Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Totalitas dalam Berkarya

25 Februari 2018   15:16 Diperbarui: 26 Februari 2018   04:17 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian orang pernah berkelakar mengenai asal kata "kreatif". Kata mereka, kreatif berasal dari kata "kere" (gembel; miskin) dan "aktif". Meski berkelakar, mungkin memang tepat jika sebagian orang lainnya mengamati usaha keras saya dalam berkarya secara total.

Betapa tidak "kere-aktif", saya berusaha melakukan sendiri karena tidak mampu membayar siapa-siapa dalam penerbitan buku saya, semisal calon buku "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia". Saya melakukan setiap proses dengan sendiri saja, kecuali perihal "pilihan editor Kompasiana", nomor ISBN dari Perpustakaan Nasional R.I., dan pencetakan di sebuah percetakan nanti.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Bagi saya, kelakar mereka mengenai "kere-aktif" bukanlah hal baru yang "menimpa" saya. Dengan kesadaran dan kesabaran pada diri sendiri, saya berusaha keras mendayagunakan (eksploitasi?) diri saya. Saya pun menikmati segala usaha keras saya, dan apa pun kelakar orang-orang.

Tentu saja, latar aktif di majalah SMA BOPKRI II Yogyakarta, lalu Bimbingan Menggambar di Garizt--milik Himpunan Mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, dan aktif di pers mahasiswa kampus--Majalah Mahasiswa Teknik Sigma UAJY--sangat berperan dalam proses "kere-aktif" saya. Sementara dari sisi spiritualitas saya, Bapa Yang Baik tidak mungkin memberi satu talenta sebagaimana anak minta ikan tidaklah diberi-Nya kalajengking.  

Memiliki penerbit sendiri bukanlah berarti saya memiliki karyawan, baik ahli bahasa maupun gambar (desainer). Saya tidak mampu membayar karyawan, apalagi dengan tunjangan dan kewajiban lainnya sebagai tanggung jawab pemilik usaha.

Penerbitan saya memang tidak berorientasi pada profit alias bukan kapitalis-industrialis. Saya selalu menerbitkan buku dalam jumlah minimalis, yaitu 20 eksemplar per judul buku. Hanya minimalis itu kemampuan keuangan saya. Mau-tidak mau, "kere-aktif" pun saya lakoni sendiri demi pengabadian karya sendiri.

Dan, melalui artikel sederhana ini saya akan membongkar "sedikit" mengenai proses penggarapan calon buku saya, walaupun sama saja dengan buku-buku saya lainnya. Mungkin biasa-biasa saja bagi sebagian Pembaca sehingga saya menyebut artikel ini "sederhana".

Menulis

Menulis, tentunya juga membuat buku-buku saya, merupakan bagian dari keseharian saya sebagai arsitek.  Meskipun belum tentu setiap hari, ada waktunya saya akan menulis. Menulis apa saja yang mendadak singgah di kepala. Wajarlah, imbasnya adalah rambut di jidat saja kewalahan meladeni persinggahan mendadak itu, bahkan tersingkir dari kediamannya sendiri.

Terkadang, jika sempat, saya menyertakan ilustrasi tulisan, yang sebagian merupakan karya atau dokumentasi saya sendiri. Bagi saya, tulisan saya menjadi lengkap dengan adanya ilustrasi sendiri. Itu pun jika sempat. Seringnya saya tidak sempat sehingga pihak editor/redaktur Kompasiana yang memberi ilustrasinya.

Mengumpulkan

Tidak terasa, 5 tahun saya bersama Kompasiana. Melalui fitur-fitur yang tersedia di Kompasiana, saya mencari artikel-artikel saya dalam kategori "Artikel Utama" (Headline) sejak berakun Agustinus Wahyono.  Artikel saya masih tersimpan, meski ada satu artikel yang entah ke mana, dan entah apa judulnya.

Jujur saja, saya sendiri kurang disiplin dalam pengarsipan karya sendiri. Terkadang masih ada di blog lainnya. Di samping itu, persoalan teknologi yang pernah dialami oleh 2 cakram keras (harddisk) saya alias rusak.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Semua artikel saya kumpulkan sesuai dengan jenis (genre)-nya. Selain untuk calon buku kumpulan artikel utama berjenis esai/opini, juga kelak untuk kumpulan bukan esai/opini. Ada juga esai/opini yang tidak bisa saya sertakan karena sudah tergabung dalam buku saya lainnya. Paling tidak, saya memiliki tabungan karya untuk saya bukukan setelah melalui proses penyuntingan (pemilihan, penyeleksian) dari editor Kompasiana.

Menyusun Tulisan/Artikel

Semua artikel esai/opini saya susun sesuai dengan selera saya sendiri. Satu per satu artikel saya baca ulang agar urutannya bisa lumayan pas ketika tergabung dalam buku. Kemudian saya lakukan penamaan ulang (rename) dengan menyertakan nomor urutnya.

Penyusunan artikel tidak bisa sekali-dua kali. Artikel di nomor urut 2 bisa berganti posisi ke nonor urut 20. Artikel nomor 8 bisa berpindah ke nomor 6, dan artikel di nomor 6 'menyingkir' ke posisi lain. Dan seterusnya. Selain faktor "selera pribadi", juga semacam rubrikasi sendiri. Meski beberapa artikel berasal dari rubrik yang sama di Kompasiana, saya bisa menempatkannya pada susunan berbeda dalam calon buku saya.

Dari hasil penyusunan artikel saya bisa memulai dengan "Daftar Isi" dalam batas susunan artikel, bukan posisinya di halaman buku. Apakah perlu kata pengantar siapa? Kebetulan saya menggunakan kata pengantar sendiri, yang juga telah saya pajang dan mendapat kategori "pilihan" editor Kompasiana.

Menyunting

Menyunting sedikit saja, misalnya satu-dua kata atau frasa, membenahi judul, menambahkan keterangan, dan lain-lain. Karena di Kompasiana masih tersimpan datanya, tentunya, penting menambahkan keterangan seperlunya. Misalnya sumber rubrik, tanggal penayangan, judul asli jika ada perbaikan judul, dan lain-lain.

Hal ini saya lakukan agar pemesan/pembeli nanti bisa mudah dalam pencarian keaslian pada penayangan di Kompasiana. Dalam benak saya, pemesan/pembeli adalah pembaca cerdas, dan bisa sewaktu-waktu mencari sumber asli pada penayangannya.

Memeriksa Aksara

Salah satu bagian yang cukup membosankan, sebenarnya. Saya benar-benar harus teliti ketika membaca setiap artikel, kalimat, dan kata.

Bisa dibayangkan, setiap kata harus saya teliti. Adakah huruf ganda, kurang, atau salah. Cahaya layar monitor komputer pun bisa melelahkan mata, dan mudah memicu kecerobohan.

Membosankan dan ceroboh memang risiko logis bagi saya. Biasanya saya lakukan lebih sehari. Untuk mengantisipasi kebosanan, saya berhenti memeriksa aksara pada bagian tertentu lalu mengalihkan perhatian pada perancangan sampul, meski pada tahap rencana. Dengan bermain warna dan gambar, kebosanan bisa tereliminir.

Setelah kebosanan menyingkir, saya kembali memeriksa aksara pada bagian selanjutnya. Begitu terus-menerus saya lakukan agar bisa mengurangi kesalahan manusiawi itu.

Saya harus yakin bahwa saya menghargai karya saya sendiri sebelum berharap nanti pemesan/pembeli menghargai karya saya. Itulah yang tadi saya singgung, "Dengan kesadaran dan kesabaran pada diri sendiri, saya berusaha keras mendayagunakan (eksploitasi?) diri saya." Saya berusaha selalu tabah menghadapi layar monitor jika sudah berurusan dengan pemeriksaan aksara.

Membuat Ilustrasi Isi

Bagian yang biasa  bagi saya sejak SMA dan kuliah. Sebelum buku ini, saya sudah melakukannya untuk buku saya sebelumnya, semisal Siapa Mengontrol Siapa (2016).

Saya tidak mau menggunakan ilustrasi yang sudah ada di Kompasiana. Saya memiliki selera sendiri, dan selalu berusaha untuk sedikit berbeda dengan apa yang sudah tersedia pada artikel saya di Kompasiana.

Untuk itu saya membuatnya sendiri secara manual atau hitam-putih. Setelah itu barulah saya pindai (scan). Dengan membuat ilustrasi sendiri, saya bisa benar-benar leluasa mengolah-kelola kemampuan saya sendiri. Jelas ada kepuasan tersendiri dong!   

Menata Isi

Saya memiliki format penataan isi secara sederhana. Tidak rumit menggunakan program khusus, semisal pagemaker, seperti yang saya kenal ketika aktif di pers mahasiswa.

Menata isi buku tidaklah sekadar menyesuaikan naskah dalam halaman sambil berbagi dengan ruang ilustrasi. Yang tidak luput dari perhatian saya adalah sela antarkata dalam kalimat. Dasar pemahaman saya mengenai suku kata sangatlah penting agar sela tidak terlalu lebar, kepadatan kalimat bisa terbaca, dan kaidah pemenggalan tidak bermasalah.

Proses penataan isi pun tidak kalah membosankan karena harus teliti dalam pemenggalan. Tidak jarang saya masih menemukan kesalahan aksara (huruf). Mau-tidak mau saya perbaiki juga. Proses ini tidak cukup sehari, dan saya lakukan sebagai kesadaran dan kesabaran dalam kecintaan terhadap karya sendiri. Mungkin kurang sempurna tetapi, ya, lebih lumayanlah.

Setelah benar-benar saya anggap selesai, barulah terlihat posisi artikel di halaman berapa agar bisa mengisi halaman artikel dalam "Daftar Isi". Satu per satu saya catat, lalu saya tempatkan pada "Daftar Isi". Dan, halaman "Daftar Isi" sangat penting dalam pengurusan ISBN (International Serial Book Number).   

Merancang Perwajahan Sampul

Wajah sebuah sampul buku--kata orang berpengalaman--sangat penting. Di pihak lain ada yang berpendapat, jangan menilai buku dari sampulnya. Bagaimanapun, hal paling pertama dilihat adalah wajah, selain nama pengarang atau penulis.

Saya bisa-biasa merencanakan perwajahan sebelum selesai penyusunan artikel. Rencana memang sebatas rencana, rancangan dan hasilnya belum tentu sama dengan rencana.

Kebetulan saya masih menyimpan foto-foto lama, khusus foto terkait dengan judul buku. Lalu berikut ini saya sertakan proses perwajahannya :

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Logo "5 tahun Berkarya di Kompasiana" merupakan karya sendiri. Gambar logo yang berupa sahang (merica/lada), dan pita itu merupakan karya lama. Sementara tulisan "5 tahun Berkarya di Kompasiana"  hanyalah penyesuain untuk buku ini.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Mengurus ISBN

Setelah naskah tersusun dan tertata rapi, mulai dari halaman depan, balik depan, daftar isi, dan kata pengantar, saya pun melanjutkan pada proses pengurusan ISBN (International Serial Book Number) dan kode batang (barcode) ke Perpustakaan Nasional. Arsip surat-menyurat sudah tersedia sehingga saya tinggal mengganti hal-hal redaksionalnya sesuai dengan calon buku saya.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Saya juga menikmati proses ini. Tidak terlalu sulit karena naskah sudah rapi dalam lingkup persyaratan untuk permohonan ISBN. Selain itu, kewajiban saya menyetorkan (deposit) buku ke Perpustakaan Nasional sebanyak 2 eksemplar per judul buku, dan 1 eksemplar ke perpustakaan daerah (Balikpapan) jika buku sudah terwujud.

Mengurus dan Membiayai Pencetakan

Di Balikpapan saya belum menemukan percetakan yang bisa saya andalkan. Untuk sementara saya masih mengandalkan percetakan di Jawa, yang saya dapatkan alamat dan nomor hubungnya melalui internet.

Kali ini, bahkan lebih 3 buku saya, sebuah percetakan di Jawa akan kembali menjadi mitra berkarya saya. Jumlahnya berapa, percetakan itu sudah hafal, yaitu 20 eksemplar dengan tanda "edisi terbatas". Surat-menyurat secara resmi-elektronik tetap saya lakukan sebagai itikad baik, niat serius, dan terjaga arsipnya dalam kotak surel saya.

Biaya mayoritas buku saya berasal dari tabungan saya sendiri. Hanya buku kumpulan kartun yang mendapat donasi dari keluarga saya karena jumlahnya 50 eksemplar. Kali ini pun saya sendiri yang akan membiayai pencetakannya, meski jumlahnya sedikit (20 eksemplar) dan cukup menambah biaya produksi.

Saya pernah mencetak lebih dari 300 eksemplar di sebuah percetakan pada buku pertama saya tetapi tidak habis terjual. Sebagian besar akhirnya saya bagi-bagikan sebagai bonus pembelian buku-buku terbaru saya. Saya belajar dari pengalaman itu, dan kesadaran sebagai bukan siapa-siapa secara popularitas di antara sekian ribu bahkan juta penulis di Indonesia.

Saya tidak mau mengulangi kesalahan yang sama ibarat pepatah ngawur, "Bahkan seekor keledai pun tidak mau menjual buku". Meski sedikit, yang terpenting, terabadikan dalam buku, dan tersimpan juga di Perpustakaan Nasional dan Daerah. Tidaklah perlu tersimpan di rak buku presiden atau wakil rakyat. 

Mengemas dan Mengirim kepada Para Pemesan

Pada bagian ini memang belum saya lakukan. Tetapi, dari buku-buku saya sebelumnya, saya selalu melakukan pengemasan dan pengiriman sendiri.

Kepada pemesan/pembeli, sebelumnya, saya beritahukan bahwa saya mengirim melalui jasa pengiriman biasa, bukan dengan jasa swasta yang cepat tetapi mahal. Hal ini saya sampaikan agar tidak terjadi ongkos kirim lebih mahal daripada harga buku. Sayangnya, untuk wilayah yang jauh, semisal NTT, ongkos kirim selalu lebih mahal.

Tidak lupa saya kirimkan resi pengiriman. Hal ini sangat penting, baik bagi saya maupun pemesan, terkait dengan kepercayaan antara saya dan pemesan. Dengan adanya resi, saya dan pemesan pun bisa memantau perjalanan kiriman itu.

Mengiklankan atau Mempromosikan Calon Buku

Saya biasa mengiklankan atau mempromosikan buku saya sendiri, meskipun jumlahnya 15 eksemplar yang saya siapkan. Bukan berslogan "Siapa Cepat Ia Dapat", melainkan untuk pemberitahuan adanya buku saya yang baru, dan menghabiskan buku saja.

Demikian juga dengan calon buku "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" ini. Saya selalu menggunakan rambu-rambu "edisi terbatas", dan saya sampaikan ketika memajang buku, yang biasanya hanya di media sosial (Facebook).

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Bagaimana kalau habis tetapi masih ada pemesan?

Maaf, saya belum pernah mencetak ulang buku-buku saya karena masih ada karya berikutnya yang masuk daftar antrean untuk saya terbitkan pada 2018 ini, termasuk lengkap dengan ISBN-nya. 2 buku kumpulan puisi (1 puisi iseng), dan 2 buku kumpulan cerpen. Contoh sampul-sampul buku antre itu adalah sebagai berikut : 

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Selalu Berusaha Total dalam Berkarya

Saya selalu berusaha total dalam berkarya. Apakah karya sekadar iseng, lucu-lucuan, atau lainnya. Sejak akan menulis (mencipta) sampai menjadi entah apa. Saya sangat menghargai ilham, ide/gagasan yang mendadak singgah dalam benak saya hingga suatu waktu nanti benar-benar terabadikan dalam sebuah buku.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Saya tidak pernah peduli "apa kata orang" mengenai karya (artikel/tulisan) sampai buku saya. Juga mengenai selera siapa saja, tentunya, berbeda-beda. Saya hanya ingin mengolah-kelola seluruh kemampuan diri saya asalkan sejak semula saya niatkan untuk hal-hal yang baik dalam tatanan pergaulan umum. "Apa kata orang" hanyalah sebatas konsekuensi logis dan jamak.

Penggarapan calon buku "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" merupakan kelanjutan dari totalitas berkarya saya. Tidak ada upaya untuk membuktikan diri sebagai siapa, melainkan sekadar mengabadikan karya sendiri dengan totalitas berkarya. Sederhananya begitulah. Tidak perlu muluk-muluk sebagaimana umumnya seorang "kere-aktif" semacam saya. Sekian.

********

Panggung Renung -- Balikpapan, 25 Februari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun