Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pulang ke Kotamu... (2)

21 September 2019   06:21 Diperbarui: 21 September 2019   06:25 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah puas berwisata kuliner di Pasar Tradisional Kota Gede, paginya barulah saya berjalan ke arah Makam Raja Mataram. Suasana di sini tenang dan hening sekali, selain sesekali terdengar aktivitas para pengrajin perak yang sedang bekerja. Saya jadi bisa membayangkan suasana Kerajaan Mataram dan pengrajin-pengrajinnya di masa lalu.

Gerbang menuju makam raja memang tertutup, dan hanya buka pada waktu-waktu tertentu, sesuai komando Abdi Dalem yang menjaga di sana. Namun akses ke pemandian Sindang Seliran terbuka, cukup mendaftar dan bayar sumbangan seikhlasnya sebelum masuk.

"Belok kiri, nanti di bawahnya ada pemandian, bersihkan diri saja di sana," Kata Bapak tua yang menjaga buku tamu.

sumber: dokpri
sumber: dokpri

Hanya terdengar sesekali burung berkicau sahut-menyahut. Saya lihat sekeliling saat turun tangga, ada peringatan untuk tidak tidur di pemandian ini kecuali atas izin Abdi Dalem. Tampaknya memang daerah Makam Raja Mataram ini sering jadi tujuan peziarah yang ingin bermeditasi.

Hampir saya tersesat di pemandian perempuan, kalau tidak membaca papan kecil saat masuk. Kemudian saya pindah ke pemandian laki-laki. Di sana ada kolam kecil yang berisi ikan-ikan sebesar paha manusia, sepertinya jenis lele. Ada satu atau dua lalu lalang memamerkan tubuhnya yang berwarna putih.

Byur...

Saya mengguyur muka dan badan yang memang sudah lemas karena tidak tidur sedari malam. Setelah puas, saya lalu setengah berbaring di tembok kecil mirip tempat duduk yang sepertinya memang untuk bersemedi. Tas yang ditaruh di pojokan saya jadikan penopang kepala.

Dan tak lama saya tertidur, lelap, dan bermimpi indah sekali bertemu sosok perempuan cantik.

Matahari hampir tepat di atas kepala saat saya tersentak dan ingat kembali kalau dilarang tidur di pemandian ini. Tapi ya namanya juga tertidur tak sengaja. Mata terpicing sendiri.

Sesampai di atas, saya bertemu salah satu penjaganya, Pak Onggo Budaya, yang kebetulan sedang tidak dalam jam kerja. "Oh ya ndak papa, nanti coba lagi saja masuk ke makamnya," Saat saya ceritakan pengalaman di bawah tadi sambil minta maaf melanggar aturan.

"Ikan-ikan itu memang dipelihara sejak pertama pemandian ini berdiri. Ada satu atau dua yang mati, tapi kemudian anak-anaknya menggantikan, jadi tidak pernah kita tabur benih lele di sana," kata Pak Onggo Budaya menjelaskan keberadaan lele putih di pemandian.

"Nanti tiap kali kita menguras kolam, mereka akan buru-buru bersembunyi di lubang, tanpa disuruh. Nanti kalau air masuk, mereka keluar lagi," Kemudian ia menjelakan bahwa prosedur pengurasan dilakukan setahun sekali untuk menjaga kebersihan kolam pemandian.

Puas bercakap-cakap dengan Pak Onggo Budaya di Makam Raja Mataram Kota Gede, saya pindah ke bagian utara, sekitaran Jalan Rejowinangun. Ada Airy Syariah di sana dengan harga sangat murah, sekitar Rp 110 ribu saja. Namun karena check in baru bisa dilakukan pukul 14:00, maka mau tidak mau saya jalan dulu sebentar mencari makan siang.

Selesai mengambil uang di belakang Kantor PLN Jogja, maka saya pun berbelok ke kiri, di sekitar lampu merah ada Warung Sate Kuda Bu Ririn yang letaknya agak nyempil ke dalam. Warungnya sederhana sekali, hanya dari papan. 

Saya longok ke dalam, hanya ada seorang ibu muda yang sedang mengasuh anaknya sambil memotong-motong daging mentah berwarna merah menyala, selayaknya daging kuda.

Saya sudah sering mencicipi sate kuda, jadi tidak terlalu berminat memesannya. Yang menarik perhatian saya adalah menu rica-ricanya. Nah kalau yang ini barulah menarik. "Mau pedesnya sedang atau pedes banget?" Tanya Mbak Ririn. Saya minta ekstra pedas. Karena apalah artinya rica-rica kalau tak pedas, ya kan?

Sambil duduk, saya perhatikan ada soda yang belum pernah saya lihat. Di labelnya tertulis SW. Saya lihat kandungannya temulawak, gula, dan soda. Saya pikir ini temulawak yang biasa saya minum di Jakarta. Tapi saat menyeruputnya, uwek... rasanya lebih mirip obat batuk. Saya kecewa sekali memesan ini. Sudah terlanjur ya mesti gimana lagi.,

sumber: dokpri
sumber: dokpri

Tak lama rica-rica daging kudanya datang. Setelah memotret dan membagikannya di timeline, saya mencicipi sedikit. Pedas membara! Namun berbeda dengan daging sapi, daging kuda memang tampaknya lebih mudah menarik rasa dari bumbu-bumbu yang ada, termasuk rasa pedas dari cabe.

sumber: dokpri
sumber: dokpri

Dibanding daging sapi, daging kuda jauh lebih berserat. Namun tidak seperti mitos, daging kudas yang dimasak dengan benar tidak keras atau alot. Buktinya di tangan Mbak Ririn, dagingnya jadi cukup halus tanpa kehilangan rasa karena terlalu lama direbus. Sedikit potongan hati kuda membuat rasanya semakin tajam.        

sumber: dokpri
sumber: dokpri

Saat kepedasan karena menggigit cabe, saya pun buru-buru minum soda yang tadi saya musuhi karena rasanya tidak enak. Sruppt... barulah saya tahu kalau rasa soda ini justru paling cocok diminum saat sedang kepedasan total. Rasanya yang mirip obat justru jadi enak tercampur dengan rasa cabe dan bumbu lain, dengan selayang rasa temulawak.

sumber: dokpri
sumber: dokpri

Selesai makan rica-rica daging kuda yang nikmat berempah, klien saya dari Jakarta menghubungi lewat whatsapp untuk pekerjaan yang mendadak dan harus selesai saat itu juga. Maka saya segera check in di Airy Syariah Rejowinangun Kota Gede.

Hotel Airy ini lumayan rapi, dan istimewanya adalah disediakan dapur, sehingga kita akan merasa menginap di kos-kosan dengan AC dan kamar mandi dalam. Memang fasilitas makanan kecilnya tidak ada, namun rasanya cukuplah bagi saya yang sudah mulai kepepet duit di kantong, haha.

Lalu, beruntung dengan adanya sinyal 4G di mana-mana, saya bisa menyelesaikan pekerjaan dalam beberapa jam. Lalu dengan hembusan AC yang sejuk, saya kembali tertidur. Sudah hampir pukul 18:00 saat telepon dari Larasestu Harisumaninda masuk dan mengingatkan saya janji jalan-jalan keliling Jogja.

Kebetulan, Laras juga seorang petualang, dan dulunya blogger. Kini ia sibuk mengurusi startupnya di Jogja. Saya ingin mengajaknya makan daging kuda seperti yang tadi siang sudah saya cicipi. Sayangnya Warung Sate Kuda Bu Riris sudah tutup. Maka setelah berkeliling di sekitar jalan Gedongkuning, maka kami sepakat melanjutkan petualangan di Malioboro.

"Tapi jangan benar-benar di Malioboro ya, udah bosen masa ke Jogjanya Malioboro melulu," Pesan saya sebelum Laras membantu saya memesankan GoCar.

Berdua, kami menyusuri jalanan Malioboro untuk mencari lumpia goreng yang sangat disukai Laras. Setelah membungkus lumpianya, Laras mengajak saya berjalan ke arah kantor pos. 

Di tengah jalan, saya menemukan semacam gula-gula besar seukuran bola golf dengan bahan dasar kelapa, gula, dan pewarna warna-warni, "Itu namanya Geplak, cocok buat oleh-oleh murah-meriah." Sahut Laras saat saya bertanya apa namanya.

Saya coba rasanya, manis sekali dengan rasa kesat khas kelapa. Saat saya coba cari informasinya, makanan ini khas Bantul, namun juga dikenal dalam kuliner Betawi dengan nama sama. Bedanya, versi Betawi ditambahi tepung beras dan jeruk purut.

sumber: dokpri
sumber: dokpri

Terus berjalan ke arah kantor pos, saya membeli tiga kaos untuk giveaway di timeline. Setelah berfoto-foto sebentar di tempat tujuan, Laras menarik tangan saya lagi ke arah alun-alun. Di sana ada kafe Kopi Walik. Kopi dan sajiannya memang enak, namun menurut Laras, harga di sini tergolong mahal.

"Kalau di Jogja semua makanan itu harus murah dan porsinya besar," Laras menunjuk spageti yang sedang saya makan. Memang takarannya kecil dan sedikit, sih. Tapi saya harus mengakui bumbu spagetinya diolah dengan baik, setara makanan Italia yang dijual di Jakarta. 

Soal harga saya tidak terlalu sepakat karena bagaimanapun masih lebih murah dibanding Jakarta. Tapi Laras masih berkeras bahwa ada yang lebih murah lagi. Saya sampai menggeleng-geleng. Begitu murahnya biaya hidup di Jogja, pikir saya.

sumber: dokpri
sumber: dokpri

Menghabiskan malam yang makin larut, saya dan Laras bicara soal pekerjaan dan hidupnya saat ini. Termasuk berbagai pengalaman insecure dan depresi yang sama-sama kami pernah alami. Ia juga bercerita, betapa frustrasinya ia saat pertama kali membuka startup di Jogja.

"Orang-orang di sini terlalu lambat, sampai bikin marah-marah. Tapi ya begitulah Jogja, kalau bisa ditunda, mereka tidak akan menyelesaikan saat itu juga. Beda dengan kita di Jakarta," Seru Laras dengan mimik muka kesal.

Bagaimanapun saya setuju dengan pendapat Laras. Saya ingat pengalaman makan soto di Jogja, "Itu sekedar minta teh saja bisa tiga puluh menit baru dilayani. Dibilang minta tunggu sebentar, eh abis itu penjaga warungnya ngobrol, hahahah," Saya terkekeh.

Tapi ya mungkin itulah istimewanya Jogja, semua orang selalu menghabiskan waktunya dengan ngobrol dan bersosialisasi. Mungkin juga itulah kenapa muka orang Jogja banyak awet muda, selain jarang terpapar polusi, hidup mereka juga bebas stres. Mirip dengan Bali yang menghabiskan banyak waktunya dengan hari libur dan perayaan.

Pembicaraan kami terus ngalor-ngidul. Mulai dari pasangan, bisnis, politik, hingga kenangan-kenangan di masa lalu yang lucu. Hingga akhirnya tanpa sadar saya menguap beberapa kali.

"Sudah pukul dua, pulang yuk," Kata saya mengingatkan saat beberapa kali mata Laras  yang juga terlihat mulai sayu. Dia setuju dan memesankan gojek untuk ke hotel karena handphone saya sudah kehabisan baterai. Laras lalu pulang sendirian ke rumahnya, menolak saya antarkan karena menurutnya justru akan membuat saya berputar-putar jauh dan membuang waktu.

Tak lama untuk kembali ke Kotagede dari arah Malioboro, dan saya kembali sampai di hotel. Rasa lelah membuat saya bisa tertidur begitu saja. Menyelesaikan petualangan kuliner saya di Jogja.

Keesokan harinya, saya memulai lagi petualangan ke makam paling kontroversial di tahun 2018.

Di mana? Yuk ikuti cerita-cerita saya selanjutnya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun