Mohon tunggu...
Elina A. Kharisma
Elina A. Kharisma Mohon Tunggu... Guru - Berbagi hal baik dengan menulis

Seorang kutu buku dan penikmat musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Terindah Versiku

22 Januari 2017   16:45 Diperbarui: 22 Januari 2017   17:01 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihat ibu duduk dikelilingi oleh keluarga besarku. Aku juga melihat beberapa tetangga dekat datang lalu memeluk ibu. Ibu pun membalas pelukan itu. Ya. Aku masih ingat betul rasa nyaman pelukan seorang ibu seperti yang aku rasakan sore itu.

“Ibu, mengapa aku terlahir sebagai perempuan? Jika bisa memilih, aku ingin menjadi laki-laki saja. Kalau aku seorang laki-laki, aku mau jadi laki-laki yang kuat lalu bekerja keras untuk membahagiakan ibu. Aku pasti bisa melindungi ibu,” kataku pada ibu saat kami menonton televisi bersama.

“Langit, menjadi seorang wanita adalah hal yang istimewa. Wanita ada karena Sang Pencipta mengatakan bahwa berdua lebih baik daripada sendiri,” jawabnya sambil merengkuhku dalam pelukannya lalu mencium pipiku.

 “Wanita bukanlah makhluk yang lemah. Sebaliknya, wanita adalah sosok yang tangguh bahkan mampu menjadi partner yang sepadan untuk laki-laki,” lanjutnya.

Di saat yang sama aku merasa tidak memahami sekaligus tidak dipahami. Ibu tidak mengerti betapa aku ingin selalu melihatnya bahagia dan melindunginya. Entah mengapa aku tidak sepenuhnya mengerti perkataan ibu. Mungkin otak remajaku sudah dipenuhi oleh pelajaran di sekolah sehingga tidak ada sedikitpun ruang untuk mencerna kata-kata ibu yang terdengar bijaksana itu.

“Ah, kalau saja ayah masih ada pasti aku tidak perlu tanyakan itu pada ibu,” batinku saat ibu melepaskanku dari dekapannya.

***

Waktu menunjukkan pukul 10:00. Ada seorang pria berkemeja biru tua menghampiri ibu dengan segelas air putih di tangannya. Om Damar, begitu aku memanggil pria yang selalu memperhatikan ibu. Saat melihat Om Damar menyodorkan gelas itu kepada wanita tercantik dalam hidupku, terlintas perbincanganku dengan ibu waktu kami mempersiapkan makan malam tiga tahun silam.

“Ibu, apakah ibu tidak ingin menikah lagi? Aku yakin ada pria yang menaruh hati pada ibu. Lagipula aku tidak akan cemburu kalau ibu mencintai suami ibu yang baru,” kataku seraya memotong wortel untuk campuran sup jagung kesukaanku.

“Ibu sudah cukup bahagia walaupun tidak mempunyai suami.”

Ibu masih tampak sibuk memilah-milah bawang putih yang akan dikupasnya. Sepertinya pertanyaanku tidak terlalu menarik perhatiannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun