Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mogok di Hutan

12 November 2018   16:45 Diperbarui: 16 November 2018   19:11 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari hendak tenggelam di balik pepohonan hutan ketika minibus kami mogok. Air radiatornya bocor. Mesin kepanasan. Begitu lapor Om Her, sopir kami, dengan mimik susah padaku. 

"Bisa diperbaiki 'kan, Om?" tanyaku, ikut susah.  Baru empat kilometer kami berangkat pulang dari pondok pos hutan. Perjalanan pulang masih sekitar 31 km ke Tahuna, tempat penginapan. Bisa-bisa sampai gelap datang, kami masih berada di hutan pegunungan Sahendaruman, pulau Sangihe ini. Hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi dan binatang malam liarnya. 

Kompas.com/Ronny Adolof Buol
Kompas.com/Ronny Adolof Buol
Aku susah hati tapi tak kutunjukkan. Para penumpang yang masih berada dalam minibus, tak boleh ikutan susah. Terlebih penumpang bernama Kanaya; mahasiswi manja. Sedikit-sedikit mengeluh. Merajuk ingin pulang pada Anggi, kakak angkatan kampus yang mengajaknya ikut hiking. Kelakuan Kanaya menyusahkan hiking kami. Untung, keimutan dan kemanisannya menutupi kelakuannya.

Aku banyak diam melihat kelakuannya. Sesekali menenangkan dengan menunjukkan hal-hal menyenangkan bagi pancaindera dan jiwa saat hiking. Air terjun, hutan hijau yang alami, matahari hangat yang dicadar dedaunan. Hawa sejuk dan udaranya yang segar sampai ke palung dada. Kesunyian hutan yang dialun oleh suara-suara alami; angin yang bercanda dengan dedaunan, gemericik air di sungai nan segar luar biasa, dan terutama kicau bahagia burung-burung. Menyegarkan pancaindera dan jiwa.

Saat menyusuri jalan setapak hutan Sahendaruman dari pondok pos hutan tadi,  beberapa kali berhenti untuk kutunjukkan beberapa jenis burung yang lewat atau hinggap di pohon. Sangat beruntung kami bertemu dengan burung seriwang sangihe.  Manu' niu (burung niu), penduduk sini menyebutnya begitu kata Om Her. Salah satu burung endemik dari delapan jenis hewan endemik di pulau Sangihe. Aku nyaris berteriak kesenangan. 

http://m.jitunews.com
http://m.jitunews.com
Perlu dicatat, pulau Sangihe merupakan termasuk salah satu kawasan Wallacea, yaitu kawasan yang memilik karakteristik hewan khas transisi benua Asia dengan Australia. Kawasan Wallacea berada di wilayah tengah Indonesia; membentang meliputi Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Bentangan kawasan Wallacea berdasarkan garis-garis batas imajiner yang dikemukakan Alfred Russel Wallace. 
wikipedia.org
wikipedia.org
Fred, satu-satunya wisatawan bule yang sudah berusia lanjut, juga kesenangan. Dengan membawa pengetahuan itu, hiking bersama kami untuk tujuan itu, menapaki kembali jejak yang pernah dilalui Alfred Russel Wallace. Ia senang sekali karena sangat tahu susahnya melihat langsung burung seriwang sangihe. 

Habitat burung ini kini hanya dapat ditemui di wilayah pegunungan selatan pulau Sangihe ini. Tak bisa ditemui di belahan bumi mana pun.  Namun, sekalipun orang segala penjuru dunia sengaja datang ke Sahendaruman melihat burung ini, belum tentu mereka beruntung melihatnya seperti kami. 

kitabisa.com
kitabisa.com
Kemunculan burung ini biasanya di 1000 mdpl atau di lembah pegunungan yang yang tak dijamah manusia. Pegunungan Sahendaruman luasnya sekitar 550 ha dengan jumlah lembah sekitar 45 lembah. Kami, yang berada di ketinggian 700 mdpl, dan di titik hutan yang sudah dijamah manusia untuk pengembangan wisata alam, tanpa susah-payah mencari lihat burung ini,  sangat-sangat beruntung dapat melihat seriwang sangihe saat santai menyusuri jalan setapak hutan. Maka, alangkah senangnya kami. Fred sempat mengabadikan seriwang sangihe dengan kameranya. 

