Mewarisi wajah rupawan dari Ibu juga kepiawaianku dalam memperagakan tari, membuatku begitu mudah menyandang predikat bintang baru di istana kesultanan. Tamu-tamu berdecak kagum memujiku. Tak terkecuali Sultan, wajah beliau tampak berseri-seri. Berkali-kali penguasa yang sangat disegani itu bertepuk tangan.
"Anarkali, tampilkan lagi satu tarian untuk kami!" itu perintah Sultan. Kiranya satu tarian tak cukup memuaskan hati Sultan dan para tamunya. Tentu saja aku wajib menurutinya.
Entah sejak kapan sepasang mata itu mengawasiku. Aku baru menyadari ketika tubuhku meliuk berputar mengitari pilar-pilar bangunan mengikuti rampak kendang. Mata itu...bagai mata elang seolah hendak menyambarku.
"Salim!" suara Sultan lagi. Pemilik mata elang yang semula hanya mengintip dari balik kelambu pembatas ruangan, muncul. Ia berjalan gagah dan duduk dengan tenang di samping Sultan.
Mendadak konsentrasi menariku pecah. Beberapa kali gerakan tarianku salah. Oh, jika Ibu melihatnya, pasti ia akan marah besar padaku.
Salim? Siapa dia?
Sultan menjentikkan ujung jemarinya. Memberi tanda padaku agar mengakhiri tarian yang kuperagakan. Aku menarik napas lega. Selain sudah lelah, kukira...tatapan mata elang lelaki bernama Salim itulah yang membuatku ingin sesegera mungkin berlari meninggalkan ruangan.
***
"Kau tidak boleh jatuh cinta padanya, Anarkali, pada putra mahkota itu," Ibu mengingatkanku.
"Bagaimana Ibu tahu aku sedang jatuh cinta?" wajahku mendadak bersemu merah.
Ibu tertawa.