Mohon tunggu...
eka azwin lubis
eka azwin lubis Mohon Tunggu... -

belajar menulis untuk mengeksplorasi segala gagasan kecil yg dharapkan jd setitik sumbangsih bagi perubahan peradaban kaku.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Fenomena Klasik Ketidakadilan Hukum di Indonesia

23 Mei 2012   03:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:56 5726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,ras, etnik,kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya. Isi pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dibuat sebagai landasan hukum bagi Indonesia dalam menerapkan keadilan tanpa bentuk diskriminatif sesuai amanah Pancasila yang salah satu butirnya menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Isi pasal tersebutlah yang coba diterapkan oleh negara sebagai upaya dalam menekan ketimpangan sosial yang terjadi ditengah kehidupan bermasyarakat rakyat Indonesia yang dikenal majmuk dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda baik dari sisi agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, seperti yang dijelaskan diatas agar tidak terjadi konflik horizontal antar sesama bangsa Indonesia.

Namun cita-cita mulia negara tersebut agaknya tidak diiringi dengan keprofesionalan oknum pemerintah yang menjalankan roda birokrasi negara dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus menggunakan bentuk diskriminatif agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar sesama bangsa Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana buruknya sistem pelayanan sosial ditengah kehudupan masyarakat yang salah satu penyebabnya karena pihak aparatur negara masih mengedepankan diskriminasi dalam menjalankan kinerja mereka demi keuntungan personalia yang berakibat pada jeleknya image instansi yang mereka naungi dimata masyarakat luas. Satu contoh yang dapat diambil adalah bagaimana pelayanan hukum di Indonesia yang kerap kali diselingi dengan berbagai bentuk diskriminasi dalam penegakanya.

Para koruptor yang notebenenya adalah pencuri uang rakyat senantiasa mendapat pelayanan hukm yang istimewa meskipun mereka telah berada didalam penjara. Kerap kali kita dengar mereka yang memiliki dana besar untuk menyuap para oknum penegak hukum dapat menikmati kehidupan layaknya orang biasa yang tidak berada di jeruji besi. Uang yang mereka rampas dari hak rakyat itulah yang digunakan untuk menjamin pelayanan ekstra dalam menjalani proses hukum yang mereka hadapi. Hal tersebut tentu tidak berdampak pada taubatnya sang narapidana tipikor dalam melakukan penyimpangan yang merugikan negara karena dimanapun mereka berada tetap fasilitas mewah dan ekstra dapat mereka miliki.

Kita masih ingat bagaimana Artalita Suryani tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mendapat fasilitas mewah berupa ruang tahanan yang dimodif ala kamar hotel bintang lima yang dilengkapi dengan berbagai layanan yang menjadi kebutuhan sang napi. Atau kisah dari tersangka kasus korupsi di Kantor Pajakan Gayus Tambunan yang saat ditahan justru bisa pelesiran ke bali untuk menonton pertandingan tenis Internasional, bahkan pergi keluar negeri dengan uang yang dia miliki hasil dari korupsi yang ia lakukan.

Selain itu isu yang paling sering terjadi tentang pelayanan ekstra para napi berdasi ini adalah izin berobat yang senantiasa menjadi jurus ampuh bagi mereka yang tersandung masalah korupsi. Cara ini merupakan hal klasik yang selalu digunakan oleh koruptor sebagai upaya menunda-nunda persidangan yang berakhir pada terbenamnya kasus mereka dikemudian hari.

Dimulai dari Sjamsul Nursalim tersangka kasus penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) II atau kasus Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dimana Bank ini menerima kucuran dana sebesar Rp28,4 triliun dari program BLBI. Dalam panggilan ketiga Kejagung, Sjamsul yang sedianya akan dimintai keterangan seputar negosiasi dalam perjanjian Master Settlement for Acquisition Agreement (MSAA) dengan Badan Pengawas Perbankan Nasional (BPPN) melalui kuasa hukumnya Maqdir Ismail dan Eri Hertiawan, menyatakan tidak bisa hadir karena sedang menjalani pengobatan di luar negari setelah pada dua panggilan sebelumnya dia juga tidak menghadiri persidangan. Hingga saat ini kasus tersebut belum menemukan titik terang dalam penyelesaiannya, bahkan sempat tersiar kabar bahwa Sjamsul saat ini telah menjadi buronan walaupun kabar tersebut dibantah oleh pihak Kejagung.

Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati Kutai Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan Itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya menjalankannya.

Dan yang terbaru dan masih hangat adalah kasus yang menimpa istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun, Nunun Nurbaiti yang tersandung masalah kasus cek pelawat dan ditahan di rutan Pondok Bambu. Nunun yang sebelumnya menghuni Paviliun Dahlia ruang 112 bersama puluhan napi wanita lainnya, dipindahkan keruang 14 bersebelahan dengan Melinda Dee, tersangka kasus Citibank, karena Nunun berulang kali menderita sakit dan harus dirujuk kerumah sakit. Hingga pada saat ini ia hanya tinggal berdua dalam satu ruangan dengan Heni Farida tersangka kasus pemalsuan surat yang tentunya lebih nyaman dibanding ruang tahanan sebelumnya. Hal ini pasti tidak akan didapatkan oleh napi lain walaupun mereka memiliki keluhan yang sama karena kapasitas pamor yang mereka miliki berbeda.

Dari beberapa contoh kasus diatas kita dapat melihat begitu istimewanya perlakuan hukum yang didapat oleh para penjahat yang telah merugikan negara. Uang dan Popularitas yang mereka miliki seolah dapat menjadi benteng pelindung bagi mereka meskipun kasus yang mereka timbulkan berdampak besar bagi kesejahteraan rakyat banyak.

Yang Miskin Tetap Sesuai Aturan Tegas

Jika para koruptor dapat tetap menikmati proses hukum yang mereka jalani dengan uang yang dimiliki, lain halnya dengan para rakyat kecil yang harus menjalani proses hukum yang tegas meskipun kejahatan yang mereka timbulkan dikarenakan lilitan kemiskinan yang meraka alami.

Dimulai dari kasus Nenuk Minah, seorang tua berusia 55 tahun yang harus menerima kenyataan pahit akibat perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) dan akibat perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Kejadian ini berawal saat Nek Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Nek Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika Nek Minah sedang memanen kedelai, dia melihat 3 buah kakao yang sudah ranum. Nek Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Namun naas baginya seorang mandor perkebunan kakao PT RSA memergoki aksinya dan melaporkannya kepolisi.

Selain kasus sepele yang berakibat panjang yang dialami Nek Minah tadi, masih banyak kasus serupa yang juga menimpa para rakyat msikin yang menjadi sasaran penegakkan hukum secara tegas. Seperti yang dialami Basar (40) dan Kholil (51) warga Kediri yang akibat kemiskinan mereka nekat mencuri semangka dan berujung pada ditahannya kedua orang tua ini. Atau kasus yang terjadi di Sidoarjo, dimana Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Jawa Timur, memvonis 100 hari kurungan penjara terhadap terdakwa Puguh Irawan (24). Terdakwa dinyatakan terbukti melanggar pasal 363 KUHP setelah mencuri setandan pisang milik Soni Lukmanto, warga Desa Bluru, Kecamatan Sidoarjo.

Yang terbaru adalah Kasus pencurian sandal jepit seharga Rp 30 ribu yang dilakukan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Palu, di Jalan Tanjung Santigi, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, AAL (15) yang saat ini kasusnya sudah sampai ke pengadilan.

Apakah ini yang dinamakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bagaimana jika seorang koruptor yang telah merugikan negara miliaran rupiah mendapat fasilitas ekstra dalam masa tahannya, sebaliknya para rakyat kecil yang karena lilitan kemiskinan lantas melakukan tindakan kirminal langsung diproses secara tegas.

Begitu mahalkah nilai keadilan dinegari ini sehingga ini telah menjadi fenomena klasik dalam sistem penegakkan hukum di Indonesia yang bersahabat dengan ketidakadilan.


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun