Sudah tiga hari, Andika kembali melangkah pulang. Dia terlunta di jalan. Makan seadanya dan kedinginan diterpa angin hujan. Dia tidak dicari.
Dia ketok pintu.
"Kenapa pulang?" wajah mamanya dingin menyambutnya.
"Kamu mau melawan dengan cara begini?" suara mamanya meninggi.
"Ma..aku tidak tahu apa yang sedang terjadi denganku.."
"Tapi kamu tidak berusaha menolaknya kan..kamu menikmatinya..kamu cemburu kan sama Dena..kamu mau menghukum mama dengan cara ini..kamu tidak tahu betapa malu Ayahmu seandainya teman teman nya tahu anaknya begini"
Andika mendongak, marah.
"Kenapa Ayah hanya memikirkan dirinya? Kenapa tidak pernah bertanya apa yg kurasakan?"
Ningsih melotot dan emosinya tidak tertahankan.
"Apa hak yang kamu minta, Andi. Semua sudah dicukupkan. Bukankah Ayah berhak mendapat keluarga yang tenang, gak ada masalah?" Suara Ningsih meninggi.
"Apa arti ketenangan, kecukupan bagi Ayah??" Andi mengeluarkan lipstik dari tasnya, memoleskannya ke bibirnya sendiri di depan Ibunya dan memakai pinsil alis di hadapan wanita yang melahirkannya.