Segala pengorbananmu sungguh luar biasa Ayah, sejak kecil aku kagum dengan dirimu, sesosok ayah yang sempurna. Dari kecil membaca gesture, sikap, konsistensi, perencanaan masa depan, kecerdasan dan caranya bertutur sapa, ayahku tiada duanya. Ibuku adalah pengagum terberat ayahku. Ia jatuh cinta oleh citra sempurna yang diperlihatkan ayahku. Intonasi suara, keterukuran kata-katanya adalah hal istimewa yang membuat para wanita klepek-klepek. Hanya Ayahku itu bukanlah seorang pemimpin yang berani menabrak nabrak aturan. Ia bukan tipe orang nekat. Semua harus direncanakan, dipikirkan. Ia punya strategi rumit yang mengagumkan untuk menjalankan pekerjaan.
Aku tumbuh menjadi manusia kuat, karena didikan disiplin ayah, sedikit banyak aku ini representasi ayah, maka segala asa dibebankan ayah kepadaku. Ia punya rencana jangka panjang bagi masa depanku. Ayahku ingin ia sepertinya, yang mempunyai kedudukan baik, karier melejit dan kecerdasan di atas rata-rata. Bahkan puncak tertinggi karierku pun telah ia rencanakan. Aku seperti mesin ciptaan ayah, remotenya ia yang pegang dan aku harus siap sedia dengan segala konsekwensi menjalankan rencana-rencana ayah yang sudah direncakanan dalam benaknya.
sebetulnya ada keluhan kecil dalam nuraniku, mengapa harus menjadi seperti ayah. Bukankah aku adalah milikku dan segala nasib hidup seharusnya ditanganku, Mengapa harus ayah yang menentukan hidupku bukan diriku yang mampu mengubah perjalanan hidup.
Mungkin bagi tetanggaku, rekan, kerabat dan kenalan ayah, mereka mengenal aku sebagai anak ayah, bukan diriku si Angga anak rangking satu di kelas dan ketua osis SMA. Setelah SMA aku masuk Akademi Militer. Di akademi militer aku juga menonjol sama seperti yang dialami ayah. Sepertinya sejarah hidupku memang seperti foto copy dari ayahku. Perjalanan hidupku tidaklah terlalu dramatis sebab aku melaluinya dengan kesuksesan-kesuksesan karena aku bekerja keras, belajar giat dan selalu mendengar nasihat ayahku. Rasanya bagi orang lain akulah pria sempurna dari keluarga sempurna pula. Tidak ada keraguan bahwa hidupku ini adalah sebuah cita-cita yang didambakan banyak orang dan aku beruntung mendapatkannya. Tapi tahukah, sebenarnya ada yang kosong dalam diriku. Aku merasa jiwaku ini terlalu terkendali dengan rencana-rencana Ayahku. Aku tidak menapakkan kaki seperti orang lain yang bekerja keras untuk dirinya sendiri dan untuk identitas diri sendiri. Aku tercetak menjadi anak Ayah. Dewangga Putra Bratasena.
Suatu kali aku pernah mencoba protes kepada ayah.
“Ayah…?”
“Ada apa Nak….?”
“Bolehkan aku bertanya…?
“Tentang apa…?”
“Aku ingin memilih Keluar dari kesatuan, ingin menjadi pengarang?”
Terhenyak Ayahku mendengar.Tapi wajahnya tetap datar-datar saja.Ayahku memang termasuk orang yang susah tersenyum, sekali tersenyum rasanya malah seperti orang menyeringai.