Fred dan aku saling menjelaskan kepada wisatawan yang kupandu. Seringnya kutekankan informasi kepada Kanaya. Burung ini ditemukan pertama kali oleh Adolf B. Meyer pada tahun 1873 di Pulau Sangihe. Setelah itu, tidak sekalipun burung ini terlihat kembali. Dianggap sudah punah. Tiba-tiba, pada Oktober 1998, 125 tahun kemudian, ditemukan 19 ekor burung seriwang sangihe di sekitar pegunungan Sahendaruman ini.

http://canvas.pantone.com
http://canvas.pantone.com
Namun, semua yang kusampaikan tak masuk juga ke jiwa Kanaya. Jiwa yang kupastikan telah disesaki kemudahan teknologi dan kesenangan gemerlap modernitas kota.


"Bodo ah. Gak suka burung. Itu mah hobinya cowok," tanggapnya bikin kesalku. 

Anggi yang membalas Kanaya. "Serius lu gak suka burung?" Mata Anggi menatap nakal ke Kanaya. 

"Iiih, burung apaan sih maksudmu, Kak Anggi?" Kanaya memukul Anggi dengan topinya. Menimbulkan gelak tawa wisatawan lain. Termasuk diriku. Tapi segera kuingatkan jangan ribut di hutan.

Anggi, juga sempat membuat kami tersenyum geli saat di perjalanan. Anggi saat itu bermaksud hendak mematahkan keluhan Kanaya. "Kanaya, lo tuh ke sini belajar buat jadi cewek survive. Cowok suka cewek survive. Kalo lu suka ngeluh terus, bisa-bisa lo jadi perawan tua!" 

Aku dan semua dalam minibus tersenyum geli bahkan Kevin si bocah yang mengidap asma, tertawa tergelak. Luqman dan Prita, orang tua Kevin ikut tersenyum dan senang melihat anaknya menikmati hiking. Om Her juga tersenyum. Cuma Fred yang celingak-celinguk ingin mengerti yang  terjadi.

"What happened?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.

Kevin menjawab terbata dalam bahasa Inggris. "Anggi called Kanaya name is old maid. I am imagine Kanaya as a old maid." Kevin masih tergelak dengan tubuhnya terguncang-guncang minibus yang melintasi jalan tak beraspal.

"What?! Why?" Fred tak bisa menahan penasaran.

"Eh, Ndut!" Kanaya memanggil Kevin "gendut". "Seneng ya liat Kakak jadi perawan tua. Awas ya. Kakak gelitik, nih." Kanaya yang duduk di kursi seorangan, bersebelahan kursi Kevin dan kedua orang tuanya, mencoba menggapai Kevin. Kanaya urung menggelitik karena minibus berguncang.

Aku mencoba menjelaskan pada Fred, tapi Anggi dan Prita, serempak bersahutan menjawab. Fred lebih mendengarkan Prita yang duduk di depan kursi Fred. Anggi duduk paling belakang sambil selonjoran. "Jangan dipikirin, Fred. Itu cuma guyonan ABG." Begitulah arti kira-kira yang dikatakan Prita dalam bahasa Inggris yang fasih. Aku tak jago-jago kali bahasa Inggris. 

"Ini minibus tua,"  jelas Om Her dengan logat Timur-nya. "Bisa saya perbaiki, bisa juga tidak. Kalau radiatornya saja yang bocor, bisa saya perbaiki ini mobil. Tapi takutnya saya, sistem pendingin ini mobil ikutan rusak juga. Banyak sudah yang minta diganti ini mobil. Saya kan sudah wanti-wanti jauh hari sebelum hiking. Berisiko pigi dengan minibus tua. Apalagi jalan tak ramah. Ah, sudahlah. Ini mobil saya coba perbaiki terus. Tak tahu makan waktu berapa lama," kata Om Her masih menunjukkan muka susahnya.

Aku benar-benar susah hati. Kukira bakal selesai kerjaanku memandu wisatawan dengan lancar.  Perjalanan pulang sudah kuperhitungkan memakan waktu sekitar satu jam sampai ke Tahuna, berpapasan waktu magrib. Tapi, mogok di tengah hutan, menjelang malam pula, benar-benar bikin masalah. Sejauh mata memandang adalah hutan dan lembah-lembah tak bertuan. Penghuni terdekat terdapat di sebuah kampung, masih berjarak sekitar sekitar enam kilometer dari posisi mogok kami.

Fred keluar dari minibus. Mendatangi kami cuma bilang mau buang air besar. Tak peduli dengan yang sedang kami alami. Ia turun ke lembah dengan alat bantu tongkatnya. Membelah semak-semak, ke arah aliran sungai. Tua-tua berani. Egois juga iya. Aku cuma pesan padanya, jangan jauh-jauh dan lama.

Anggi juga turun. Memperhatikan hutan sekeliling. "Kenapa mobilnya, Om?" Anggi bertanya acuh tak acuh. Ia sibuk menyiapkan kameranya memotret. 

"Mogok," kataku. "Anggi silakan santai dulu sambil motret-motret, ya." Tanpa disarankan begitu, dia telah tahu apa yang mau diperbuatnya saat turun dari minibus. Kanaya tak turun. Kupastikan karena takut. 

Om Her sudah mengeluarkan peralatannya. Mencoba terus memperbaiki mesin mobil. Kuperhatikan wajahnya mengeluarkan keringat padahal udara sejuk. "Cari bantuan," bisiknya kemudian. "Saya tak yakin ini mobil bisa beres."

Aku menarik nafas dalam. Kutelpon rekan-rekan di Tahuna yang punya mobil.

"Tolonglah, Om Tio. Darurat ini. Yang lain pada tak bisa," kataku mendesak. Aku pernah rental sedannya. Dia menyanggupi, tapi sedannya cuma bisa angkut empat orang. Kami pun harus menunggu sekitar dua jam sebelum sedan tiba ke lokasi kami. Sedan mengambil jalan memutar arah ke lokasi kami. Jalan terdekat yang biasa ditempuh kendaraan sekitar satu jam, tak diambilnya karena di titik-titik tertentu jalanan retak, tikungan patah, dan sisi jalan yang terancam amblas.

"Aman, Om?" Luqman, suami Prita turun dari mobil juga. Bertanya serius pada kami.

"Sabar, Pak, ya. Lagi dibereskan. Kalo tak bisa juga, ada mobil yang sedang ke mari menjemput kita."

"Lha, gimana ini? Ini mau malam. Kevin mulai tak nyaman. Si Kanaya pun sibuk mengeluh. Anak saya ikutan cemas. Emang berapa lama mobil jemputan ke mari?"

Berat hati kujawab, "Sekitar dua jam, Pak."

"Waduh, dua jam?! Sekitar 45 menit lagi mau malam ini. Berarti pas sudah malam kita masih di sini?! Bagaimana bisa begitu? Apa gak bisa lebih cepat mobil pengganti datang? Anak saya, kau tau dia kena asma. Kami pun pagi harus sudah di Bandara Naha. Pesawat kami berangkat pukul 07.00 ke Jakarta."

"Pak, jangan panik. Kami lagi berusaha. Gak ada yang mau keadaan begini!"

"Pokoknya kalian harus bertanggung jawab. Kalo anak saya terjadi apa-apa dan kami ketinggalan pesawat, kalian harus bertanggung jawab! Sudah tahu rute susah, kenapa bawa mobil rongsokan?! Emang kami bayar murah buat jasa travel kalian, tapi bukan seenaknya begini juga kami dilayani?!"

Aku emosi mendengar kata-katanya. Keadaan lagi susah, kenapa pegawai terhormat ini harus menyakiti dan membuat situasi tambah runyam. Mau kuluapkan kesusahan kami padanya supaya dia tahu keadaan kami. Aku ini tak punya pekerjaan tetap. Apa saja kulakukan yang penting halal. Melaut, jualan ikan, narik angkot, termasuk merintis bisnis jadi pemandu wisata sekarang ini. Aku ini pendatang di Sangihe, tak bertanah, berumah, dan modal apa-apa. Hanya modal pengalaman dan pengetahuan menjelajah pegunungan, lalu meyakinkan diri dan Om Her untuk merintis bisnis traveling ini.

Demi mendapat wisatawan, kami diam-diam memotong standar biaya jasa travel di sini . Kami juga nekat menjalankan bisnis ini meskipun belum mendapat izin dari Dinas Pariwisata dan tak punya asuransi untuk wisatawan. Minibus rongsok yang dihina Tuan Luqman terhormat ini, adalah angkot yang hari-hari alat mengais rezeki Om Her. Aku memanfaatkan modal terbatas dan meyakinkan Om Her, merintis usaha prospek ini demi tambahan untuk mencukupi kebutuhan kami tanpa mengemis apalagi mencuri. Om Her  butuh biaya berobat rutin untuk sakit jantungnya, biaya sekolah untuk anak terkecilnya, dan juga  melunasi utang-utangnya. 

Mau kuhamburkan semua kesusahan kami pada Tuan Terhormat ini, tapi tak jadi. Teriakan Anggi memecahkan situasi memanas di antara kami.

Anggi kami lihat terduduk di tanah. "Sori, Om. Kepleset aku. Tadi kirain bakal jatuh ke jurang. Maap, Om." Jurang dengan lembah yang berhutan itu, sangat dekat dari posisi jatuhnya Anggi. Dia bangkit, berdiri sambil meringis. Kakinya sepertinya tergilir. Aku bantu memapahnya.

Kanaya keluar dari minibus dengan ributnya. "Kak Anggii, kenapa? Ada beruang ya? Liat singa, harimau? Apa dipatuk ular berbisa? Aaah..., Kak Anggi, jangan mati!" Kanaya menangis menghambur ikut memapah Anggi.

Dari minibus, Kevin terdengar menangis memanggil ayahnya. Luqman bergegas masuk ke minibus.

"Jangan konyol deh!" Anggi menepis tangan Kanaya.  "Mana ada beruang, harimau di sini.  Tadi aku tuh liat kuskus di pohon di situ. Mau motret, eh tapi kepleset. Udah lepasin. Mas ini bisa kok mapahin aku sendiri." Anggi makin menggelayut ke leherku. 

jamitarris.photoshelter.com|Jami Tarris
jamitarris.photoshelter.com|Jami Tarris
Kanaya berhenti menangis. Sekilas menatap Anggi penuh arti. Tapi kemudian sudah sibuk ke sekeliling, ketakutan. Senter handphone dihidupkan padahal sore masih terang.

Aku mendudukkan Anggi di pinggir jalan. "Tolong jaga Kanaya, ya." Anggi mengacungkan jempol tanda siap. Anggi menghidupkan kamera mirrorless, merekam santai yang sedang terjadi. Kanaya ikut duduk merapat samping Anggi. Aku masuk ke minibus.

"Baik-baik semua, Pak, Bu?" tanyaku. Kevin kulihat menangis merangkul ibunya, Prita.

"Kapan jalan lagi mobilnya, Mas?" tanya Prita cemas sambil mengusap kepala Kevin. 

"Tenang, Sayang. Sebentar lagi jalan. Ya, 'kan, Mas?!" Luqman yang menjawab dan memerintahkan dengan isyarat agar aku mengiyakan. Aku paham maksudnya.

"Ya, Bu. Bentar lagi beres. Mobilnya lagi didinginkan dulu. Dik Kevin, santai aja, ya."

"Tuh, Kevin,  dengar 'kan? Gak ada apa-apa. Sebentar lagi beres. Kak Anggi tadi kepleset doang gara-gara kesenangan liat kuskus. Bukan diterkam beruang. Jangan dengerin kak Kanaya. Ngawur dia. Cengeng dia. Kevin anak kuat dan pintar 'kan?" Luqman menenangkan Kevin. Kulihat kasih sayang dan bijaknya sebagai ayah. "Mama dan Kevin di sini aja kalo gak mau keluar mobil. Tenang aja. Kami ke luar dulu ya. Oh ya, ini lotion anti nyamuk dan obat asma." Luqman mengeluarkan obat-obatan itu dari tas pinggangnya.

Saat di luar minibus, Luqman tegas berkata. "Kamu lihat anakku. Dia sudah takut. Angin malam dan dingin, berefek buruk bagi asmanya. Kamu harus segera cari solusi, kami harus diberangkatkan sebelum malam datang. Tak bisa menunggu sedan itu."

"Iya, Pak. Saya usahakan lagi." Aku mencoba menelpon penjaga pos hutan di pondok. 

"Kamu apa tidak ada kenalan terdekat sekitar sini?" Luqman bertanya lagi saat aku sedang menelpon penjaga pos. 

"Iya, Pak. Ini saya coba telpon lagi," kataku.

"Halo, Bos," sapaku di telpon. Penjaga pos menyimpan nomorku. Tanpa perlu lagi kukenalkan diri, kuceritakan masalahku cepat-cepat. Kami butuh mobil terdekat yang bisa jemput dan antar pulang kami sebelum malam datang. Paling tidak bisa membawa tiga penumpang.

Mendengar tanggapannya, sedikit menenangkanku. Ia siap siaga. Ia segera turun dari pos melihat lokasi kami. Sekalian dicari bantuan. Sekitar lima belas menit tiba, katanya. 

Aku melihat sekeliling. Menghempas nafas. Matahari tiga puluh menit  lagi akan tenggelam. Om Her masih berkutat di mesin minibus. Anggi masih memainkan kamera mirrorlessnya, menyorot ke arahku. Santai saja dia tanpa beban. Lebih baik begitu daripada Kanaya yang panik. Meringkuk di pinggang Anggi bagai anak kecil ketakutan. 

"Bagaimana?" tanya Luqman. Belum sempat kujawab, samar-samar kudengar bunyi peluit dari arah lembah Fred turun tadi. Bunyi peluit berulang-ulang, panjang pendek. Kuyakin itu Fred.

"Nanti bantuan datang," jawabku sekenanya pada Luqman. "Sebentar, Pak. Di sini aja dulu. Saya mau lihat si kakek bule itu." 

Tanpa menunggu responnya, aku turuni lembah. Menyibak semak dan reranting pohon. Mengikuti suara peluit. Makin dekat, makin terdengar jelas pula arus sungai. Kutemui Fred berdiri sambil mendongak ke arah pohon sambil ancang-ancang memotret. Tak ada apa-apa yang terjadi. Peluitnya rupanya untuk memanggil burung. 

"Fred, ayo kembali."

"Wait a minute," ia mengarahkan moncong kamera ke arah secabang pohon banyak ranting dan dedaunan. Sesaat aku takjub, beberapa burung madu sangihe bertengger di sana. Burung endemik pulau Sangihe! Tapi aku tak bisa menikmati lama-lama. Kulihat kabut keluar dari punggung bukit sebelah sungai. Merayap di atas sungai. Mendekati jalanan. Gawat!

Aku meminta Fred segera menyelesaikan urusannya. Aku pernah trauma dengan kabut. Terjebak hampir dua jam dalam kabut pegunungan. Kabut benar-benar membutakan perjalanan kami. Dinginnya dalam kabut pun seperti jarum menusuk tulang. Aku ingat anaknya Luqman yang mengidap asma. Para gadis yang tak membawa jaket. Titik-titik jalan yang rusak, menyempit karena amblas di sisiannya, tikungan patahnya, menjadi peringatan berbahaya untuk kami lintasi saat malam apalagi berkabut. Ya, Tuhan, ringankan masalah kami ini. Sampaikan kami ke tujuan dengan selamat. Nyalakanlah kembali mobil kami.

Saat kembali ke minibus, aku mengutip ranting dan kayu untuk membuat api unggun. Masih berpikiran juga bagaimana kami bisa berangkat lagi secepatnya kalau mobil masih mogok. Harapanku, selain mesin nyala kembali adalah bantuan orang datang. 

Saat tiba di pinggir jalan tempat minibus mogok, kulihat Luqman berbicara bersama seorang bapak paruh baya. Anggi sedang merekam diri bersama seorang ibu dengan kayu bakar di punggungnya. 

"Hai, liat kami. Aku lagi bersama seorang ibu, penduduk asli Sangir. Ibu ini tangguh. Tau gak, ibu ini sore-sore gini, baru pulang dari hutan bersama sang suami. Itu tuh suami beliau." Kamera disorot ke lelaki yang sedang bicara dengan Luqman. "Nyari buah pala dan cengkeh. Itu karung di motor berisi cengkeh dan pala. Udah ya. Saya rekam ini untuk mencontoh perjuangan dan ketangguhan hidup mereka, jangan kek Kanaya ini." Kanaya memukul kesal Anggi. Ibu itu tersenyum saja.

Aku letakkan kayu. Fred kuminta tolong bakar kayu itu. Aku menghadap bapak itu. "Kera habare, Om? Boa apa, sarang apa, Om?" Aku menanyakan kabar, dari mana dan mau ke mana dalam bahasa Sangir, bahasa lokal penduduk pulau Sangihe. 

Dari percakapan dengan bapak itu, bebanku mulai terangkat. Dia mendapat telepon dari penjaga pos hutan untuk membantu kami. Rumah pondok mereka sekitar satu kilometer dari posisi mogok kami, berjarak dan terpisah lima kilometeran dari perkampungan. Ia juga sudah menelepon pemilik mobil di kampung terdekat untuk menjemput kami. Mobil jemputan bisa juga mengantar kami sampai ke Tahuna. Sementara mobil diperbaiki atau mobil jemputan datang, kami bisa melepas lelah di rumah pondoknya.

Om Tio segera kutelpon agar membatalkan jemputan untuk kami. Penjaga pos datang dengan motornya. Mobil Kijang Toyota tua juga datang belakangan. Ketika kulihat hati orang-orang yang tergerak membantu kesusahanku, hatiku berdesir haru. 

Sepuluh menit sebelum matahari tenggelam,  dengan Toyota Kijang kuberangkatkan wisatawan ke penginapan di Tahuna, kecuali Fred. Fred tak kusangka-sangka, menggenggamkan duit lima ratusan ribu padaku. Uang muka, katanya. Dia mau hiking beberapa hari lagi ke depan dan mau dipandu bersamaku. Sementara ini dia akan bermalam di pegunungan ini dengan Om Her. Tak masalah bermalam di minibus atau di rumah pondok bapak-ibu tadi yang siap sedia menjemput dan memberi inap.

Aku nyaris menitik air mata. Fred, si bule yang kunilai egois dan tak mengerti bahasa Indonesia, tapi tahu dan peka kesulitan keuangan kami. Duit jasa pandu itu bisa saja dikasih besok saat kesepakatan sudah cocok, tapi dia memberikan saat-saat kami lagi membutuhkan. Duitnya sangat berarti untuk biaya pengeluaran tak terduga kami sekarang ini. Duit itu juga untuk buat beli yang diperlukan minibus Om Her yang rusak. 

Tadi duitku cuma sisa 50ribuan rupiah, dan kugunakan buat "uang bensin" si penjaga pos. Tak seberapa nilai uang itu, tapi nilai bantuan penjaga pos itu sangat berarti bagi kami, kataku. Kubilang padanya, ketika ke Tahuna, jangan lupa hubungi aku kapan saja. Untuk ibu-bapak tadi, yang kini kuanggap jadi orang tuaku, kujanjikan besok pagi saat kembali ke sini, kubawa ikan-ikan segar dari Tahuna. *** 

(Bener Meriah, Aceh, November 2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun