dan sanitasi di: https://www.kompasiana.com/honyirawan/5daecd5b0d82301c84686422/target-capaian-akses-sanitasi-dan-air-minum-mengintip-rancangan-rpjmn-2020-2024

Referensi:

  • Materi presentasi, Strategi Kebijakan dan Capaian Air Minum dan Sanitas, Direktur Perkotaan Perumahan dan Permukiman Bappenas, 2018.
  • Materi presentasi, Pemberian Penghargaan STBM Berkelanjutan, Menteri Kesehatan, 2018.
  • Riskesadas Kementeri Kesehatan, 2018.
  • E-monev STBM, 2018.
  • Data-data kabupaten/kota USDP, 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun