Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Burung Tak Lagi Manggung Lantaran Terpapar Radio Aktif

16 Februari 2020   09:33 Diperbarui: 16 Februari 2020   09:47 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Burung tak lagi bergairah melampiaskan birahinya. Foto | Hai-Online.com

Peristiwa zat radioaktif di Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Tangerang, Banten, diwartakan tak berbahaya bagi tubuh. Lantas, apa sih dampak buruknya bagi tubuh jika terpapar zat radiasi berbahaya itu.

Penulis ingin memaparkan sekelumit pengalaman orang terpapar zat radio aktif.

Temuan tim BATAN sedikit lebih tinggi dari alam. Ada sedikit lebih tinggi, kodenya itu ada sedikit lebih tinggi, sekitar 10 persen, 1-2 persen lebih tinggi daripada alam.

Meski kabar itu terasa menggembirakan, di sisi lain penting dipertanyakan mengapa ada zat radioaktif di kompleks perumahan. Padahal, zat radioaktif mestinya tidak boleh berada di tempat sembarangan, termasuk di sebuah pemukiman warga.

Ini perlu kejelasan. Sebab, paparan radiasi zat radioaktif di atas batas normal sebelumnya ditemukan di sebuah area tanah kosong yang berada di Blok J Perumahan Batan Indah, Serpong Tangsel.

Nilai paparan itu ditemukan lewat hasil pengecekan rutin oleh unit pemantau radioaktivitas lingkungan bergerak (mobile RDMS - MONA) milik Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN)  pada 30-31 Januari lalu.

Kini sejumlah lokasi mulai dari, Pamulang, Perumahan Dinas Puspiptek, Daerah Muncul dan Kampus ITI, Perumahan Batan Indah, dan Stasiun KA Serpong telah diteliti pihak BAPETEN.  Setelah diuji fungsi, ditemukan nilai paparan radiasi lingkungan dengan laju paparan terukur signifikan di atas nilai normal.

Lalu, kita pun bersyukur lantaran berbagai hal yang menyangkut keselamatan orang banyak terkait zat radio aktif disampaikan kepada publik. Lebih lanjut, kita ingin tindak lanjut bagi keselamatan manusia terhadap radio aktif  juga dilakukan dengan transparan.

Mengapa?

Begini. Penulis punya pengalaman ketika bermukim di Pontianak dan banyak keluyuran di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar). Mulai ujung Entikong, perbatasan RI- Malaysia, Kapuas Hulu, Sintang dan Telukmelano dan kota Kuching sering didatangi.

Yang menarik adalah kisah seorang Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Prov. Kalbar. Penulis tak perlu sebut namanya lantaran peristiwanya terjadi sekitar tahun 90-an. Sang kepala dinas ini juga rajin berkunjung ke daerah pedalaman untuk memantau pekerjaan di wilayah petambangan.


Salah satu yang sering didatangi adalah wilayah pertambangan uranium di Sintang. Nah, suatu saat ia mengambil salah satu bebatuan dari wilayah itu. Batu tersebut kemudian diletakan di ruang kerjanya dengan maksud sebagai contoh untuk menjelaskan berbagai jenis batuan di provinsi tersebut.

Sang kepala dinas ini memang punya pemahaman baik tentang dampak dari uranium. Namun tidak memperhatikan dampak buruknya bila diletakan di ruang kerjanya demikian lama. Untuk durasi waktu singkat sih, ya tak membawa pengaruh langsung. Namun, jika diletakan demikian lama, ya jelas membawa efek buruk bagi tubuhnya.

Disinilah keseruan terjadi. Sang kepala dinas sering kali bertandang ke kantor rekan kerjanya, di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dulu, pada era Soeharto lembaga itu lebih populer dengan sebutan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang didirikan pada 1970, berdasarkan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 1970.

Tentu saja sang kepala Dinas Pertambangan dan Energi itu berbicara tentang kesehatan keluarga dan program keluarga berencana. Ujung pembicaraan menukik pada persoalan dirinya, kok sudah setahun terakhir burung tak bisa manggung. Bahkan ikan Arwana yang dipelihara di ruang kerjanya "teit" alias mati meski diberi makan dengan secara rutin dan terkontrol apik.

"Kalau saya tak perlu lagi ikut KB. Penyebabnya itu tadi," ujar sang kepala dinas kepada rekannya.

"Mendapatkan anak itu adalah hak. Karena itu, pergilah ke dokter spesialis," imbau rekannya.

Lantaran diimbau seperti itu, sang kepala dinas tadi diam-diam berkonsultasi. Dulu, untuk mendapatkan dokter spesialis sungguh sulit. Tapi ia mengaku beruntung mendapatinya seorang dokter yang baru membuka praktek di Pontianak.

Apa yang didapat?

Ini terjadi bukan disebabkan santet seperti yang dikhawatirkan sang kepala dinas Pertambangan dan Energi itu. Jangan cepat bersangka buruk dengan cerita orang di pedalaman dapat mendeteksi lawan dengan penciumannya.

Lalu, apa?

Dijelaskan. Ini ada yang tak beres lantaran tak aktifnya burung diikuti dengan fungsi otot lainnya. Nafsu makan berkurang, malas bergerak dan masih ada hal lainnya. Lalu, sang dokter minta kepadanya untuk melakukan introspeksi.

Sebab, gejala seperti itu dapat dijumpai oleh seseorang yang terkena zat radio aktif. Misalnya, terkena radio aktif di ruang rontsen rumah sakit. Dalam literatur rontgen adalah tindakan menggunakan radiasi untuk mengambil gambar bagian dalam dari tubuh seseorang. Utamanya, rontgen digunakan untuk mendiagnosa masalah kesehatan dan yang lainnya untuk pemantauan kondisi kesehatan.

Sampai di situ, sang kepala dinas baru sadar. Ia telah meletakan jenis batu uranium di ruang kerjanya. Lalu, buru-buru benda tersebut diamankan sesuai prosedur. Sebab, dampak yang diderita ternyata juga dialami stafnya.

 Di Kalbar, menurut catatan penulis, didapati mineral radioaktif Uranium dengan nilai sedikitnya 25 ribu ton.

Hhingga Mei 2014, terdapat 25.436 ton U3O8 di Kalan. Belum di Melawi dan Kapuas Hulu.

Angka tersebut terdiri dari 1.608 ton kategori terukur, 6.456 ton terindikasi, 2.648 ton kategori tereka dan 14.727 ton hipotetik. Kepala Bidang Eksplorasi Pusat Pengembangan Geologi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Dr Ngadenin Hadisuwito pernah mengungkap, penyelidikan umum keberadaan mineral Uranium di wilayah itu telah dimulai pada 1970 di wilayah sekitar 266.000 Km2 bekerja sama dengan CEA Prancis.

Kepala Batan Dr Djarot Wisnubroto pernah mengatakan bahwa uranium di Indonesia mencapai 60 ribu ton dengan wilayah potensial seperti Kalbar dan Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Sulawesi Barat dan Papua.

Tapi perlu diingatkan bahwa penambangan mineral radioaktif tak dapat dilakukan secara komersial karena tak ada peraturan yang membolehkannya.

Sekalipun ada PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir), kita tetap mengimpor Uranium seperti juga banyak negara lain yang memiliki deposit uranium besar, namun tetap mengimpor. Jadi kita simpan saja untuk generasi yang akan datang. Kebetulan harga uranium masih murah.

Nah, berkaca dari pengalaman tersebut, kita harus hati-hati dengan zat radio aktif.

Sumber bacaan satu dan dua.

Salam berbagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun