Cangkir kopi pernah berkisah tentangmu yang masih saja di awang – awang. Berdiam diri dalam ruangmu yang pekat penuh  sekat. Perempuan mana yang membuatmu hingga terus mencaci diri. Lalu kau pilih mengeja waktu tentang harapan yang buntu. Menyalahkannya karna tak ada yang patut dibenarkan.
Seorang yang pulang bukan berarti tak rindu pergi. Bergumul dengan pagi yang tak kunjung jadi. Karna ruangmu pekat bersekat. Mana bisa kau kumpulkan kopi yang tercecer setelah kau tumpahkan. Jika mencintai adalah perihal mengikhlaskan. Lalu yang kau butuhkan ialah melepas semua yang mengikat, menanggalkan semua yang tinggal.
Betapa kupaham, perihal kau yang sudah jauh melangkah. Terlalu frontal dalam hal mengabaikan. Maka kau tak pernah menang cepat dengan waktu yang kian berusia. kau tak kunjung berhenti, berlomba dengan dirimu sendiri. Padahal, barangkali kau yang butuh disembuhkan. Barangkali kau yang butuh diseka air matanya. Tak apa jika kau kalah, karna dunia bukan tentang kalah atau menang. Tak apa jika kau kalah, maka Tuhan akan menguatkan.
Seberapa kuat kau memeluk harapan dalam penantian. Tetap pada mata-mata kita ialah jawaban akan sebuah kepastian. Seberapa besar yang kau simpan dalam isi kepala. Tak akan pernah mengubah sejatinya dirimu. Karna, Kau ialah laki-laki dengan senyum semangkuk sup buatan emak. Yang memberi dekat yang menghangatkan. Laki-laki yang di wajahnya merindukan kepulangan, setelah jauh tersesat dalam asa yang belum jua mereda.
Ikhlaskanlah, maka kau akan mencintai secara penuh.