Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kotak Kehilangan

20 Agustus 2017   13:29 Diperbarui: 22 Agustus 2017   06:05 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mariah tak menjawab, ia menunggu Ibunya melanjutkan. 

"beberapa generasi menyebutnya dua puluh tahun, ada pula yang menyebutnya sembilan tahun, aku sendiri memilih tak menyebut jumlah tahun dalam cerita itu, karena aku tak tahu berapa persisnya"

Di pembaringan, ibu dan anak itu saling menatap penuh kasih. Mereka mulai hidup berdua sejak Mariah lahir. Mariah adalah putri tunggal yang amat dicintai ibunya, sejak Mariah berumur enam tahun ia mendidiknya melalui teladan dan dongeng-dongeng bijak. Malam ini, ia menceritakan dongeng pamungkasnya. Mariah tahu sesudah ini tak ada lagi dongeng pengantar tidur, dalam tradisi keluarga pihak ibunya, Kotak Kehilangan adalah dongeng terakhir yang harus diceritakan kepada setiap perempuan yang lahir di keluarga tersebut.

Di luar sana malam kian larut, angin berhenti berhembus, bintang-bintang makin indah di gelap malam, bulan pasrah tertutup awan. Mariah terlelap di lengan ibunya, ia bermimpi berubah menjadi perempuan berhati lembut. Sementara sang ibu menatap anak gadisnya, ia meninggalkan kecupan lembut di kening Mariah, lalu turun dari tempat tidur.

Sang ibu memasuki kamarnya sendiri, ia menutup pintu rapat, bergegas ke kamar mandi, membasuh tangan, wajah dan kakinya, mengenakan mukena, lalu khusyuk dalam sembahyang. Di akhir sembahyang, kedua tangannya terangkat pasrah, bibirnya komat kamit, hatinya menggumamkan sejumput doa singkat "Kuatkan Aku Ya Allah", dari sudut matanya yang terpejam, merembes linangan air mata, mengaliri kedua pipi tuanya.

Ia menangkupkan kedua tangan ke wajahnya, sambil menyeka air mata. Lalu berdiri, berjalan menuju meja rias di sudut kamar, membuka laci kecil, jari-jari keriputnya meraih beberapa koin. Sang ibu berjongkok di samping tempat tidur, ia membungkuk, menjamah kotak putih dibawah tempat tidur. Dadanya sesak menahan haru. Tangisnya pecah, ia sadar rindunya masih tertanam, cintanya tetap suci, gemetar tangannya memasukan koin-koin itu ke dalam kotak. Sembilan koin berhasil masuk namun satu koin tersisa, kotak itu penuh, ia tersenyum. Ini adalah kotak keseratus, yang terisi penuh, sejak suaminya menghilang entah kemana.

Salam, Agustus 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun