Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Media Sosial Kini Lebih Berbahaya dari Merokok dan Obesitas

16 Agustus 2017   11:23 Diperbarui: 28 Mei 2019   13:19 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Social Media Icon - ilustrasi: blog.uspatriottactical.com

Benarkah techno-myth, bahwa gadget kita mengurangi jarak? Tidak ada lagi batasan atas lokasi dan waktu. Semua orang dengan akun medsosnya merasa connected satu sama lain, sepanjang hari.

Mungkin inilah yang slogan Nokia dengungkan, 'Connecting People'. Dan bagaimana Facebook di tahun 2008 juga telah menghubungkan kita, menguatkan sisi connectedness. Dan saat tiap kita terhubung dengan keluarga, sanak famili, teman, rekan, dll tidak ada lagi rasa kesepian. Karena dengan sosmed, kita bisa selalu terkoneksi. Selalu ada mereka di FB, Whatsapp, Twitter, Instagram, dll. 

Namun benarkah kita tidak merasa kesepian dengan interkoneksi ini?

Riset yang dimulai tahun 2000 di Australia mengungkap bahwa kesepian 15% lebih berbahaya daripada merokok. 1 dari 6 orang berusia 18-34 tahun mengalami kesepian. Usia tersebut tergolong usia para digital natives dan dekat dengan teknologi. Efek buruk yang terjadi berimbas pada gangguan mental, kanker dan Alzheimer. Bahkan saat ini sudah Koalisi yang mengurusi isu kesepian ini, lihat endloneliness.com.au. 

Seperti yang pernah saya tulis di artikel saya Sosmed dan Kesepian Kita, kita malah mengalami neurosis saat sosmed menjadi adiksi. Neurosis meliputi kecemasan, gugup dan ketakutan. Kita akan lebih cemas foto kita tidak di-like, komen, atau share di FB. Atau chat kita belum juga dibaca atau dibalas di BBM, WA atau Line. Dan hal ini membuat kita cenderung tidak perduli dengan keadaan sekitar. 

Sehingga terbersit menyoal isu ini, apakah hal ini terjadi di Indonesia?

Dengan budaya komunal di Indonesia yang begitu kental, nyatanya sosmed bisa memecah belah kita. Masih jelas ada kisruh Pilpres/Pilkada di dunia maya. Atau masalah SARA yang sampai mengundang ribuan orang untuk turun ke jalan. Saat begitu ramai apa yang terjadi di lingkungan sekitar, kita malah merasa kesepian. Bukan kesepian secara fisik. Namun lebih secara mental. Kita begitu terfokus pada isu-isu aktual di dunia maya. Sehingga lupa dan cenderung acuh akan dunia nyata.

Saat banyak dari interaksi sehari-hari kita menggunakan media sosmed, interaksi fisik menjadi berkurang. Korelasi ini didukung sebuah penelitian yang diterbitkan American Journal of Preventive Medicine. Seorang yang memakai sosmednya lebih dari 2 jam sehari cenderung akan lebih tertutup. Isolasi sosial dan kecemasan pun terjadi karena distorsi realitas. Orang akan lebih cenderung rendah diri saat melihat sesuatu yang lebih baik di lini masa sosmed mereka. Dan hal inilah yang dimanfaatkan dalam isu SARA (baca artikel saya Kampanye Hitam, ASMR dan Viralitas)

Dalam interkoneksi lewat sosmed, kita malah cenderung terkotak-kotak. Sebuah segmentasi pilihan dan gaya hidup membuat kita lupa dan acuh pada realitas. Saat hal ini berlanjut dengan tanpa pemahaman, maka isolasi sosial pun terjadi. Kita lebih memilih melihat HP kita di perjalanan jauh, daripada melihat pemandangan sekitar. Kita lebih heboh mencari spot foto untuk mengunggah selfie kita ke sosmed, daripada meresapi karya semesta. Dan kita pun lebih merasa puas memfoto makanan kita, daripada menikmati cita rasa sajian tersebut.

Sebuah wacana yang harusnya segera kita fahami. Melalui literasi digital, kita sepatutnya melek pada fenomena kesepian ini. Saat ini gejalanya di sekitar kita mungkin tidak nampak. Namun bagaimana 5-10 tahun ke depan? Saat teknologi menjadi bagian dari diri kita (baca artikel saya: Pokemon Go, Sebuah Portal Menuju Dunia VR). Connectedness  yang begitu erat dengan sosmed nyata berbanding terbalik dengan realitasnya. Dan sudah saatnya kita perduli dengan wacana ini.

Referensi: thenewdaily.com.au | telegraph.co.uk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun