Mohon tunggu...
Hanter Siregar
Hanter Siregar Mohon Tunggu... Penulis - Masih sebuah tanda tanya?

Mencintai kebijaksanaan, tetapi tidak mengetahui bagaimana caranya!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menyikapi Isu Pembangunan Tugu Sang Naualuh Damanik di Pematangsiantar

3 April 2019   15:19 Diperbarui: 5 April 2019   20:20 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maket Tugu Sangnaualuh (Tribun Medan/Dedy)

Pemerintah Kota Pematangsiantar telah berulang kali mengeluarkan kebijakan terkait pemindahan lokasi pembangunan Tugu Sang Naulauh Damanik. Pendirian Tugu tersebut merupakan bentuk penghormatan terakhir terhadap raja Sang Naulauh Damanik. 

Raja yang lahir di Kota Pematangsiantar pada tahun 1857. Dia memerintah kerajaan Siantar pada tahun 1882-1904 dan tercatat sebagai raja ke XIV dari Dinasti Siantar (1350-1904).

Raja Sang Naulauh Damanik merupakan raja yang sangat dicintai oleh masyarakatnya. Dia merupakan raja yang toleran dimana Ia disebut sebagai raja perintis pembangunan Kota Pematangsiantar-Simalungun. Beliau juga dikenal sebagai raja yang bijak dan murah hati terlebih lagi dikenal sebagai pelopor, penganut, dan pelindung agama islam, khususnya di kerajaan Siantar pada masa penjajahan Hindia Belanda.

Akan tetapi pada tahun 1906 Sang Naulauh dibuang ke bengkalis atas pemberontakannya terhadap pemerintah Hindiah Belanda pada masa itu. Pemberontakan dilakukan adalah sebagai bentuk kekecewaan terhadap penguasaan lahan pekebunan oleh pemerintah belanda membuat Sang Naulauh diasingkan  ke bengkalis.

Dalam masa awal ke pemimpinan hingga beberapa generasi berikutnya, Dia telah membahwa Kota Pematangsiantar sebagai salah satu kota tertoleran se-Indonesia. Pada masanya memimpin, semua suku-suku yang merantau ke Pematangsiantar memperoleh tempat tinggal, lahan pertanian, dan juga perkebunan secara cuma-cuma. Berkat kebajikan dan kemurahan hatinya, Ia adalah sosok raja yang dihormati oleh seluruh masyarakatnya, terkhusus Suku Simalungun di Kota Pematangsinar-Simalungun.

Tetapi sangat disayangkan, pembangunan Tugu Sang Naulauh tersebut selalu berkecipung dalam kebijakan yang tidak jelas, relevan, profesional, akuntabilitas dan bahkan bisa dikatakan asal-asalan. Kebijakan terkadang dikeluarkan bukan saja keseluruhan dari hasil kesepakatan para pihak-pihak yang terkait ataupun tokoh-tokoh adat yang ada di Kota Pematangsiantar.

Namun kebijakan tersebut dibuat berdasarkan keputusan sepihak oleh Pemko Siantar dengan tanpa melibatkan keseluruhan pihak-pihak yang terkait. Hal ini telah menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan. Terlebih lagi Kebijakan terkait penentuan lokasi yang telah diputuskan oleh Pemko Siantar telah 4 (empat) kali mengalami perubahan.

Isu pembangunan Tugu Sang Naulauh pun telah lama dicanangkan. Mulai pada tahun 2012 pembangunan tugu tesebut sudah masuk dalam pembahasan rana publik dan pada tahun itu juga sudah sempat mulai dilakukan pembangunan, tetapi mengalami kegagalan. Tahun demi tahun berlalu, pembangunan tak kunjung dilakukan---semua hanya tinggal janji Pemerintah Kota Pematangsiantar saja.

Pemko Siantar pada awal mula pembangunan ingin dilaksanakan---telah mengundang berbagai ragam para pihak-pihak yang berkaitan, termasuk tokoh-tokoh adat setempat. Mereka diundang untuk diskusi dalam rana ruang Ilmiah yaitu di Universitas Simalungun. Adapun tujuannya guna menemukan lokasi yang cocok, serta mengambil suatu putusan berdasarkan kesepakatan bersama, dengan didukung oleh hasil kajian ilmiah Universitas Simalungun terkait penempatan lokasi pembangunan Tugu tersebut.

Akan tetapi, hasil yang sudah dicantumkan dalam kebijakan tersebut, pun kembali mengalami gejolak dalam internal pemerintah. Keragu-raguan tersebut membuat Pemko Siantar kembali lagi mengundang peneliti dari Universitas Sumatra Utara (USU) pada tanggal 4 Juni 2018 tahun lalu.

Namun berdasarkan hasil penelitian tersebut ada 5 lokasi yang diusulkan kepada pemerintah yakni lapangan merdeka letaknya di sudut menghadap bank BRI cabang Siantar dan sisi tengah lapangan. Kemudian Lapangan H. Adam Malik, Gapura simpang Pematang dan depan Makam Pahlawan simpang Ramayana (adalah Lokasi semula) pada pemerintahan Wali Kota Pematangsiantar Almarhum Hulman Sitorus---yang sempat di lakukan pembangunan peletakan batu pertama.

Berdasarkan ke-5 lokasi yang diusulkan oleh tim survei indevenden dari USU, keturunan raja Sang Naulauh Damanik berserta tokoh-tokoh suku Simalungun dan komponen eknis Simalungun di kota Pematangsiantar sepakat, sebagaimana yang sudah ditentukan sebelumnya ataupun sudah diputuskan dalam kajian ilmiah Universitas Simalungun yakni Kawasan Lapangan Merdeka---Pematangsiantar. Artinya penelitian dari USU ataupun USI memiliki persamaan terkait penempatan lokasi pembangunan.

Meskipun demikian, bahwa lokasi yang sudah diputuskan bersama dan juga didukung oleh kajian ilmiah dari dua Universitas yang memiliki sedikit perbedaan nama tesebut, Pemerintah tak kunjung juga melakukan pembangunan. Isu pembangunan tetap masih di gantung-gantung dalam angan-angan.

Namun pada tahun 2018, Pemerintah Siantar mulai melakukan pembangunan dengan mendirikan pondasi sesuai yang dianggarkan dalam anggaran APBD 2018. Pembangunan pun dilakukan dengan lokasi yang berbeda. Kebijakan tersebut sangat bertolak belakang dengan  kesepakatan bersama antara pihak-pihak terkait ataupun tokoh-tokoh adat yang didukung oleh hasil dari penelitian Perguruan Tinggi USI dan USU yaitu berlokasi di Lapangan Merdeka.

Dalam hal ini, kebijakan yang berulang kali dilakukan oleh Pemko Siantar telah menimbulkan kekecewaan dalam masyarakat Siantar. Suku Simalungun sebagaimana suku yang pertama mendiami Daerah Kota Pematangsiantar merasa terhina. Pemindahan lokasi Tungu Sang Naulauh yang berulang kali, telah membuat masyarakat suku Simalungun merasa bahwa ini adalah bentuk penghinaan bagi leluhur Simalungun.

Pembangunan yang kerap kali di pindah-pindahkan membuat masyarakat merasa jengkel dan geram---akibat pemerintah dengan kebijakannya yang tidak profesional, akurat dan tidak akuntabilitas. Kekecewaan tersebut telah membuat masyarakat berturut-turut melakukan aksi ujuk rasa (demonstrasi).

Terlepas dari itu, mengingat penulis berkaca dan menilai dari luar rana eknis (kesukuan). Pembangunan yang dilakukan di Lapangan Haji Adam Malik dibuka dan dihadiri langsung oleh Bapak Hefriansyah Noor S.E. M.M. selaku walikota Pematangsiantar. 

Pembangunan  pada tanggal 10 November 2018 sebagaimana anggaran APBD tahun 2018 kembali berhenti seperti awal mula pembangunan dilakukan. Pada awal mula pembangunan sudah pernah dihentikan di simpang Ramayana makam Pahlawan, Jln Sang Naulauh dan pada saat itu pembangunan masih dalam tahap proses peletakan batu pertama.

Akan tetapi pembangunan yang sudah mulai dilakukan pada tanggal 10 November tahun 2018 sudah mencapai 35% dimana pondasi bangunan sudah dalam keadaan berdiri. 

Namun pembangunan tersebut pun dihentikan melalui surat yang dibacakan oleh salah satu Perwakilan Sekda dengan ditanda tangani oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen). Dalam surat pemberhentian pembangunan pada intinya didasari oleh adanya kekawatiran akan bencana sosial.

Dalam kacamata hukum, Sekda atau pun PPK tersebut, tidak boleh memutuskan ataupun membuat kebijakan dalam pemberhentian pembangunan. Hal itu merupakan gawean Walikota Pematangsiantar selaku pemangku anggaran APBD secara bersama-sama dengan DPRD.

Bertolak belakang dari itu, perlu kita ketahui bahwa dengan adanya pemberhentian pembangunan tersebut, jelas telah berpotensi merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembangunan Tugu Sang Naulauh (Sumber: isiantar.com)
Pembangunan Tugu Sang Naulauh (Sumber: isiantar.com)

Pembangunan yang tidak mencapai tujuan merupakan bentuk kerugian negara, hal ini bisa dibuktikan bahwa pondasi yang sudah dibangun oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar akan menjadi sia-sia alias tidak bermanfaat. Pondasi bangunan dengan nilai uang 1,7 milyar tersebut akan menjadi sampah ketika pembangunan di hentikan. Artinya pendirian podasi bangunan Tugu Sang Naulauh yang sudah berdiri sekitar 35% tentu tidak memiliki arti dan manfaat untuk dipajangkan.

Pemerintah dalam hal sebagai pemangku kebijakan, jelas tidak konsisten dan bertanggungjawab dalam kebijakan yang diembannya. Selain kebijakan yang tidak sesuai dengan azas kepastian hukum, azas tertib penyelenggarahan negara, asas kepentingan umum, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

Pemerintah juga selaku pejabat publik, nampak menghiraukan amanah yang diataur dalam ketentuan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukan Informasi Publik, Pasal 9. Pemerintah melalui surat yang dibacakan oleh perwakilan Sekda yang ditanda tangani oleh PPK tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan bencana sosial secara jelas dan akurat. Sekali lagi perlu kita ketahui bahwa surat pemberhentian pembangunan merupakan gawean Walikota bersama DPRD---berdasarkan hasil pertimbangan-pertimbangan yang ada.

Namun menyoal surat yang dibacakan Sekda, pemberhentian pembangunan juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indoensia No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme---Pasal 1, dan Pasal 2.

Dalam hal ini, pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan yang sudah dibuat. Oleh karena itu pemerintah sebelum memutuskan kebijakan, tentu sudah mengetahui konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dalam kebijakan tersebut. Berkat dari itu setiap lembaga pemerintah memiliki Staf Ahli di dalam segala bidang. Maka segala kebijakan yang sudah diputuskan sudah dikaji dan diperhitungan dengan matang-matang.

Maka dari itu pemerintah tidak boleh dengan sewenang-wenang dalam memutuskan suatu kebijakan. Pemerintah dalam menjalan tugasnya, harus menghormati dan melaksanakan sesuai dengan etika pejabat pemerintah. 

Berdasarkan ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No VI/MPR/2011 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, pada bab II yaitu etika politik dan pemerintahan.

"Etika politik dan pemerintahan adalah etika yang dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yangbersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratisyang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasirakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerimapendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dankeseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa".

Berkaca dari situ pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan amanah konstitusi, serta tidak bertanggungjawab dalam segala tugas maupun amanah yang di embannya sesuai TAP MPR No. VI/MPR/2011 tentang Etika Kehidupan Berbangsa tersebut. 

Pemerintah juga tidak bertanggung jawab dalam segala kebijakan yang sudah dikeluarnya. Oleh karena itu, hal ini merupakan salah satu bentuk kegagalan pemerintah dalam mewujubkannya masyarakat yang damai.

Pertama kali tayang di qureta.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun