Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru Melambung Pujian, Kemerdekaan dan Kesejahteraannya Melempem

26 November 2019   08:03 Diperbarui: 26 November 2019   17:44 3934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ir. Soekarno, Bapak Proklamator RI, sangat peduli dengan dunia pengajaran. Foto: Berdikari Online

 

Sang murid sudah menjadi walikota, eh sang guru masih asyik naik sepeda ke sekolah. Sang murid sudah pada kuliah, sang guru masih bangga dengan sepeda ontelnya untuk modal mengajar di sekolah.

Karena rasa bangganya dengan sang guru masih setia mengajar hingga usia senja. Sang murid yang sudah menjadi konglemerat menjumpainya di tengah perjalanan.

Sang guru ditawari motor baru. Tapi ditolak lantaran selain tak bisa mengemudikan motor juga tak mampu mengurus pajak pada hari berikutnya. Maka, sang guru tetap asyik menggoes ke sekolah. Ia tetap sehat lantaran rajin naik sepeda.

Dalam prespektif sejarah Islam, menghormati guru tak sebatas mencium tangannya saja ketika sang murid hendak masuk ke kelas. Juga tak cukup mengucap salam dan mengindahkan segala nasihatnya untuk giat belajar setiap hari. Apa lagi memberi hadiah mewah.

Itu saja tidak cukup.

Guru dalam pandangan Islam adalah "pelita", cahaya, di kegelapan malam. Melalui guru pulalah kita bisa menjadi seperti ini sekarang. Dengan guru pulalah kita merasa termotivasi menuntut ilmu sehingga diri bermanfaat bagi orang banyak.

Indonesia bisa merdeka lantaran hadirnya guru. Nggak percaya?

Bapak Proklamator RI, Ir. Soekarno itu ketika masih muda banyak belajar dari seorang guru. Yaitu, Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, lebih dikenal dengan nama H.O.S Tjokroaminoto, salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam.

Banyak tokoh pergerakan sebelum kemerdekaan belajar dengan H.O.S Tjokroaminoto. Antara lain Soekarno yang kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia. Tokoh besar lainnya yang menjadi guru adalah Jenderal Besar Raden Soedirman.

Sudirman lahir 24 Januari 1916 dan meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun. Ia adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia.

Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekurangan biaya. Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo.

Tahukah Anda, penghormatan kepada guru tak terbatas kepada para guru yang kini masih berdiri di depan jelas. Apa buktinya?

Ya, setiap pelaksanaan ibadah shalat Jumat sering kali di beberapa masjid sang ustaz mengajak jemaah membacakan surat Fatiha ditujukan kepada para orang tua, tokoh masyarakat yang membantu pembangunan masjid termasuk kepada para guru yang wafat karena telah mendidik kita sejak kecil.

Jadi, kita sangat dianjurkan mendoakan guru itu tak sebatas mengheningkan cipta pada saat peringatan hari guru. Setiap jumat dibacakan doa dan hingga kini berlanjut terus.

**

M. Quraish Shihab dalam Sirah Nabi Muhammad Saw menyoroti soal guru ini. Ia melukiskan bahwa pada masa sebelum kelahiran Muhammad, masyarakat Arab masa lalu sangat mahir menggunakan bahasa mereka dengan tepat dan baik, bahkan tidak jarang di antara mereka ada yang menggunakan kalimat-kalimat bersajak atau syair-syair secara spontan, dan ini dinamakan al-Mu'alaqat dalam arti yang sangat istimewa.

Syair-syair berfungsi, antara lain sebagai media yang dapat memuji seseorang atau melecehkannya, karena syair yang indah segera menyebar ke mana-mana, serupa dengan fungsi koran/majalah dan televisi seperti saat ini.

Di sisi lain, karena umumnya mereka tidak pandai membaca dan menulis, maka mereka sangat mengandalkan hafalan. Kemampuan mereka sangat mengagumkan, dan ini berperan besar dalam memelihara keontetikan ayat-ayat Alquran.

Realitasnya, memang, masyarakat Arab memiliki kemampuan menghafal yang berlanjut hingga kini, khususnya di pedesaan.

Apakah ini dibiarkan terus masyarakat mengandalkan kemampuan dan kehebatannya pada hafalan. Tentu hal itu harus diubah.

Nah, setelah perang Badar, keadaan itu diubah. Masyarakat muslim secara bertahap diberikan pembelajaran baca dan tulis.

Kisahnya begini. Nabi masih tetap tinggal di wilayah Badar selama tiga hari setelah perang berakhir. Lalu, 70 orang tawanan diperlakukan dengan baik. Nabi bermusyawarah dengan para sahabat. Pada intinya dibahas tentang tawanan yang harus diperlakuan dengan wajar dan terhormat. 

Ada yang dibebaskan dengan cara meminta tebusan kepada anggota keluarganya, ada yang dibebaskan karena kemiskinan dengan syarat tak lagi memusuhi Islam hingga harus dibunuh saat itu juga lantaran karena kedurhakaannya kepada Allah sudah melampaui batas.

Tetapi ada juga tawanan yang dibebaskan dengan syarat. Yaitu, harus menjadi guru dan mengajar baca tulis anak-anak kaum Muslimin. Setiap 10 anak yang dapat mereka ajar dengan baik, tawanan berhak memperoleh kebebasan.

Demikian pandangan jauh Nabi tentang guru dan mengarahkannya kepada generasi muda.

**

Kini, sungguh luar biasa cara memuliakan guru dengan memperbanyak pujian. Guru harus dimerdekakan dari urusan birokrasi, guru harus bla dan bla bla.... Entah apa lagi kalimat pujian yang membuat hati berbunga. Itu sah saja sebagai ungkapan rasa hormat kepada guru.

Sayangnya, pujian itu tidak sejalan dengan realitas. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyebut, sosok guru harus dilihat secara komprehensif.

Selama 10 tahun tidak ada pengangkatan guru. Akibatnya, terjadi kekurangan guru. Saat ini, 52 persen berstatus guru swasta dan honorer yang digaji terbatas. Bicara gaji bagi guru terasa berat, tapi yang dibutuhkan adalah bagaimana upaya untuk menopang hidupnya. Namun harus diingat profesionalisme tetap melekat di dalamnya, termasuk kesejahteraan yang layak.

Ingat, guru adalah orang yang menciptakan dan membayangkan masa depan. Dan, jika kita tengok pesan Mendikbud Nadiem Makarim dalam pidatonya, sejatinya telah menjadi bagian dari perjuangan PGRI sejak lama. Tegasnya, Pidato Nadiem sejatinya telah lama menjadi perjuangan para guru di Tanah Air.

Kita pun ingat, bahwa institusi ini telah lama memperjuangkan penyederhanaan birokrasi, kemerdekaan profesi, dan otonomi sekolah.

Jadi, membahas peran guru tak cukup dengan pujian. Lebih baik memperjuangkan kesejahteraannya. Tanpa diminta, guru akan mengedepankan tanggung jawabnya, yaitu profesionalisme. 

Jika dulu tawanan perang saja bisa diberdayakan menjadi guru, mengapa masih kita dengar kisah pilu guru karena kesejahteraannya diabaikan. Negara harus hadir, bukan melulu dengan mengangkat muluknya pujian.

Kini, guru memang harus dimerdekakan dan disejahterakan! Selamat Hari Guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun