Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Negeri Para Tikus (2)

3 Agustus 2019   11:02 Diperbarui: 6 Agustus 2019   10:22 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah sang isteri tikus menunjuk pisau dapur ke arah televisi dan mengamuk apa adanya, aku tikus istimewa segera bersiap-siap untuk menghadap Dia yang di atas sana. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00.Terlintas di batinku, niat untuk mengurung menghadapNya. Aku sungguh merasakan perasaan itu. Merasakan kenikmatan mendalam atas perasaan untuk enggan berdoa. Aku terus melihat jalan pikiranku. 

Syukurlah perasaan dan pikiranku itu akhirnya pergi entah ke mana. Yang tinggal padaku sekarang hanya rasa kelegaan. Batin menjadi diam dan hening kembali.

Batin heningku kini terganggu kembali. Teringat aku pada kotbah pemimpin agama pada hari ibadat minggu lalu. 

Aku merasa jengkel bila teringat kata-katanya. Terkadang juga aku marah. Sakit terasa hati ini bila melihat dan mendengar para pemimpin agama sekarang ini mulai melakukan perselingkuhan.

Perselingkuhan di negeri antah-berantah sekarang banyak ragamnya. Perselingkuhan antara dunia teologi dan dunia politik. Dua dunia ini dikangkangi oleh sebagian besar pemimpin agama. Pemimpin agama tidak lagi mengurus hal-hal yang bersifat teologis saja tetapi juga mengurus hal-hal yang bersifat politis. Perselingkuhan mereka membuat aku tikus yang bodoh ini menjadi pusing. 

Aku pusing mendengar isi kotbah yang diselipi oleh muatan politis. Dalam hatiku menggerutu apakah muka pemimpin agama sekarang ini bertopeng dan berbopeng pula?

Pergulatan batin ini berakhir tatkala tikus berambut putih mendekatiku. Tanpa diminta bernostalgia tentang perubahan zaman, beliau langsung berpidato di hadapanku. Sang tikus putih bernostalgia: 

"Dulu pada saat kakekmu ini masih muda, tidak terdengar kotbah-kotbah provokatif di rumah-rumah ibadat. Yang ada hanya penjelasan isi kitab suci dan hubungannya dengan konteks kekinian. Bagaimana kitab suci menyoroti praktek hidup jemaat yang hidup pada masa kini. Pemimpin agama tidak boleh menyinggung perasaan pemeluk agama-agama lain dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Pemimpin agama hanya diperkenankan untuk menggunakan hak politiknya lewat pemilihan umum dan memberikan masukan yang positif untuk negeri".

Aku hanya diam. Di sisi lain aku juga membenarkan si kakek. Sang kakek tidak mau peduli dengan sikap diamku. Dia tetap melanjutkan. "Tidak heran, dari toa-toa rumah ibadat sekarang ini, isi kotbah mengandung dua hal sekaligus. Pada satu sisi, isi kotbah mengandung unsur putih dan satu sisinya mengandung unsur hitam. Unsur putih membuat hati jemaat terasa sejuk, damai dan tercerahkan. Unsur hitam membuat hati jemaat risau, cemas dan marah". 

Lantas nenek tertawa dan melanjutkan: "Isi kotbah yang hampir sama warna kulit ular sanca. Satu sisi kulitnya berguna untuk dijadikan sepatu, tas dan sebagainya namun pada sisi lain dia tetaplah ular. Ular menurut kepercayaan sebagaian masyarakat merupakan simbol dari setan, kelicikan dan lain-lain".

Kali ini aku memuji pikiran sang kakek. Pujian ini tidak aku ungkapkan tetapi aku pendamkan saja dalam hati. Kakek mengambil sebatang rokok dan membakarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun