Di ranjang kamar hotel, dini hari. Gadis yang telah menjual tubuhnya kepada lelaki di sampingnya, tak kunjung bisa tidur. Wajah dan suara dengkur lelaki yang tidur lelap itu, makin menganggu gadis itu. Ia bangkit dari ranjang menuju kamar mandi. Ia guyur tubuhnya dengan shower. Berharap resahnya hilang. Ia meringkuk di sudut kamar mandi dengan air shower terus menguyur tubuhnya. Ia kedinginan. Disetel shower menjadi air hangat, ternyata tak mengalir. Segera dimatikan kran shower, diambil handuk, dilap tubuh, lalu dililitkan ke tubuh. Ia duduk di meja cermin. Menatap dirinya. Sayu matanya. Selalu usai persetubuhan, ada ketidaktenangan melanda dirinya. Begitu selalu, tetapi tak bisa ia lepas diri ketika ada yang menawar tubuhnya. Ia masih kuliah.
Ia bangkit mencari bra dan celana dalam. Dipungut dan segera dikenakannya. Dipungut juga pakaian dan celana jinsnya. Tak lupa dikenakan jilbabnya. Diambil smartphone dan dimasukkan ke dompetnya.
Kembali ke cermin, dipolesi seadanya wajah dengan make up. Lalu ia menuju pintu kamar, tak lupa disambar mantelnya. Ia keluar dari kamar hotel.
Keluar dari lift, ia temui resepsionis yang tak lagi di tempat. Resepsionis sedang tidur di sofa lobi. Ia bangunkan dan beritahu bahwa ia mau jalan-jalan sebentar. Ia serahkan kunci elektrik kamar pada resepsionis.
Keluar hotel, gadis itu mendapati pelataran hotel yang luas dan langsung berbatasan jalan raya. Terdapat beberapa mobil pribadi di pelataran. Gadis itu terus melangkah keluar pelataran dan berjalan sepanjang tepi jalan. Ia tak tahu ke mana. Yang ia tahu dan harap, jalan-jalan bisa membuang resah hatinya.
Jalanan sepi. Sederatan toko telah tutup. Lahan kosong di sebelah pertokoan. Rumah dengan pekarangan dipenuhi pepohonan.
Terang lampu jalan dicadar pepohonan sepanjang jalan. Angin malam datang seperti ibu meniup tubuh wajah anaknya. Gadis itu merapatkan mantelnya. Jalanan tetap sepi. Tak ada orang, tak ada kendaraan yang lewat.
Ia sampai di jembatan kecil. Berdiri sejenak dia di jembatan. Diperhatikan sekilas tugu selamat datang tepat berada ujung jembatan. Tugu itu telah dipercantik. Kota ini akan menyambut puluhan ribu tamu dari luar kota, luar provinsi, dan luar negeri. Ada acara pameran nasional yang diadakan di kota ini. Ia pun telah diberitahu agennya akan banyak panggilan untuk tamu-tamu itu nantinya. Bersiaplah, kata agen. Ia menunduk.
Ia kembali melangkah. Tak jauh dari dari jembatan kecil, sepanjang tepi jalan, ia melihat bangunan semipermanen telah dirubuhkan. Tinggal tiang, seng, triplek, dan sisa dinding bata. Lampu jalan dan lampu sorot reklame menerangkan bangunan dirubuhkan itu.
Gadis itu teralihkan perhatian dari bangunan yang dirubuhkan itu oleh suara tangis seorang perempuan. Awalnya ia merinding. Akan tetapi, setelah meyakinkan diri suara tangis itu adalah perempuan, ia dekati sumber suara. Ia dapati seorang perempuan paruh baya di gubuk asal jadi. Atap gubuk sekaligus menjadi dinding, membentuk segitiga. Di dalam gubuk itu, seorang ibu menangis sambil menggendong dan mengoyang-goyang anaknya yang diam saja. Seorang anak lagi, perempuan berusia sekitar sepuluh tahun terbiarkan di sudut kecil gubuk itu dan ikut menangis.
“Kenapa, Mak?” tanya gadis itu.